Pengobatan tradisional atau alternatif bukanlah sesuatu yang tabu di Indonesia. Keberadaannya sudah diakui sejak dulu, ketika nenek moyang kita belum mengenal sistem pengobatan modern atau dunia medis. Pada zaman dulu, pengobatan tradisioanl (termasuk di dalamnya jasa pelayanan kesehatan tradisional) merupakan upaya preventif (pencegahan), promotif, kuratif dan rehabilitatif. Artinya, pengobatan tradisional tetap menjadi rujukan dan menjadi salah satu solusi dalam menjaga kesehatan masyarakat.
Khususnya di Indonesia, pengobatan tradisional erat terkait dengan kearifan lokal, karena banyak memanfaatkan kekayaan herbal yang dimiliki daerah setempat. Tidak heran, kalau kemudian dunia pengobatan tradisonal berkembang cukup pesat di Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi yang mengiringi pengobatan modern. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pengobatan tradisional juga berkembang dengan memanfaatkan kemajuan tersebut untuk peningkatan mutu dan manfaat.
Sementara itu dalam dunia internasional, pengobatan tradisional telah mendapatkan tempat dan perhatian di sejumlah negara. Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan sepakat bahwa pengobatan atau pelayanan kesehatan tradisional dalam diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan. Pernyataan WHO ini tentu saja mengadung syarat, yaitu jasa pelayanan kesehatan tradisional harus aman dan bermanfaat. Â
Kesepakatan WHO itu tertuang dalam Kongres Pengobatan Tradisional di Beijing, Tiongkok pada November 2008. Selanjutnya pada tahun 2009, WHO mendorong negara-negara anggotanya unntuk mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional yang disesuaikan dengan kondisi di wilayahnya. Artinya, pengobatan tradisional sebenarnya sudah diakui secara internasional.
Indonesia adalah salah satu negara yang perkembangan pelayanan kesehatan tradisionalnya tumbuh pesat. Agar layanan kesehatan atau pengobatan tradisional itu tepat sasaran dan tepat manfaat, perlu keterlibatan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Keterlibatan pemerintah ini dalam rangka membina dan mengarahkan pengobatan tradisional agar bisa memaksimalkan manfaatnya dan penyelenggaraannya tetap mengacu pada manfaat, keamanan dan mutu pelayanan.
Pemerintah tidak boleh hanya fokus dalam menetapkan regulasi dan pembinaan untuk pengobatan modern. Atas kesamaan tujuan dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu kesehatan masyarakat, sudah seharusnya pengobatan tradisional dan modern (medis) berjalan seiring dan mendukung satu sama lain. Para pelaku pengobatan modern, dalam hal ini dokter yang berada di bawah IDI (Ikatan Dokter Indonesia) maupun organisasi profesi kesehatan lainnya, jangan menganggap pengobatan tradisional sebagai saingan. Para pemangku pengobatan modern juga tidak boleh mengkampanyekan bahwa pengobatan tradisional menyalahi aturan-aturan yang berlaku dalam dunia medis. Mereka harus memahami bahwa pengobatan tradisional itu ada, karena warisan lelulur, berasal dari nenek moyang.
Seharusnya, baik IDI maupun organisasi profesi kesehatan lainnya ikut membantu pemerintah untuk membina dan mengembangkan agar pengobatan tradisonal ini lebih bermutu dan bermanfaat untuk mejaga menjaga kesehatan masyarakat. Secara hukum, sebenarnya pemerintah juga sudah mengatur tentang pengobatan tradisional ini. Jadi tidak ada alasan untuk mengucilkan pengobatan tradisional.
Dalam UU RI No.36 tahun 2009 terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang pelayanan kesehatan tradisional, yaitu pada pasal 1, 48, 59, 60 dan 61. Sebagai contoh, pasal 1 butir 16 disebutkan bahwa Pelayanan Kesehatan Tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Dengan posisi yang sama-sama diatur kebaradaannya oleh UU, seharusnya pengobatan modern dan tradisional bisa saling melengkapi. Perlu digarisbawahi juga bahwa keberadaan pengobatan tradisional tidak untuk menggusur dan mengkhianati, apalagi mematikan pengobatan modern. Bagaimana pun juga, ilmu medis beserta analisisnya tetap menjadi rujukan utama, karena melibatkan ilmu, pengetahuan dan teknologi. Dan, ketika para pelaku jasa layanan kesehatan tradisional menggunakan hasil analisis medis sebagai rujukan dalam memberikan pengobatan, itu sebenarnya menjadi salah satu bentuk kolaborasi. Namun, pastinya dengan catatan bahwa para pelaku pengobatan tradisional tidak boleh 'offside' dan bertindak seolah-olah dia menguasai persoalan medis. Menyangkut hal-hal teknis dalam persoalan medis, tentunya para pemangku profesi pengobatan modern (atau dalam hal ini dokter) yang lebih menguasainya. Sementara untuk hal-hal teknis menyangkut racikan obat-obat tradisonal (misalnya dengan memanfaatkan herbal), tentunya pelaku pengobatan tradisional yang lebih mengetahuinya.
Sebagai contoh adalah kasus siaran yang dilakukan pengobat tradisional Jeng Ana dalam sebuah stasiun TV swasta yang diviralkan beberapa akun sosial media. Masalah sebenarnya adalah (mungkin) pada cara Jeng Ana menjelaskan analisis medis, sehingga menyinggung profesi dokter. Masalahnya mungkin tidak akan menjadi melebar dan ramai diperbincangkan oleh akun-akun gosip sosial media, seandainya menggunakan cara yang tepat dalam penyampaiannya. Misalnya, IDI sebagai organisasi profesi dokter menyampaikan nota keberatan kepada pihak terkait, atau melalui kementerian kesehatan sebagai perwakilan pemerintah. Atau dengan cara yang lebih elegan dengan melibatkan ASPETRI (Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia), dimana Jeng Ana juga menjadi anggota di dalamnya.
Masalah menjadi berkembang, karena hal-hal yang sifatnya protes justeru dikirim ke akun-akun media sosial yang selama ini dianggap sebagai penyebar gosip. Persoalan terus melebar dengan opini yang berkembang bahwa pengobatan tradisional itu menipu masyarakat. Saya tidak tahu Jeng Ana itu siapa. Namun, dari hasil penelusuran saya melalui berbagai literatur dan pemberitaan, rasanya menjadi aneh kalau kasusnya sekarang lebih diarahkan untuk 'menghakimi' pengobatan tradisional. Jeng Ana itu punya tempat praktik, lengkap dengan alamatnya. Artinya, sangat mudah untuk menemukannya. Sebagai pengobat tradisional, juga bergabung dengan ASPETRI, sebagai wadah resmi yang diakui oleh pemerintah. Latar belakang Jeng Ana juga jelas. Sebelum buka praktik pengobatan, dia mengikuti berbagai pendidikan tentang pemanfaatan dan budidaya tanaman herbal. Berbagai sertifikat juga dimilikinya sebagai bentuk pengakuan terhadap dirinya. Dengan berbagai fakta itu, tentunya pengobatan yang dilakukan Jeng Ana bukanlah sebuah penipuan.
Harus diingat bahwa masyarakat Indonesia sekarang sangat kritis. Begitu ada indikasi penipuan dalam sebuah layanan, baik itu kesehatan maupun layanan jasa lainnya, masyarakat pasti langsung bereaksi dengan tidak akan mendatangi atau menggunakan jasanya. Menurut saya, masalah Jeng Ana ini sengaja dibikin rumit, karena arahnya adalah untuk mendiskreditkan para pelaku pengobatan tradisional. Masalahnya harusnya reda, ketika secara pribadi, Jeng Ana, melalui media TV swasta yang sama, mengucapkan permintaan maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Mungkin Jeng Ana 'offiside', karena menyinggung hal-hal yang sifatnya medis, namun ketika yang bersangkutan sudah menyadari dan kemudian meminta maaf, harusnya itu bisa menjadi pereda atas isu yang terus berkembang.
Namun, oleh sejumlah pihak, isunya justeru terus 'digoreng' dengan masih melibatkan akun-kaun penyebar gosip yang followernya mencapai jutaan dan terus memojokkan dunia pengobatan tradisional.
Sangat disayangkan, jika pengobatan tradisional dan modern yang seharusnya bisa bersanding, bahu membahu dan saling melengkapi, justeru sekarang dikondisikan untuk berhadapan, bermusuhan dan  menjatuhkan. Untuk itu perlu adanya sebuah dialog yang melibatkan praktisi-praktisi, para pemangku kebijakan dan pelaku layanan kesehatan agar persoalan ini segera selesai.
DIMANA PERAN ASPETRI?
Dalam sejumlah kasus yang melibatkan pengobatan tradisional, termasuk Jeng Ana, sangat disayangkan minimnya peran ASPETRI (Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia). Sebagai organisasi resmi yang membawahi ratusan, bahkan ribuan pengobat tradisional, seharusnya ASPETRI mengambil peran, khususnya dalam meredakan setiap persoalan yang melibatkan anggotanya dan para profesional medis.
Kalau kita melihat visi dan misi dari ASPETRI, seharusnya organisasi menjadi wadah yang bisa melindungi dan mengembangkan pengobatan tradisional, sehingga mampu bersanding dan menjadi mitra yang saling melengkapi dalam dunia pengobatan medis.
Namun, dalam sejumlah kasus yang melibatkan pengobatan tradisional, saya justeru tidak melihat peran dari ASPETRI. Dalam sejumlah kasus yang baca, ASPETRI justeru terkesan cucu tangan dan menjadi pihak yang tidak mau disalahkan, serta membiarkan para anggota menyelesaikan persoalannya sendiri. Padahal, sebagai sebuah organisasi profesi, sudah seharusnya ASPETRI menjadi fasilitator, negosiator dan mediator atas semua persoalan yang dialami anggotanya.
Apalagi misi utama ASPETRI adalah menghimpun, memperbaiki, dan meningkatkan kompetensi anggota pengobat tradisional ramuan Indonesia secara terus menerus, dalam rangka pelayanan pengobatan tradisional Indonesia dengan orientasi pada pengobatan yang aman untuk kepentingan pasien. Jadi sudah menjadi tanggung jawab ASPETRI untuk terus meningkatkan mutu pengobatan tradisional Indonesia.
Kita tunggu peran ASPETRI dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit pengobatan tradisional, termasuk meyakinkan ke masyarakat bahwa pengobatan tradisional adalah sebuah pilihan yang tepat, tanpa harus menepikan peran dan fungsi pengobatan modern. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H