Nama: Cindy Florencine
NIM: 1405619054
Mahasiswi Pendidikan Sosiolog1 2019
Pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia, bahkan Indonesia mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, salah satunya bidang pendidikan. Pandemi Covid-19 yang menimbulkan korban jiwa memaksa pemerintah merubah beberapa kebijakan di bidang pendidikan, diantaranya yaitu kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) bagi pelajar, mahasiswa, guru ataupun dosen untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran via tatap muka dengan menggunakan berbagai platform yang menunjang.Â
Namun, sebenarnya apa arti PJJ itu sendiri? Apa saja sasaran, tujuan, dan prinsip dari PJJ itu sendiri? Mengapa sampai saat ini PJJ masih menjadi salah satu permasalahan kompleks di bidang pendidikan? Lalu bagaimana Sosiologi memandang permasalahan ini? Adakah solusi terbaik dari seluruh pihak agar PJJ tetap berjalan lancar dan terlebih merata bagi seluruh pelajar dan mahasiswa? Semoga artikel ini bisa menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan di atas.
Menurut Mac Kenzie, Christensen, & Rigby (1968), pembelajaran jarak jauh merupakan Suatu metode pembelajaran yang menggunakan korespondensi sebagai alat komunikasi antara tenaga pengajar dan siswa ditambah adanya interaksi antar siswa di dalam proses pembelajaran. Pengertian Pendidikan Jarak Jauh ("PJJ") menurut Miarso (2004:34) adalah pendidikan terbuka dengan program belajar yang terstruktur relatif ketat dan pola pembelajaran yang berlangsung tanpa tatap muka atau keterpisahan guru dengan peserta didik.
Jadi, PJJ merupakan suatu sistem pembelajaran antara pendidik (dosen/guru) dan pelajar/mahasiswa secara daring dengan menggunakan berbagai platform belajar yang menunjang, seperti Google Classroom, Google Meet, Zoom, WhatsApp, dan sebagainya.
Lalu, sebenarnya siapa saja sasaran dari PJJ itu sendiri? Apa tujuan dari PJJ dan bagaimana prinsip dari PJJ? Berikut penjelasannya.
A. Sasaran Pembelajaran Jarak JauhÂ
- Memberikan kesempatan kepada anak bangsa yang belum mengikuti pendidikan yang lebih tinggi, seperti pembelajar yang putus sekolah pada tingkat pendidikan dasar atau pendidikan menengah.
- Memberikan kesempatan kepada para pengajar untuk meningkatkan kualitas kemampuan/kompetensinya, seperti berkaitan dengan kemampuan didaktik, metodik dan pedogogik dengan mengikuti pendidikan tinggi.
B. Tujuan Pembelajaran Jarak Jauh
Pembelajaran jarak jauh memungkinkan pembelajar untuk memperoleh pendidikan pada semua jenis, jalur, dan jenjang secara mandiri dengan menggunakan berbagai sumber belajar dengan program pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan kondisinya.Â
Pembelajaran jarak jauh diharapkan dapat mengatasi masalah kesenjangan pemerataan kesempatan, peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi dalam bidang pendidikan yang disebabkan oleh berbagai hambatan seperti jarak, tempat, dan waktu. Oleh karena itu, penyelenggaraan pembelajaran jarak jauh harus sesuai dengan karakteristik pembelajar, tujuan pembelajaran dan proses pembelajaran.
C. Prinsip Pembelajaran Jarak Jauh
Pembelajaran jarak jauh mencakup upaya yang ditempuh pembelajar untuk mewujudkan sistem pendidikan sepanjang hayat, dengan prinsip-prinsip kebebasan, kemandirian, keluwesan, keterkinian, kesesuaian, mobilitas, dan efisiensi. Prinsip-prinsip tersebut menjadi dasar bagi pengambil keputusan dalam bidang pendidikan untuk menyediakan berbagai fasilitas pembelajaran jarak jauh.Â
Berikut adalah prinsip-prinsipnya: Pertama, Prinsip kebebasan. Artinya, sistem pendidikan sifatnya demokratis karena dirancang agar bebas bisa diikuti oleh siapa saja.Â
Kedua, Prinsip kemandirian. Prinsip ini dapat diwujudkan dengan kurikulum atau program pendidikan yang dapat dipelajari secara mandiri (independent learning), belajar perorangan atau belajar kelompok.Â
Ketiga, Prinsip keluwesan. Prinsip ini memungkinkan pembelajar untuk fleksibel mengatur jadwal dan kegiatan belajar, mengikuti ujian atau penilaian kemajuan belajar, dan mengakses sumber belajar sesuai dengan kemampuan pembelajar.Â
Keempat, Prinsip kesesuaian. Prinsip ini menunjukkan pada program belajar yang relevan dengan kebutuhan pembelajar sendiri, tuntutan lapangan kerja, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau perkembangan yang terjadi di masyarakat.Â
Kelima, Prinsip mobilitas. Memungkinkan pembelajar belajar dengan cara berpindah tempat sesuai dengan keadaan yang memungkinkan untuk terjadinya proses pembelajaran.Â
Terakhir, Prinsip efisiensi. Prinsip ini memberdayakan berbagai macam sumber daya, seperti sumber daya manusia atau teknologi yang tersedia dengan seoptimal mungkin agar pembelajar bisa belajar.
Tentunya di tengah pandemi ini, PJJ menjdi model pembelajaran yang paling tepat baik bagi pelajar maupun tenaga pendidik dalam menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar karena tentunya hal ini dilakukan untuk menghindari kerumunan. Memang, pembelajaran jarak jauh memiliki beberapa kelebihan, seperti tentunya efisien biaya dan waktu.Â
Jika kuliah offline menghabiskan biaya atau ongkos dalam perjalanan ke kampus, kini pelajar atau mahasiswa bisa mengikuti kegiatan belajar dirumah tanpa dengan bermodalkan ponsel, laptop, dan kuota.Â
Selain itu juga mahasiswa yang awalnya pasif karena malu ketika bertanya di dalam kelas secara langsung menjadi aktif dalam suatu forum kelas, karena kelas diadakan secara online, sehingga mereka bisa blajar untuk menjadi mahasiswa aktif secara perlahan.Â
Kemudian pada kelas offline biasanya mahasiswa akan mengeluarkan biaya lebih untuk fotocopy, print tugas, ataupun untuk sekedar menjilid. Namun sekarang semua tugas baik dalam bentuk makalah ataupun paper wajib diserahkan soft copy kepada dosen melalui berbagai platform seperti Gmail ataupun WhatsApp.
Tentunya yang namanya pembelajaran, apapun itu, pasti memiliki nilai plus minus tersendiri, tak terkecuali sistem PJJ ini. Tentunya terdapat beberapa kekurangan dari PJJ, namun yang sering menjadi permasalahan tersendiri bagi setiap pelajar,mahasiswa, bahkan tenaga pendidik adalah kuota internet dan sinyal.Â
Banyak para pelajar maupun mahasiswa merasa bahwa paket data yang telah dibeli cepat habis akibat pembelajaran melalui streaming video secara berkelanjutan, seperti penggunaan aplikasi Zoom yang jika diakumulasikan biaya pembelian paket internet selama sebulan dengan biaya ongkos ke kampus maka akan terlihat sama saja, bahkan mungkin jauh lebih mahal biaya pembelian kuota.Â
Selain itu juga sinyal ponsel yang GSM (Geser Sedikit Mati) merupakan suatu permasalahan yang tidak bisa dianggap remeh. Mungkin bagi pelajar yang memiliki alternatif perangkat penunjang lain untuk pembelajaran seperti laptop tidak menjadi masalah karena bisa menggunakan data internet ataupun WiFi pribadi.Â
Lalu bagaimana dengan mereka yang hanya memiliki telepom seluler yang tinggal di daerah pedalaman. Tentunya sangat sulit bagi mereka, terlebih jaringan yang sangat sulit dijangkau, bahkan dalam beberapa kasus sampai ada mahasiswa yang mendatangi tempat-tempat ekstrim seperti yang terjadi pada Siswa di sebuah desa di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan (Sulsel), mesti belajar di tepi jurang. Mereka harus mengambil risiko demi mendapatkan sinyal internet yang stabil.
Tentunya yang namanya pembelajaran, apapun itu, pasti memiliki nilai plus minus tersendiri, tak terkecuali sistem PJJ ini. Tentunya terdapat beberapa kekurangan dari PJJ, namun yang sering menjadi permasalahan tersendiri bagi setiap pelajar,mahasiswa, bahkan tenaga pendidik adalah kuota internet dan sinyal.Â
Banyak para pelajar maupun mahasiswa merasa bahwa paket data yang telah dibeli cepat habis akibat pembelajaran melalui streaming video secara berkelanjutan, seperti penggunaan aplikasi Zoom yang jika diakumulasikan biaya pembelian paket internet selama sebulan dengan biaya ongkos ke kampus maka akan terlihat sama saja, bahkan mungkin jauh lebih mahal biaya pembelian kuota.Â
Selain itu juga sinyal ponsel yang GSM (Geser Sedikit Mati) merupakan suatu permasalahan yang tidak bisa dianggap remeh. Mungkin bagi pelajar yang memiliki alternatif perangkat penunjang lain untuk pembelajaran seperti laptop tidak menjadi masalah karena bisa menggunakan data internet ataupun WiFi pribadi.Â
Lalu bagaimana dengan mereka yang hanya memiliki telepom seluler yang tinggal di daerah pedalaman. Tentunya sangat sulit bagi mereka, terlebih jaringan yang sangat sulit dijangkau, bahkan dalam beberapa kasus sampai ada mahasiswa yang mendatangi tempat-tempat ekstrim seperti yang terjadi pada Siswa di sebuah desa di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan (Sulsel), mesti belajar di tepi jurang. Mereka harus mengambil risiko demi mendapatkan sinyal internet yang stabil.
Jika permasalahan tersebut dilihat dari sudut pandang sosiologis, maka kita bisa menghubungkannya dengan teori Filosofi Uang dari Sosiolog Georg Simmel dan Teori Struktural Fungsional dari Talcott Parsons. Dalam teori ini Simmel membahas tentang konsep nilai, uang, dan proses transaksi.Â
Menurut Simmel, nilai sebuah objek ditentukan dari jarak antara individu dan objek tersebut. Konsep jarak dalam pemikiran Simmel mengacu pada tingkat kesulitan untuk mendapatkan sebuah objek, yang dapat diukur melalui empat variabel utama yaitu waktu, kelangkaan, usaha yang harus dikeluarkan, serta pengorbanan yang harus dilakukan. Lebih lanjut, Simmel menyatakan bahwa sebuah objek akan dianggap bernilai jika objek tersebut berada di jarak yang tepat; tidak terlalu dekat, dan tidak terlalu jauh dari individu yang menilainya. Ketika membahas tentang uang, Simmel menyatakan bahwa uang, layaknya mode, merupakan sesuatu yang bersifat kontradiktif.Â
Di satu sisi, uang menyimbolkan jarak antara subjek (individu) dan objek (benda); namun di sisi lain, uang juga berperan sebagai alat untuk melampaui jarak tersebut. Intinya, ada uang, ada barang. Dalam permasalahan ini, jika kita memiliki uang lebih, kita bisa membeli fasilitas lain yang lebih menunjang, seperti WiFi sehingga tidak perlu bersusah payang untuk rutin membeli kuota yang tentunya memberatkan, namun bagaimana dengan pelajar atau mahasiswa kalangan menengah ke bawah? Mereka terpaksa harus membeli kuota dan itu akan terus berlangsung sampai waktu yang tidak ditentukan. Dalam hal ini, uang menjadi sesuatu yang sangat penting, sehingga, banyak mahasiswa atau bahkan pelajar yang rela menjadi uang tambahan hanya sekedar meringankan beban orangtua mereka untuk membeli paket data.
Jika permasalahan tersebut dilihat dari sudut pandang sosiologis, maka kita bisa menghubungkannya dengan teori Filosofi Uang dari Sosiolog Georg Simmel dan Teori Struktural Fungsional dari Talcott Parsons. Dalam teori ini Simmel membahas tentang konsep nilai, uang, dan proses transaksi. Menurut Simmel, nilai sebuah objek ditentukan dari jarak antara individu dan objek tersebut. Konsep jarak dalam pemikiran Simmel mengacu pada tingkat kesulitan untuk mendapatkan sebuah objek, yang dapat diukur melalui empat variabel utama yaitu waktu, kelangkaan, usaha yang harus dikeluarkan, serta pengorbanan yang harus dilakukan.Â
Lebih lanjut, Simmel menyatakan bahwa sebuah objek akan dianggap bernilai jika objek tersebut berada di jarak yang tepat; tidak terlalu dekat, dan tidak terlalu jauh dari individu yang menilainya. Ketika membahas tentang uang, Simmel menyatakan bahwa uang, layaknya mode, merupakan sesuatu yang bersifat kontradiktif. Di satu sisi, uang menyimbolkan jarak antara subjek (individu) dan objek (benda); namun di sisi lain, uang juga berperan sebagai alat untuk melampaui jarak tersebut. Intinya, ada uang, ada barang.Â
Dalam permasalahan ini, jika kita memiliki uang lebih, kita bisa membeli fasilitas lain yang lebih menunjang, seperti WiFi sehingga tidak perlu bersusah payang untuk rutin membeli kuota yang tentunya memberatkan, namun bagaimana dengan pelajar atau mahasiswa kalangan menengah ke bawah? Mereka terpaksa harus membeli kuota dan itu akan terus berlangsung sampai waktu yang tidak ditentukan. Dalam hal ini, uang menjadi sesuatu yang sangat penting, sehingga, banyak mahasiswa atau bahkan pelajar yang rela menjadi uang tambahan hanya sekedar meringankan beban orangtua mereka untuk membeli paket data.
Pembelajaran jarak jauh memang bukanlah suatu hal yang mudah untuk diterapkan. Lalu, bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi berbagai hambatan yang ada seperti kuota dan sebagainya? Untuk kuota sendiri sebenarnya pemerintah, melalui Kemendikbud telah bekerjasama dengan beberapa provider untuk memberikan bantuan kuota pembelajaran gratis selama pandemi kepada mahasiswa/pelajar dan tenaga pendidik.Â
Namun, bagaimana dengan pelajar yang tinggal di pedalaman dengan sinyal yang tidak memadai? Well, perlu adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mencari jalan keluarnya. Dan tentunya, kita semua berharap pandemi ini akan segera berakhir sehingga seluruh kegiatan belajar-mengajar berjalan dengan lancar.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H