Selain itu juga mahasiswa yang awalnya pasif karena malu ketika bertanya di dalam kelas secara langsung menjadi aktif dalam suatu forum kelas, karena kelas diadakan secara online, sehingga mereka bisa blajar untuk menjadi mahasiswa aktif secara perlahan.Â
Kemudian pada kelas offline biasanya mahasiswa akan mengeluarkan biaya lebih untuk fotocopy, print tugas, ataupun untuk sekedar menjilid. Namun sekarang semua tugas baik dalam bentuk makalah ataupun paper wajib diserahkan soft copy kepada dosen melalui berbagai platform seperti Gmail ataupun WhatsApp.
Tentunya yang namanya pembelajaran, apapun itu, pasti memiliki nilai plus minus tersendiri, tak terkecuali sistem PJJ ini. Tentunya terdapat beberapa kekurangan dari PJJ, namun yang sering menjadi permasalahan tersendiri bagi setiap pelajar,mahasiswa, bahkan tenaga pendidik adalah kuota internet dan sinyal.Â
Banyak para pelajar maupun mahasiswa merasa bahwa paket data yang telah dibeli cepat habis akibat pembelajaran melalui streaming video secara berkelanjutan, seperti penggunaan aplikasi Zoom yang jika diakumulasikan biaya pembelian paket internet selama sebulan dengan biaya ongkos ke kampus maka akan terlihat sama saja, bahkan mungkin jauh lebih mahal biaya pembelian kuota.Â
Selain itu juga sinyal ponsel yang GSM (Geser Sedikit Mati) merupakan suatu permasalahan yang tidak bisa dianggap remeh. Mungkin bagi pelajar yang memiliki alternatif perangkat penunjang lain untuk pembelajaran seperti laptop tidak menjadi masalah karena bisa menggunakan data internet ataupun WiFi pribadi.Â
Lalu bagaimana dengan mereka yang hanya memiliki telepom seluler yang tinggal di daerah pedalaman. Tentunya sangat sulit bagi mereka, terlebih jaringan yang sangat sulit dijangkau, bahkan dalam beberapa kasus sampai ada mahasiswa yang mendatangi tempat-tempat ekstrim seperti yang terjadi pada Siswa di sebuah desa di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan (Sulsel), mesti belajar di tepi jurang. Mereka harus mengambil risiko demi mendapatkan sinyal internet yang stabil.
Tentunya yang namanya pembelajaran, apapun itu, pasti memiliki nilai plus minus tersendiri, tak terkecuali sistem PJJ ini. Tentunya terdapat beberapa kekurangan dari PJJ, namun yang sering menjadi permasalahan tersendiri bagi setiap pelajar,mahasiswa, bahkan tenaga pendidik adalah kuota internet dan sinyal.Â
Banyak para pelajar maupun mahasiswa merasa bahwa paket data yang telah dibeli cepat habis akibat pembelajaran melalui streaming video secara berkelanjutan, seperti penggunaan aplikasi Zoom yang jika diakumulasikan biaya pembelian paket internet selama sebulan dengan biaya ongkos ke kampus maka akan terlihat sama saja, bahkan mungkin jauh lebih mahal biaya pembelian kuota.Â
Selain itu juga sinyal ponsel yang GSM (Geser Sedikit Mati) merupakan suatu permasalahan yang tidak bisa dianggap remeh. Mungkin bagi pelajar yang memiliki alternatif perangkat penunjang lain untuk pembelajaran seperti laptop tidak menjadi masalah karena bisa menggunakan data internet ataupun WiFi pribadi.Â
Lalu bagaimana dengan mereka yang hanya memiliki telepom seluler yang tinggal di daerah pedalaman. Tentunya sangat sulit bagi mereka, terlebih jaringan yang sangat sulit dijangkau, bahkan dalam beberapa kasus sampai ada mahasiswa yang mendatangi tempat-tempat ekstrim seperti yang terjadi pada Siswa di sebuah desa di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan (Sulsel), mesti belajar di tepi jurang. Mereka harus mengambil risiko demi mendapatkan sinyal internet yang stabil.
Jika permasalahan tersebut dilihat dari sudut pandang sosiologis, maka kita bisa menghubungkannya dengan teori Filosofi Uang dari Sosiolog Georg Simmel dan Teori Struktural Fungsional dari Talcott Parsons. Dalam teori ini Simmel membahas tentang konsep nilai, uang, dan proses transaksi.Â