Pernahkah Anda membayangkan suasana seperti ini. Seekor kucing Jepang melangkah anggun sambil berkata "nyaa", lalu kucing Indonesia menyahut "meong", dan kucing Inggris dengan penuh percaya diri berkata "meow". Bayangkan semua kucing dari berbagai negara berkumpul di satu tempat. Apakah mereka akan saling kebingungan seperti manusia yang berbeda bahasa? Atau justru mereka akan tetap akur dengan cara komunikasi rahasia khas kucing?
Terdengar seperti topik yang jenaka, tetapi menarik untuk dikaitkan dengan psikologi dan perilaku komunikasi universal.Â
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi jika kucing dari berbagai belahan dunia dipertemukan? Apakah "bahasa" mereka benar-benar berbeda, atau kita, manusialah yang terlalu membahasakannya?
Komunikasi Kucing: Naluri Universal yang Melampaui Kata
Jika manusia memerlukan kata-kata untuk berkomunikasi, kucing adalah makhluk yang lebih efisien. Mereka tidak butuh aksen British atau logat Jawa untuk bisa saling memahami. Kucing lebih mengandalkan bahasa tubuh, vokalisasi tertentu, dan feromon untuk menyampaikan pesan.
Dalam psikologi komunikasi, perbedaan antara komunikasi verbal dan non-verbal sangat krusial.
- Komunikasi verbal: Kata-kata atau suara yang terstruktur seperti bahasa manusia.
- Komunikasi non-verbal: Bahasa tubuh, gerakan, ekspresi wajah, dan tanda-tanda yang tidak bersifat vokal.
Menurut penelitian, 90% komunikasi kita sebagai manusia pun sebenarnya bersifat non-verbal (Mehrabian, 1967). Nah, kucing justru "bermain" di sini.
Kucing Berbicara dengan Tubuhnya
Kucing dari negara mana pun paham bahasa tubuh yang sama. Beberapa tanda umum yang bisa diamati antara kucing:
Ekor Tegak Lurus: Menunjukkan rasa percaya diri dan keramahan. Ini adalah sapaan "halo" khas kucing.
- Ekor Mengembang dan Telinga Rata: Waspada, marah, atau merasa terancam.
- Kedipan Mata Lambat: Tanda kasih sayang. Ini bisa diterjemahkan sebagai "Aku percaya padamu."
- Menggosokkan Tubuh: Menandai wilayah atau menunjukkan rasa nyaman pada individu lain.
Menariknya, kucing-kucing ini tidak perlu sekolah atau pelatihan khusus untuk memahami bahasa tubuh ini. Naluri mereka sudah menyimpan semua "kode" ini sejak lahir.
Bagaimana dengan Suara? Apakah "Nyaa", "Meong", dan "Meow" berbeda?
Secara ilmiah, kucing tidak memiliki variasi bahasa secara biologis. Suara kucing seperti "meong" atau "nyaa"Â hanyalah bentuk vokalisasi adaptif. Dalam bahasa psikologi, ini adalah respons terhadap stimulus lingkungan. Dalam hal ini, interaksi dengan manusia.
Peneliti komunikasi vokal hewan seperti Karen McComb menemukan bahwa suara kucing lebih sering digunakan untuk berkomunikasi dengan manusia ketimbang dengan sesama kucing. Kucing liar, misalnya, jarang sekali bersuara keras karena tidak ada kepentingan untuk menarik perhatian.
Adaptasi lingkungan juga membuat variasi suara kucing terdengar berbeda. Misalnya:
- Di Jepang, manusia mendengar suara kucing seperti "nyaa", lalu itu dianggap sebagai "bahasa Jepang" kucing.
- Di Inggris, suara itu menjadi "meow"Â karena telinga orang Inggris mengasosiasikannya seperti itu.
- Di Indonesia, kucing "berbahasa" "meong".
Tetapi, bagi kucing? Suara ini hanyalah cara untuk mendapatkan perhatian kita. Mereka tidak peduli apakah Anda menyebutnya "nyaa" atau "meow", selama Anda paham maksud mereka. "Hei, kasih makan dong!"
Feromon: Rahasia Komunikasi yang Tidak Terlihat
Selain suara dan bahasa tubuh, kucing memiliki senjata rahasia lain, yaitu feromon. Feromon adalah zat kimia yang disekresikan tubuh kucing dan hanya bisa dideteksi oleh sesama kucing. Ini adalah bentuk komunikasi yang sangat efektif namun tidak terlihat oleh kita.
Fungsi feromon dalam komunikasi kucing:
- Menandai Wilayah: Ketika kucing menggosokkan tubuhnya ke benda atau manusia, ia sedang menandai "properti"-nya.
- Menyampaikan Emosi: Feromon bisa memberi tahu apakah kucing dalam kondisi stres, senang, atau siap kawin.
- Pengenalan Identitas: Kucing bisa mengenali satu sama lain melalui aroma feromon, bukan melalui suara atau wajah.
Inilah mengapa jika kucing dari berbagai negara bertemu, mereka bisa langsung tahu siapa yang "boss" dan siapa yang ramah hanya dengan mengendus.
Kucing Lebih Efisien dalam Berkomunikasi
Apa yang bisa kita pelajari dari kucing? Pertama, kucing membuktikan bahwa komunikasi non-verbal lebih efektif dan universal dibanding bahasa verbal. Bahkan Paul Ekman, psikolog terkenal yang meneliti mikro-ekspresi, menyebutkan bahwa bahasa tubuh sering kali lebih jujur daripada kata-kata.
Kedua, kucing mengajarkan kita untuk fokus pada pemahaman emosional, bukan sekadar kata. Kita sering kali ribut karena beda bahasa, nada bicara, atau pemilihan kata. Padahal, jika kita bisa memahami maksud di balik kata-kata tersebut, mungkin konflik akan lebih mudah dihindari.
Apakah Kucing Bisa Saling Memahami?
Jawabannya adalah ya! Kucing dari Jepang, Indonesia, atau Inggris akan tetap mampu saling "berkomunikasi" karena mereka menggunakan bahasa tubuh dan feromon, bukan kata-kata seperti manusia.
Kucing tidak peduli dengan aksen atau logat, selama pesan mereka tersampaikan. Seekor kucing Jepang yang "nyaa" akan tetap bisa bermain dengan kucing Indonesia yang "meong"Â karena mereka berbicara dengan naluri, bukan kata-kata.
Jadi, jika kucing saja bisa saling memahami tanpa ribut soal bahasa, mungkin kita, manusia, bisa belajar satu hal dari mereka.
Komunikasi sejati bukanlah tentang kata, melainkan tentang pemahaman yang tulus.
Referensi
- Ekman, P. (2003). Emotions Revealed: Recognizing Faces and Feelings to Improve Communication and Emotional Life.
- Mehrabian, A. (1967). Nonverbal communication study.
- McComb, K., Taylor, A., Wilson, C., & Charlton, B.D. (2009). The role of vocal communication in domestic cats. Current Biology.
- Skinner, B.F. (1957). Verbal Behavior.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H