Secara ilmiah, kucing tidak memiliki variasi bahasa secara biologis. Suara kucing seperti "meong" atau "nyaa"Â hanyalah bentuk vokalisasi adaptif. Dalam bahasa psikologi, ini adalah respons terhadap stimulus lingkungan. Dalam hal ini, interaksi dengan manusia.
Peneliti komunikasi vokal hewan seperti Karen McComb menemukan bahwa suara kucing lebih sering digunakan untuk berkomunikasi dengan manusia ketimbang dengan sesama kucing. Kucing liar, misalnya, jarang sekali bersuara keras karena tidak ada kepentingan untuk menarik perhatian.
Adaptasi lingkungan juga membuat variasi suara kucing terdengar berbeda. Misalnya:
- Di Jepang, manusia mendengar suara kucing seperti "nyaa", lalu itu dianggap sebagai "bahasa Jepang" kucing.
- Di Inggris, suara itu menjadi "meow"Â karena telinga orang Inggris mengasosiasikannya seperti itu.
- Di Indonesia, kucing "berbahasa" "meong".
Tetapi, bagi kucing? Suara ini hanyalah cara untuk mendapatkan perhatian kita. Mereka tidak peduli apakah Anda menyebutnya "nyaa" atau "meow", selama Anda paham maksud mereka. "Hei, kasih makan dong!"
Feromon: Rahasia Komunikasi yang Tidak Terlihat
Selain suara dan bahasa tubuh, kucing memiliki senjata rahasia lain, yaitu feromon. Feromon adalah zat kimia yang disekresikan tubuh kucing dan hanya bisa dideteksi oleh sesama kucing. Ini adalah bentuk komunikasi yang sangat efektif namun tidak terlihat oleh kita.
Fungsi feromon dalam komunikasi kucing:
- Menandai Wilayah: Ketika kucing menggosokkan tubuhnya ke benda atau manusia, ia sedang menandai "properti"-nya.
- Menyampaikan Emosi: Feromon bisa memberi tahu apakah kucing dalam kondisi stres, senang, atau siap kawin.
- Pengenalan Identitas: Kucing bisa mengenali satu sama lain melalui aroma feromon, bukan melalui suara atau wajah.
Inilah mengapa jika kucing dari berbagai negara bertemu, mereka bisa langsung tahu siapa yang "boss" dan siapa yang ramah hanya dengan mengendus.
Kucing Lebih Efisien dalam Berkomunikasi
Apa yang bisa kita pelajari dari kucing? Pertama, kucing membuktikan bahwa komunikasi non-verbal lebih efektif dan universal dibanding bahasa verbal. Bahkan Paul Ekman, psikolog terkenal yang meneliti mikro-ekspresi, menyebutkan bahwa bahasa tubuh sering kali lebih jujur daripada kata-kata.
Kedua, kucing mengajarkan kita untuk fokus pada pemahaman emosional, bukan sekadar kata. Kita sering kali ribut karena beda bahasa, nada bicara, atau pemilihan kata. Padahal, jika kita bisa memahami maksud di balik kata-kata tersebut, mungkin konflik akan lebih mudah dihindari.
Apakah Kucing Bisa Saling Memahami?
Jawabannya adalah ya! Kucing dari Jepang, Indonesia, atau Inggris akan tetap mampu saling "berkomunikasi" karena mereka menggunakan bahasa tubuh dan feromon, bukan kata-kata seperti manusia.
Kucing tidak peduli dengan aksen atau logat, selama pesan mereka tersampaikan. Seekor kucing Jepang yang "nyaa" akan tetap bisa bermain dengan kucing Indonesia yang "meong"Â karena mereka berbicara dengan naluri, bukan kata-kata.