Jika saya hendak bertanya terkait preferensi Anda khususnya kaum wanita dalam memilih pasangan, kira-kira Anda akan memilih pria humoris ataukah justru pria pendiam?
Pada awalnya saya selalu tertarik dan begitu menginginkan pria yang humoris. Mungkin salah satu contoh kecil yang dapat mendukung pertanyaan tersebut ialah kenangan saya pada saat berada dalam fase puppy love semasa sekolah.
Jujur, saya menaruh perhatian lebih pada kakak kelas yang humoris dan friendly karena menurut saya ia dengan begitu mudahnya dapat membuat saya tertawa begitu keras walaupun dalam keadaan di bawah terik matahari yang begitu menyengat saat masa orientasi siswa baru berlangsung.
Mereka yang pendiam, terlalu serius dan cenderung terlihat mistirius justru tak begitu menarik bagi diri saya yang dulu dan berbeda dengan diri saya yang saat ini.
Semakin bertambah umur dan semakin dewasa saya dalam berpikir. Melalui proses refleksi diri, saya menjadi sadar bahwa justru pria pendiam begitu menarik adanya.
Kata siapa mereka yang pendiam selalu diam dan membosankan? Saya pikir, mereka yang pendiam akan mencoba bertingkah bodoh dan melontarkan candaan walaupun sedikit kaku untuk dapat membuat pasangannya tertawa. Dan saya rasa itu adalah nilai lebih yang tak dimiliki oleh pria humoris.
Sebab, pria pendiam akan terlihat begitu hangat hanya dengan pasangannya. Sedangkan pria humoris akan terlihat sangat hangat dengan semua orang yang sering kali membuat pasangannya tak merasa bahwa dirinya adalah special.
Saya akan berbagi sedikit pengalaman yang muncul dalam proses refleksi diri yang saya lakukan terkait dengan preferensi antara pria humoris dan pria pendiam.
Sekira beberapa tahun yang lalu saya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan banyak teman baru dan pada saat sesi foto bersama berlangsung, keadaan menjadi riuh.
Saya dan sebut saja X (pria) harus berdiri begitu dekat karena tak ada space yang tersedia. X justru meminta untuk salah satu teman pria nya untuk berganti posisi dengannya.
X berkata bahwa ia tidak mau berfoto dengan jarak yang sangat dekat dengan saya karena takut menyakiti perasaan kekasihnya yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri pada saat itu.
Sebagian orang mungkin akan menganggap aksi X begitu berlebihan atau bahkan lebay bukan? Dan sisa nya mungkin akan bertanya apakah saya tersinggung dengan aksi nya tersebut?
X dan kekasihnya menjalani hubungan jarak jauh (LDR). Percayalah, walaupun ia berfoto begitu dekat dengan saya ataupun bahkan flirting dengan banyak wanita, bukankah kekasihnya juga tak mengetahuinya?
Jika ditanya apakah saya tersinggung, jawabannya jelas tidak. Saya justru sangat kagum dengan pria seperti itu dan begitu menaruh apresiasi pada X ditengah peradaban dari banyak pria muda yang justru mencari-cari kesempatan dalam kesempitan.
Jika ditanya bagaimana hubungan saya dengan X. Saya dan X dalam beberapa kali kesempatan harus bekerjasama dalam 1 proyek dan X tetap begitu profesional dalam proyek tersebut. Kami tetap berdiskusi, kami tetap bertemu, kami tetap saling mengirim pesan tapi saya sangat mengakui bahwa X begitu tahu mana batasannya yang mungkin terlewatkan oleh mereka yang humoris.
Tanpa mereka sadari, mungkin sifatnya yang begitu humoris dan friendly justru pada akhirnya hanya akan menaruh luka pada pasangannya. Mereka tak akan mengerti, mereka tidak akan pernah paham. Sebab bagi mereka lelucon bisa dilontarkan pada siapa pun itu hingga menyebut seseorang hanya sebatas teman. Bukankah pada awalnya Anda dan pasangannya Anda juga berawal dari teman? Bagaimana Anda dapat menjawabnya?
Penelitian terbarukan dari University of Miami mengunggah fakta bahwa wanita memiliki kecenderungan untuk menyukai pria yang dapat membuat mereka tertawa, dan pria menyukai wanita yang menertawakan lelucon mereka dan lelucon tidak hanya bisa dilontarkan oleh pria humoris saja seperti yang telah saya utarakan pada awal tulisan ini.
Melalui tulisan kali ini, saya ingin mencoba memberikan hipotesis (teori yang lemah atau asumsi yang perlu dibuktikan secara empiris) bahwa memiliki hubungan dengan pria humoris akan menurunkan rasa trust dan meningkatkan konflik interpersonal pada dewasa awal yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh.
Perlu saya tegaskan kembali bahwa kelimat tersebut masih hipotesis sifatnya sehingga membutuhkan pembuktian lebih lanjut dan mungkin akan menjadi topik riset saya di masa yang akan datang.
Untuk mengakhiri tulisan pada kesempatan kali ini. Saya ingin menjelaskan bahwa memilih pasangan kembali lagi pada preferensi setiap individu. Setiap individu berbeda-beda dan unik.
Jika ingin mencari seseorang yang 100% dapat mengisi kepingan kosong di dalam hati kita dan seseorang yang 100% cocok dengan kita tentu jelas tidak ada dan tidak akan pernah kita jumpai, mungkin.
Menurut saya, Anda tidak perlu mencari pasangan yang sempurna. Namun carilah pasangan yang dapat membuat Anda berhenti untuk mencari. Sebab sesempurna apapun seorang pasangan Anda kelak, pasti akan terus ada yang lebih baik dan lebih baik. Kita hanya perlu tahu bahwa yang lebih baik belum tentu yang terbaik.
Kadang kita harus mencoba untuk mengerti jika ingin di mengerti. Kita harus mencoba untuk memahami jika ingin di pahami. Mencoba saling mengerti dan memahami satu sama lain adalah kuncinya sebab sebuah hubungan tidak hanya di bangun oleh salah satu pihak saja, melainkan di bangun oleh kedua belah pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H