Kaum laki-laki selalu diekspektasikan sebagai seorang individu yang kuat agar dapat selalu melindungi wanita. Namun, apakah mereka tidak diperbolehkan untuk dapat bercerita saat mereka merasa cemas serta menangis ketika mereka merasa sedih? Pada hakikatnya, mereka juga merupakan seorang manusia, sekali lagi "seorang manusia".
Setiap manusia tanpa terkecuali serta tanpa terspeksifikasi tentunya memiliki emosi, baik itu emosi positif ataupun emosi negatif sehingga sangat tidak adil yang terjadi bila mereka mendapatkan diskriminasi ketika mereka sedang mengekspresikan emosinya.Â
Sebab, dengan memaksakan stereotype yang berkembang sering kali membuat mereka memendam konflik emosionalnya seorang diri dan hal tersebut dapat berakibat fatal pada kesehatan mental serta kelangsungan hidupnya sebagai seorang manusia.Â
Hal tersebut juga telah dibuktikan oleh fakta yang mengatakan bahwa jumlah laki-laki sebagai penghuni Rumah Sakit Jiwa jauh lebih banyak dibandingkan dengan wanita.
Sebelum melangkah lebih jauh dan melanjutkan tulisan pada kesempatan kali ini. Saya perlu menegaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini sama sekali bukan ditulis dengan tujuan membandingkan antara wanita dengan laki-laki dan siapa yang "lebih" memerlukan keadilan terkait diskriminasi ataupun pelecehan seksual.
Tulisan ini justru dibuat secara eksklusif untuk dapat membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keadilan bagi seluruh manusia tanpa terkecuali, termasuk kaum laki-laki. Sebab laki-laki juga dapat menjadi korban dari aksi diskriminasi serta pelecehan seksual yang marak terjadi belakangan ini.
Tepat 2 hari lalu, masyarakat Indonesia digemparkan oleh sebuah twit yang telah diunggah akun @mediteraniaq pada Rabu (1/9/2021). Twit tersebut sendiri berisi rangkaian kisah yang menceritakan perlakuan melecehkan serta diskriminatif yang telah diterima nya dari sesame rekan kerjanya di Divisi Visual Data KPI Pusat. Sebuah kisah yang membuat siapapun yang membacanya akan merasakan kesedihan yang mendalam pula.
Tak langsung mencaci maki pelaku seperti apa yang dilakukan kebanyakan pembaca twit tersebut. Saya mencoba dengan tenang untuk dapat berada pada perspektif dari ketujuh pelaku, mencoba untuk menelisik lebih jauh motif apakah yang membuat mereka begitu tega melakukan hal keji seperti itu.
Namun, semakin lama saya berpikir dan merenung. Saya justru semakin bingung dan tak menemukan satu pun hal dari sisi saya pribadi terkait perspektif para pelaku dan saya secara tegas mengatakan bahwa tak terdapat satupun alasan ataupun argumentasi yang dapat membenarkan aksi diskriminasi serta pelecehan seksual yang telah pelaku lakukan.
Di mana sisi kemanusian kalian sebagai manusia ataukah masih pantas saya menyebutnya sebagai manusia? Terbaca sedikit keras namun pantas.