Mohon tunggu...
Cimewew Hohoik
Cimewew Hohoik Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Miyawws Lover

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Denyut Iman dalam Bangsa

19 Agustus 2023   19:12 Diperbarui: 19 Agustus 2023   19:46 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dewasa ini, konvergensi fungsional antara parlemen dengan asas religiusme harus bersifat deliberatif sehingga substansi dari regulasi yang ditetapkan mewujudkan suatu integritas yang harmoni antara masyarakat dan pimpinan disertai aspek Ketuhanan. 

Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan masyarakat dalam mewujudkan kemaslahatan yang tidak semata-mata untuk kaum kapitalis saja, akan tetapi berlaku untuk seluruh warga negara secara merata dan transparan. Inilah yang dimaksudkan dengan keterpaduan antara harasat ad-dun ya yang bersinergi dengan harasat ad-din. 

Masyarakat dan Tuhan

Mayoritas masyarakat beragama di dunia mempercayai Tuhan. Urgensitas iman dalam kehidupan beragama merupakan bagian penting dari penataan keimanan dan penataan kehidupan beragama. 

Pemahaman keagamaan dan penataan keimanan harus terinternalisasi dalam diri setiap anggota masyarakat. Penataan ini memiliki dampak yang cukup serius jika tidak ditinjau secara komprehensif, baik untuk masing-masing individu maupun interaksi antar sesama (proses bermuamalah). Karena jika hanya bermodalkan agama tanpa adanya iman, bisa saja memunculkan persepsi yang salah dan berakibat buruk. 

Kesalahpahaman penataan terhadap eksistensi Tuhan akan memunculkan kesalahpahaman pula di dalam penataan kehidupan. Kesalahan dalam berfikir akan bedapak pada tindakan amoral seperti realita spiral kekerasan yang terjadi, aspek moralitas yang di-anak[1]tiri-kan, larangan kontestasi pendapat terhadap Pemerintahan. Ini mengakibatkan timbulnya inkonsistensi regulasi oleh para pemimpin. Dan akhirnya, disharmoni di kalangan masyarakat terjadi.

Gen Iman dalam Otak 

Andrew Newberg dalam bukunya Born to Believe menjelaskan bahwasanya ketika otak membangun peta realitas-sadarnya, respon-respon emosi dalam rentang yang luas akan direkatkan kepada semua yang kita amati dan pikirkan melalui perasaan maupun panca indra. 

Sebagian besar aktivitas otak melibatkan persepsi kita mengenai lingkungan sekitar dan keadaan internal tubuh yang dimana proses ini umumnya terjadi tanpa disadari. 

Selanjutnya, masing-masing belahan otak menerima realitas dengan cara yang berbeda. Secara general dikatakan bahwa belahan kanan meraup secara spasial dunia seutuhnya lewat perasaan. 

Sisi kiri mengubah realitas menjadi rangkaian ide yang dapat dikomunikasikan lewat bahasa kepada individu lainnya. Kedua belahan otak ini, ketika bekerja secara fungsional memberi kita rasa realitas yang jelas berbeda daripada rasa yang terbentuk ketika hanya salah satu bagian saja yang bekerja. 

Kedua sisem otak ini dapat mengantarkan akan kekaguman atas penciptanya. Ini adalah gen-iman. Ini adalah dasar munculnya keimanan yang harus ditata dengan baik agar sejalan dan selaras dengan perkembangan ilmu secara naturalis. 

Buku Iman dan Kehidupan karya Al-Qardhawy juga menuturkan ahli pengetahuan yang religius lebih sanggup untuk menjelaskan hubungan, susunan, dan ketentuan yang terjadi pada segala sesuatu dalam alam ini, baik di bumi atau di langit, keteraturan tata surya.

Negara dan Iman

Pengkajian penataan negara akan bersifat lebih kompleks jika disandingkan dengan sisi keimanan disebabkan orientasi epistemology dan aksiologi ketatanegaraan dari pemerintah dan parlemen yang terbentuk merupakan demi Tuhan, dan selalu berorientasi pada ketuhanan, sehingga aspek hubungan dengan Tuhan akan teraplikasikan dan didasari dengan hubungan antar manusia. 

Ini dapat dibuktikan dengan negara Iran yang dimana kondisi dinamistik yang terjadi dikalangan para ulama dan pemikir Islam Iran, mulai dari masa klasik, pertengahan hingga modern telah membawa Iran ke dalam suatu tatanan politik yang kuat lagi tangguh dibawah kendali keseimbangan antara agama dan politik.

Sedangkan tata negara yang dibangun tanpa asas keimanan akan bersifat kapitalisme atau bahkan liberalisme. Salah satu contoh yang bisa diambil melalui tulisan Hastedt, American Foreign Policy: Past, Present, Future terkait kebijakan luar negeri AS yang sering dibicarakan dalam lingkup ketegangan dialektik antara dua pola yang berlawanan, yaitu: pragmatisme-realisme dan legalisme-moralisme. 

Bagi para pendukung dan praktisinya, realisme adalah sebuah pemahaman yang tertib, jernih, serta tegas tentang perumusan kebijakan yang berdasarkan pada kepentingan negara. 

Sebaliknya, legalisme-moralisme yang dijelaskan Hartz dalam buku The Liberal Tradition in America menunjukkan sebuah etos budaya yang lebih komprehensif beserta nilai-nilainya yang tertanam dalam gagasan inti dari kebesaran bangsa, berdampingan dengan perjuangan kebebasan individu dan kapitalisme demokratis. 

Mayoritas masyarakat Amerika menganggap dirinya masyarakat yang superior dalam moral dan politik, bagai sebuah kota gemerlap di atas bukit, membawa misi universal dengan didorong anggapan diri yang merasa istimewa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun