Si lelaki menarik nafas sebentar. Lalu melanjutkan "Aku ingin kau mendengar ini. Baik-baik. Dengarkan aku", disentuhnya kedua bahu si wanita yang baru ia sadari semakin kurus. Di jauhkan dari dekapannya agar ia bisa memandangi wajah itu lekat-lekat. Tapi si wanita membuang muka. Cekungan di lehernya terlihar dalam, menahan.
"Cinta, kau harus tau. Sejak awal aku menikahimu, aku hanya mencintaimu, bukan bentuk dadamu. Aku menginginkan hatimu, bukan segala sesuatu yang berhubungan dengan organ-organ pemuas nafsuku". Wanita itu masih membuang muka. Tapi diam-diam ada sesuatu yang ia rasakan menghangat dari dekat perutnya. Tangisnya reda meski tak sepenuhnya berhenti. "Tapi kalau kau memang merasa lebih nyaman dengan dua benda itu", matanya kini memandang dua spon yang tergeletak pasrah di atas kasur. "Gunakanlah".
Tak lama tangan lelaki itu menyentuh dagu si wanita. Mengangkatnya hingga kini ia bisa melihat mata coklat yang sangat dirindukannya. "Namun saat denganku, buanglah, kumohon. Aku suka melihat yang seperti itu", matanya melirik nakal ke arah dada yang lupa ditutup pemiliknya. Wanita itu tersenyum malu sambil memukul gemas bahu lelaki di depannya. Mereka berpelukan lagi.
"Nanti siang kujemput untuk kontrol rutin"
"Aku takut nanti siang dia datang"
"Tidak dia tidak akan datang -- seperti tadi malam. Kalaupun dia datang, aku ada di sisimu, aku menjagaimu dan aku akan meminta supaya waktunya ditangguhkan. Janji", namun kini lelaki itu tak seyakin tadi malam. Dipeluknya lagi lebih erat wanita cinta terakhirnya, sambil terus meneguhkan hati, bahwa tamu tidak diundang itu tidak akan datang siang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H