"Aku merasa, malam begitu panjangnya, sayang"
"Kenapa?" lelaki berkaus tipis warna putih yang berbaring di sebelahnya menjawab sambil menatap langit-langit kamar. Kedua tangannya ia sembunyikan di balik kepala. Sebagai bantal. Gelap membuat mereka tidak tau sedang memandangi satu titik yang sama.
"Entahlah, aku hanya merasa dia akan datang malam-malam. Dan siang hari aku bisa tenang", ada desah di akhir kalimat si wanita.
"Itulah kenapa kau selalu bisa tidur pulas di siang hari dan tidak di malam hari?" si wanita merasakan ranjang mereka bergoyang. Bersamaan dengan itu ia merasa embusan angin hangat menyentuh pipinya. Nafas.
Walau gelap si wanita bisa mengira-ngira. Lelaki di sebelahnya sedang memiringkan tubuh ke arahnya, lalu menyangga kepala dengan tangan yang membentuk sudut segitiga.
"Ya. Maafkan aku, sayang" suaranya lemah dan bergetar. Seperti dawai-dawai biola lawas yang digesek perlahan. Begitu miris.
Lelaki itu kini memasrahkan kepalanya pada bantal. Tubuhnya masih miring. Kedua tangannya sudah beralih ke tangan kanan wanita yang dari tadi didiamkannya. Wanita itu masih telentang. Masih menatap langit-langit kamar yang sama seperti tadi. Dingin. Dan genggaman erat itu menghangatkannya.
Dari tangang kanan, si lelaki memindahkan salah satu tangannya ke area kepala . Membelai-belainya lembut sebentar. Setelah itu dengan punggung tangan dielusnya pipi wanita di sebelahnya. Basah. Ia pastikan ujung ibu jarinya menyeka hingga kering air yang ada di sana. Kini ia merasa semua membaik. Ia turunkan lagi tangannya. Menyentuh sesuatu. Salah satu harta wanita yang sering dipuja-puja, terutama oleh pria. Diagungkan karena kebesarannya.
"Apa ini yang membuatmu minta maaf, cinta?", lembut suara itu. Ditambah sentuhan di area pribadinya membuat tenggorokan wanita itu tercekat. Ia tau, upaya si lelaki untuk menyeka air matanya tadi hanya sia-sia saja. Kini mata itu sudah berair lagi. Ia tidak menjawab.
Dengan penuh perasaan dikecupnya wanita yang sudah bersamanya hampir sepuluh tahun. Sudah menghadiahinya tiga jagoan yang tangguh-tangguh. "Tidurlah cinta, semua orang butuh tidur di malam hari. Kalau esok siang kau masih ingin tidur lagi tidak masalah. Tapi malam ini kumohon. Tidurlah." Tangan lelaki itu sudah turun dari bagian sensitif ke arah perut (yang diam-diam membuat si wanita bernafas lega).
"Aku takut dia datang malam-malam, sayang. Saat aku terlalu pulas."
"Aku disisimu. Aku menjagaimu. Kalau dia sungguhan datang aku akan minta waktunya ditangguhkan. Aku berjanji".
Wanita itu pun percaya. Lalu mengangguk kecil dan memejamkan matanya. Sedang si lelaki benar-benar berjaga. Sampai pagi.
^^^
"Sudah pagi, cinta", kamar masih remang. Cahaya memang sengaja dibuat pelit masuk. Lelaki itu bangun, menegakkan punggungnya. Lalu dipandanginnya seorang wanita yang terlihat seperti siluet saja. Terbaring nyenyak disebelahnya. Menghisapi jempolnya seperti bayi.
"Dia tidak datang, cinta", dibisikinya wanita itu. Tedengar suara berkecap-kecap dari bibir wanitanya. "Kau tidur pulas sekali di malam hari, cinta. Sudah dua bulan lewat limabelas hari hal ini tidak terjadi", lelaki itu masih bermonolog. Tiba-tiba matanya menatap satu titik. Dari balik piyama tipis nampak dua bagian menyembul tinggi. Besar. Insting lelakinya membuat ia menelan ludah.
Pelan-pelan tangan itu merambah naik ke atas piyama si wanita. Dengan tangan kanan dibukanya kancing-kancing kecil di sana. Pelan sekali. Ia tidak mau membuat wanita belahan hatinya itu terusik lalu bangun. Tidak banyak anak kancing yang dilepasnya. Hanya empat saja. Dirabanya sebentar, dirasakannya kenyal itu dari luaran pembungkusnya. Lelaki itu menahan nafas. Ia merasa pori-pori kulitnya mengeluarkan keringat lebih banyak. Padahal AC menyala.
Ditariknya sesuatu dari dalam bungkusan berenda warna hitam. Sekali lagi ia menelan ludah. Sedikit tergetar di hatinya. Dua benda itu sudah ada di tangannya kini. Dipandanginya lekat-lekat dua benda itu. Dua benda yang selama ini menjadi teman asing belahan jiwanya. Spon empuk berukuran besar, sama dengan ukuran milik wanita itu, dulu.
Tiba-tiba si lelaki menyadari sesuatu. Ada isak-isak kecil di sampingnya.Wanita cintanya rupanya sudah bangun. Bersandar pada tepian ranjang dengan wajah kuyu dan rambut berantakan. Sedang memejamkan mata sambil menekan kuat-kuat perasaannya. Air tidak berhenti mengalir dari mata cekungnya yang kelelahan. Dua tangannya ia katupkan pada piyamanya yang setengah terbuka. Pada dadanya yang tak berbongkah lagi. Datar seperti milik lelaki.
Lelaki itu menoleh dan terbelalak takut. "Cinta, aku tidak..." mulutnya terbuka tapi kata-kata sulit sekali keluar. Ia ingin memberi penjelasan. Tapi tenggorokkannya bagai diganjal es batu. Lelaki itu merasa seperti maling yang kepergok.
"Kenapa kau lakukan itu, sayang?", tanya si wanita di sela isaknya. "Aku malu". Wanita itu melanjutkan. Dadanya masih ditutupi rapat-rapat. Serta merta si lelaki menggeletakkan spon di tangannya. Ia merangsek maju dan mendekap si wanita erat-erat. Wujud permintaan maaf, digabung dengan rasa cinta yang begitu dalam. Dibelainya punggung wanita itu. Dibiarkannya basah bahu bidangnya. Ia tau betapa malu wanita dalam pelukannya. Tapi yang membuat ia tidak tau, kenapa wanita itu musti malu?
"Maaf, aku membuatmu merasa malu. Tapi aku tau rasanya pasti tidak nyaman dengan dua benda itu. Lepaskan saja, cinta lepaskan", wanita itu masih tergugu-gugu.
Si lelaki menarik nafas sebentar. Lalu melanjutkan "Aku ingin kau mendengar ini. Baik-baik. Dengarkan aku", disentuhnya kedua bahu si wanita yang baru ia sadari semakin kurus. Di jauhkan dari dekapannya agar ia bisa memandangi wajah itu lekat-lekat. Tapi si wanita membuang muka. Cekungan di lehernya terlihar dalam, menahan.
"Cinta, kau harus tau. Sejak awal aku menikahimu, aku hanya mencintaimu, bukan bentuk dadamu. Aku menginginkan hatimu, bukan segala sesuatu yang berhubungan dengan organ-organ pemuas nafsuku". Wanita itu masih membuang muka. Tapi diam-diam ada sesuatu yang ia rasakan menghangat dari dekat perutnya. Tangisnya reda meski tak sepenuhnya berhenti. "Tapi kalau kau memang merasa lebih nyaman dengan dua benda itu", matanya kini memandang dua spon yang tergeletak pasrah di atas kasur. "Gunakanlah".
Tak lama tangan lelaki itu menyentuh dagu si wanita. Mengangkatnya hingga kini ia bisa melihat mata coklat yang sangat dirindukannya. "Namun saat denganku, buanglah, kumohon. Aku suka melihat yang seperti itu", matanya melirik nakal ke arah dada yang lupa ditutup pemiliknya. Wanita itu tersenyum malu sambil memukul gemas bahu lelaki di depannya. Mereka berpelukan lagi.
"Nanti siang kujemput untuk kontrol rutin"
"Aku takut nanti siang dia datang"
"Tidak dia tidak akan datang -- seperti tadi malam. Kalaupun dia datang, aku ada di sisimu, aku menjagaimu dan aku akan meminta supaya waktunya ditangguhkan. Janji", namun kini lelaki itu tak seyakin tadi malam. Dipeluknya lagi lebih erat wanita cinta terakhirnya, sambil terus meneguhkan hati, bahwa tamu tidak diundang itu tidak akan datang siang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H