Mohon tunggu...
Cika
Cika Mohon Tunggu... Tutor - ...

No me gusta estar triste . Pecinta "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang" #WARKOP DKI . Suka menjadi pekerja tanpa melewati titik kodrat wanita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sedikit Saja Lewat!

7 Maret 2024   22:55 Diperbarui: 7 Maret 2024   22:57 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sorot matanya sungguh sangat tajam.
Dijambaknya Dru dengan sekuat tenaganya. Dia ludahi Dru. Lalu ditendangnya dengan sekuat tenaga.
Dru sungguh tidak pernah menduga saat ini adalah masa paling sulit Dru melepaskan dirinya dari situasi yang tidak mengenakkan.

Langkahnya sungguh berat. Diraba pelan lututnya, sedikit ungu.
Dru betulkan posisi kakinya. Tidak ada yang Dru inginkan malam ini selain segera sampai di ranjang bututnya, meluruskan kaki dan punggungnya.

Tuhan, aku tidak pernah bermimpi ada di hari ini.
Juga tidak pernah ingin ada di tempat itu, di malam yang terlalu gelap hingga Dru sulit mengenali manusia yang dengan kasarnya melukai Dru tanpa ampun.

Tepat jam dua pagi. Dru sampai di kamar sempitnya.
Dru tatap dirinya di cermin kotak pemberian Metta. Sedikit bengka di kelopak matanya lalu ada tetesan darah kering di pelipis dan bahu yang sulit untuk digerakkan.

Dru paham, mala mini memang akan tiba. Dru sangat sudah bisa menduga jika Bram terlambat ambil keputusan lambat laun, Dru yang akan tersakiti, tapi tidak dengan Bram.

Bram anggap semuanya biasa saja. Bram anggap Dru memang duri yang seharusnya dicabut, tidak pelu hidup, karena hanya merusak indahnya kehidupan Bram.

Dru benci malam ini, sekaligus berterima kasih pada semesta karena akhirnya Dru paham. Bram tidak patut untuk Dru pertahankan.

"Dru, tolol kamu. Kamu itu tidak jelek, kamu pun sangat berharga. Kenapa kau biarkan Bram terus menyakiti kamu?"
"Engga ko Met. Aku tidak merasakan apapun. Yang kamu lihat sungguh sangat biasa untuk aku"

Metta kompres mata Dru. Dengan penuh cemas, Metta bersihkan luka Dru.
"Pelan ya Met. Aku masih ingin hidup?"
"Syukurlah jika kamu masih ingin hidup. Setidaknya dengan kamu sampai di sini saja aku tahu bahwa kamu masih mau ketemu aku, masih ingin mencapai cita-cita kamu, masih ingin melunasi hutangmu pada Bapa dan Ibu kan?"
"Iya... Iya Met. Aku dibesarkan bukan untuk jadi pecundang"

Dru tersekat.
Dia ingat-ingat masa-masa sedikit manis Bersama Bram.

"Kukira Bram bisa sembuhkan aku dari lukaku selama ini Met"
"Ternyata?"
"Ternyata Bram justru yang menghantarkanku ke pintu kematian"

Metta sudah selesai membersihkan luka-luka Dru.
Dia gantikan pakaian Dru. Kemudian Metta perbaiki posisi bantalnya agar Dru bisa tidur dengan nyenyak.
Dru sangat butuh istirahat Malam ini.

________________

Metta ambil syal di ujung lemari.
Di luar angin malam begitu menusuk. Dia tidak sudi Dru, sahabat yang sangat dia cintai begitu terluka karena Bram.

Dengan piawai Metta menelusuri jalan gelap menuju rumah Bram.
Angin meronta memanggil Metta. Sesekali menyuruhnya untuk berhenti. Langit sudah mulai menurunkan air hujan. Sesekali petir kecil menyala tepat di atas kepala Metta.

"Aku harus segera sampai sebelum langit menjadi terang"

Tepat jam 4 pagi Metta sudah sampai di Apartemen Bram.
Metta gedor dengan sangar pintu Kamar Bram.

"Anjing lo. Keluar!"

Tidak ada suara sedikit pun.
"Bram, bangsat. Buka pintu!"

Lagi-lagi tidak ada suara sedikitpun.

Metta sudah sangat tidak sabar. Dia tending pintu kamar Bram.
Berkali-kali dia hentakkan hak sepatunya ke badan pintu.

Lima belas menit metta di depan Kamar Bram.

"Maaf Mba. Ini sudah menjelang pagi. Apa tidak sebaiknya pulang saja dan kembali besok?"
"Tidak bisa , Mas. Bram, iya lelaki penghuni kamar ini sudah menyakiti sahabat saya. Saya ingin bikin perhitungan"
"Tapi dari lepas isya tadi, Mas Bram keluar apartemen ini dan belum kembali sampai sekarang mba"
"Mas ini suruhan Bram?"
"Bukan. Bukan Mba. Saya memang tidak melihat lagi Mas Bram masuk"

Ah sial.
Metta tidak berhasil menemui Bram.

Dengan emosi yang sudah sangat memuncak Metta segera bertolak dari Apartemen Bram.

Angin makin tidak bersahabat.
Hujan makin menggila menuju pagi.
Metta menambah kecepatan mobilnya. Dia khawatir dengan keadaan Dru.

Dari ujung jalan perasaan Metta tidak enak.
"Ada apa ya? Ko hatiku jadi tidak karuan?"

"Dru..."

_____________________

"Mba Metta maaf. Tadi ada laki-laki yang biasa antar Mba Dru kesini. Dan sekarang Mba Dru dibawa ke Rumah Sakit. Katanya takut infeksi lukanya Mba Dru"

"Loh. Bu ko ga kabarin aku sih?"
"Salah ya saya ?"
"Jelas salah. Dru itu terluka ya karena laki-laki itu"
"Aduh maaf Mba, aku kira dia datang diminta Mba Metta. Lagian mba Metta abis darimana? Mba Dru tadi muntah darah Mba"
"Apaaaaa?"

_____________________

"Dru tahan...aku segera datang"

Handphone Metta berdering kencang.
Ibu Kost menelepon Metta berkali-kali.

"Ada apa sih Ibu. Ibu kan tahu saya sedang buru-buru"
"Iya maaf Cuma mau tanya kok, Mba Metta memangnya sudah tahu alamat Rumah Sakitnya?"
"oh....hmmm di mana memangnya Bu?"
"Nah itu kita semua tidak ada yang bertanya ke mas yang tadi"

Metta duduk dengan lemas.
Dia tidak tahu harus kemana mencari Dru.

"Dru, kamu di mana. Luka kamu bagaimana? Kaki kamu Dru, kemudian memar-memar di badan kamu bagaimana?"

Metta segera putar balik, sangat tidak mungkin untuk Metta cek satu persatu Rumah sakit untuk mencari Dru.

Metta duduk di ujung Kasur Dru. Darah segar terlihat di atas bantal Dru.

Seharusnya Dru masih di sini. Tidur dengan lelap.
Seharusnya aku tidak gegabah meninggalkan Dru.
Seharusnya aku menjaga Dru dengan baik. Kalau bukan aku lantas siapa lagi yang menemani kamu hidup Dru?

Metta semakin gelisah.
Darah di atas bantal sudah mulai kering dan Dru tidak ada kabar sama sekali.

Handphone, Dru tinggalkan di atas meja kerjanya.

Metta kemudian mencoba mencari tahu, setidaknya dari timeline mapsnya Dru.

Metta masih ingat passcode Handphone Dru.

102110

Terbuka!

Metta buka list call Dru. Kosong!

Kemudian beralih menuju WA, IG bahkan X nya Dru. Juga kosong

"Ya Ampun Dru, aku harus kemana. Kamu dimana?"

Tidak ada jejak sama sekali Dru sudah darimana.

Sampai akhirnya Metta membuka Galery Dru.

Malam itu terrekam dengan sempurna.
Tidak ada Bram di rekaman itu. Tidak ada orang lain

Hanya ada Dru, Batu, Pisau dan Silet

"Dru...pulang. Pulang ke sini ke kamar ini!"

Handphone Metta bergetar.
Sederet pesan dari laki-laki yang Sudah melukai Dru.

"Met, Dru Bersama saya. Demi Allah saya tidak melukai Dru sama sekali. Tapi apa yang suda saya lakukan sangat cukup menjadi alasan untuk Dru berusaha mengakhiri hidupnya. Maafkan saya Met, semoga saya tidak terlambat"

Metta shock.
Dru mencoba mengakhiri hidupnya? Lantas apa yang sudah membuat Dru akhirnya bertahan untuk meneruskan hidupnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun