Mencoba mengingat Kembali, babak baru saat aku menyebutku sebagai perempuan dewasa yang dapat menjaga dirinya sendiri. Dengan begitu percaya diri aku sampaikan pada Ibuk dan bapak bahwa aku dapat diandalkan. Aku yakin dengan keyakinanku, maka tidak perlu khawatir. Satu hari Ibuk dan Bapak akan berbahagia dengan kebahagiaanku. Aku akan menjadi perempuan beruntung di muka bumi ini karena pilihan hidupku tak pernah salah.
"Percaya.Ibuk mah percaya sama kamu. Kamu kan tegas, tidak mungkin kamu ambil keputusan keliru"
Hah, hebat kali kau Dru. Sebegitu bacotnya kamu hingga Ibuk luar biasa percaya sama kamu saat itu.
Oh tenang saja. Aku akan menjaga hati Ibuk dan Bapak. Aku yakinkan sekali lagi aku tidak akan membuat sisa hidup Ibuk dan Bapak susah. Aku akan menomorsatukan mereka. Maka jika aku punya pasangan haru sayang Ibu dan Bapak. Karena aku yakin aku pun bisa sayang dengan mertuaku nanti.
Bagus kan imajinasiku!
Sampai akhirnya waktu itu tiba. Dengan segala sisa kekhawatiran. Ibuk dan Bapak ikhlaskan keputusanku.
Apakah aku ragu? Iya.
Lalu apakah aku berhenti? Tidak.
Gengsiku terlalu tinggi saat itu. Satu bulan menjelang pernikahanku. Aku baru paham bahwa ternyata pasanganku bukan besar di culture agama yang aku harapkan.
"Loh bukannya kamu jatuh cinta karena dia taat Dru? Shalat tak pernah tertinggal. Puasa Sunah rajin?"
Siapa yang bertanya ya saat itu. Tapi kurang lebih jawabanku seperti ini.
"Iya, aku tertipu. Maka jika siapapun mau dapat pasangan yang taat agama, kenali baik-baik. Percayalah semakin lama saling kenal akan semakin baik. Jangan terlalu berbangga hati tanpa pacaran langsung menikah adalah hal yang fenomenal. Berdebat dan adu argument adalah salah satu hal kecil untuk saling mengenal. Saat marah dan emosi adalah saat paling tepat untuk kamu menilai pasanganmu."
Kehidupan tidak boleh berhenti. Penyesalan tidak boleh aku pupuk terus. Karena bagaimanapun aku masih memiliki cita-cita dan harapan yang konon katanya tak boleh terputus.
"Buk, maaf terlambat lagi."
Aku benar-benar tak bisa tepati janji. Sungguh penyesalanku tak akan pernah terbayar.
Jika saat ini banyak hal yang tidak mengenakkan yang aku lalui. Aku yakin karena ulahku yang tak pernah mengiyakan Ibuk dan Bapak.
Maaf ya Buk, Pak. Aku minta maaf. Jika sampai pada akhirnya ceritaku tak seindah yang aku gaungkan. Bahkan hingga detik ini aku limbung.
Aku benar-benar tak punya imam, tak punya teman menjadi makmum.
Aku kesepian.