"Aku mesti bagaimana ya, dibilang bosan aku masih mau hidup, dibilang cukup aku ga puas?"Satu menit lebih lama, hidungku kalah telak dengan otak yang masih belum keisi nyawanya. Bisa-bisanya lamunan tentang indahnya hidup orang lain merusak cita-cita ngopi ditemani wangi tanah peninggalan hujan semalam.
Gosong. Kopiku gosong.
Kalau saja pagi ini aku tidak sendiri, mungkin sedang sama-sama tertawa. Melahap satu persatu bakwan kemudian mengulang kembali didihkan air dan menunggu kopi pahit tersaji di meja, menuangkan sedikit gula aren dan kecupan hangat di pagi hari.
Lamunan yang cantik. Sayangnya hanya mengisi bagian-bagian otak yang berlomba untuk tampil paling depan menjelang jam delapan tiba.
Kubenahi rambut kusutku, kutarik perlahan dengan ujung jari yang kukunya sempat sobek karena terlalu semangat membuka tutup galon tanpa bantuan pisau.
Entah sudah berapa lama lupa menyimpan sisir. Atau mungkin sebenarnya aku sudah tak punya sisir. Lepas mandi, kugosok sebentar dengan handuk yang warnanya sudah tidak jelas, kukibaskan sebentar di depan kipas angin sambal bercengkrama sebentar berharap kipas angin mampu mengurai helaian rambutku dengan baik.
Oke, rambutku sudah rapi.
Kujepitkan di balik telinga, kutata sedikit lalu kurapikan wajahku dengan seulas bedak bayi dan seoles lip tint.
Tak pintar berdandan, yang penting mukaku tak berjerawat sudah jadi kelebihan buatku.
Hebat para wanita di luar sana, mereka bisa membentuk alis dengan sempurna, melentikkan bulu mata dengan dahsyatnya, membuat bibir mereka tampil seksi dan pipi merona sangat indah.
Aku, berjam-jam di depan kaca saja hasilnya cuma mengeluh, menangis dan kemudian mentertawakan diri sendiri.
Alarm meeting sudah mulai bersahutan. Rasanya aku lupa dengan semangat yang sudah bertahun-tahun aku bangun. Saat ini bisa bangun, mandi dan kemudian duduk di depan laptop saja sudah bersyukur.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak mau aku jawab diakhiri dengan haha dan hehe saja sudah sangat hebat buatku.
Ya, aku paham setidaknya mencoba memahami, alasan yang menyebabkan orang lain dapat tersenyum lebar di setiap harinya.
Lima menit lalu, Bara lewat di depan hidung mungilku. Sekadar formalitas dia lambaikan tangan sekejap. Tidak persilakan duduk atau meminta izin duduk denganku. Dia lewat begitu saja. Wajahnya berbinar, hidungnya kembang kempis, mata sedikit terbelalak lalu di kejauhan kudengar.
"Woi Bro, omset gue tembus nih. Malam nanti kita jalan ya!"
Kemudian tidak lama, Cindy dengan outfit simple namun tetap elegan, tertawa kecil dan sesekali jingkrak jingkrak.
"Dru, lagi apa di situ. Sini ngopi denganku. Aku mau cerita deh!"
Agak ragu mendekati Cindy. Karena memang tidak terlalu dekat juga dan aku sudah ngopi gosong tadi di kost-an.
"Druuuu, ihhhhh kamu ya susah amat. Sini ah!"