"Jadi mau kamu apa?"
"Aku mau kita menikah."
"Tidak gampang Dru. Aku perlu memikirkan banyak hal untuk katakan iya."
"Kalau begitu kita selesai."
Kutinggalkan Bram. Muka masam tak bisa kusembunyikan. Hati menggerutu, jantung berdegup kencang.
Terlihat Bang Tarjo menganga, antara mau menyapa aku dan menyapa Bram. Masih dengan baki yang lengkap dengan dua gelas kopi pesanan kami dan sepiring pisang goreng, Bang Tarjo kembali menyimpannya di dapur.
Terlihat Mei, ikut menyeka keringat, dengan tangan yang masih dia disimpan di atas mesin kasir, kemudian mengelus dadanya lantas pura-pura bersihkan meja seolah bingung dan kaget dengan suara gebrakan meja yang Bram lakukan.
"Mbak Dru. Pesanannya piye?"
"Buat kamu Bang. Bayarin dulu, besok aku kesini lagi."
"Mbak Dru..."
"Apalagi sih Bang Tarjo, aku buru-buru ini. Atau kamu kasih Bram sana di atas, biar dia yang bayar ya!"
"Loh bukan, Mbak Dru.."
"Bang Tarjooooooo aku bilang aku buru-buru, cepat sedikit kalau mau bicara."
"Ini Mbak, mau pergi kan?"
"Iya, aku kan sudah bilang aku mau pergi."
"Pakai mobil Mbak Dru kan?"
"Ya Allah gustiii, la iya masa pinjam punya kamu."
"Ini kuncinya Mbak, tadi kan aku yang parkirkan."
Tarjo ini benar-benar buat aku kesal. Orang lagi emosi kok bisa diajak bicara panjang lebar. Tinggal kasih kunci saja kan bisa, aku juga tak perlu malu akhirnya.
Kedai Tiga Kopi ini bukan kedai besar. Namun entah kenapa, tidak ada kopi seenak di sini. Padahal tempatnya tidak istimewa, tidak ada barista khusus, menunya juga tidak banyak variasinya, tapi Mas Haryo pemilik kedai selalu membuat aku nyaman berlama-lama minum kopi di sini.
Kuambil dengan sedikit kasar kunci mobilku dari tangan Bang Tarjo. Kucari mobilku, tidak kutemukan. Hanya ada 2 mobil yang terparkir. Mobil Mas Haryo yang diparkir tepat di samping tiang kedai dan mobil Kedai yang Mas Haryo siapkan untuk wara-wiri keperluan Kedai.
Ah, sial. Mau tidak mau aku harus masuk lagi.
"Bang Tarjo, mobilku diparkir dimana sih?"
"Loh memang tidak ada Mbak Dru?"
"Kalau ada, untuk apa aku masuk lagi."
"Mau Ketemu Mas Bram mungkin Mbak."
"Jangan bercanda ya, mana mobilku?"
Bukan memberikan petunjuk, Tarjo malah menarik tanganku keluar.
"Jadi begini Mbak Dru, tadi pas aku mau parkir mobil Mbak Dru, ada mobil Mas Bram yang mau diparkir juga."
"Terus?. Mobil Mas Bram juga tidak ada?"
"Iya, karena sama-sama dititipkan sama aku, parkirnya takut tidak cukup, jadi aku pindahkan mobil Mbak Dru dan Mas Bram ke dekat masjid. Makanya tadi aku ngos-ngosan Mbak, pindah parkir jauh sekali.
"Hah, masjid?. Mesjid mana Bang?"
"Mesjid ujung Ruko mbak."
"Ya Allah itu kan jauh Bang Tarjo. Punya ide kok buruk sih Bang"
Waktu terbuang percuma, tiga puluh menit dari jarak aku tinggalkan Bram aku masih saja di sini.
Suara lantai kayu kedai berderik pelan, semakin jelas terdengar. Aku tak mau bertemu Bram, aku harus segera pergi.
Terlambat.
Bram turun menuruni akan tangga, mukanya sudah tak semasam tadi.
Tak punya pilihan lain, walau aku harus segera pergi hatiku berat untuk tinggalkan Bram.
Namun aku kesal melihat Bram.
Sekian lama aku berjuang, menunggu dan mengikuti apa maunya. Jawabannya selalu tidak sesuai dengan harapan.
Dengan alasan masih banyak yang harus dipikirkan, lagi-lagi Bram tidak berani mengambil keputusan untuk menikah denganku.
"Dru, Dru...tunggu. Aku masih mau bicara sama kamu!"
"Sudahlah Bram, mau mengeluarkan busa yang seperti apalagi?"
"Sinis banget kamu Dru, aku mau kamu mengerti saja. Itu saja Dru."
"Iya aku mengerti, bagian mana lagi yang belum aku mengerti?"
"Dengan kamu pergi artinya kamu tidak mau mengerti Dru."
"Eh, Mas Bram, Mbak Dru ini sebentar lagi Kedai ramai, bisa nda ributnya pindah ke ruangan Mas Haryo aja?"
Ya ampun tidak kami sadari kami ribut di depan Tarjo dan Mei. Pasangan macam apa yang ribut tidak tahu tempat.
Sudah terlalu kesal aku dengan Bram, aku saja tidak terlalu yakin mengenai alasan Bram untuk belum menikah denganku.
"Tolong tutup pintunya Dru, aku sudah izin Mas Haryo pakai ruangannya!"
"Mau bicara mengenai apa lagi Bram?"
"Dru, aku sayang sama kamu. Aku masih berdoa yang sama. Aku sedang meminta Tuhan untuk mengetuk hati Ibu agar aku punya kekuatan untuk memperkenalkan kamu ke Ibu."
"Kurangku apa ya Bram, hingga kamu masih berpikir seribu kali untuk memperkenalkan aku ke Ibu?. Apa aku terlalu buruk Bram?. Atau aku tidak seberapa hebat dibanding Nadya?"
"Bisa tidak kamu berhenti bicara Nadya?. Dengan aku masih bertahan sama kamu, ya aku putuskan untuk sama kamu Dru. Tapi tetap tidak semudah itu."
"Dengar aku Bram. Berkali aku bilang bahwa aku tak selevel denganmu, aku hanya pemain pengganti dengan bayaran murah, aku terlalu rendah untuk menjadi pilihanmu dan aku yakin ibumu tak akan suka denganku."
"Kamu bicara apa sih. Bukan Dru, tidak seperti itu. Sudahlah aku hanya kamu mau mengerti bahwa aku masih sayang sama kamu."
"Sayang?, kamu bicara masih sayang?. Oh berarti besok lusa bisa saja kamu sudah tidak sayang. Iya kan?"
"Ah Tuhan, salah terus aku bicara sama kamu."
"Sudah tahu salah, lalu untuk apa lagi kamu bicara?. Kau kejar saja Nadya, perempuan pilihan ibumu!"
Malas aku perhatikan Bram, lebih baik aku telpon Metta, cari kedai kopi lain, ngegosip, ketawa-ketawa dan tentunya tebar pesona.
Hiii, siapa Bram. Memang laki-laki cuma dia, memang dia the best gitu, sampai aku harus memohon dinikahi dia. Tak usah ya Bram. Bye...
Kaca kedai bergetar, semburat oren sekejap melesat.
"Petir ya Mbak Dru?"
"Bukan Jo, itu langit lagi buang dahak."
"Ih Mbak Dru ditanya serius jawabnya begitu."
Kesalku makin membludak. Maksudnya apa?. Tadi tidak jadi pergi karena ulah Tarjo yang parkir terlalu jauh. Sekarang Tuhan turunkan hujan yang deras dilengkapi petir yang saling membalas, suaranya melebihi teriakan aku dan Bram yang saling bertabrakan.
"Itu artinya kamu tidak boleh pergi Dru. Sini sayang aku mau sama kamu di sini!"
Bang Tarjo kembali menyaji dua gelas Sidikalang yang ditubruk, pisang goreng yang tadi sudah dimakan Bang Tarjo, lalu diganti  dengan singkong goreng kering plus sambal roa special buatan Bang Tarjo.
"Bram, kamu waktu lulus SMA memang inginmu kuliah di UI atau hanya kebetulan?"
"Memang ingin di UI. Masa iya kuliah kebetulan sih Dru. Adu nasib maksudmu?, isi soalnya pakai hitung kancing begitu?"
"Nah kan, kamu memang niat masuk UI, kamu belajar sampai kamu semangat UMPTN kan Bram?"
"La iya, kan tadi aku bilang."
"Menurutmu, kalau kamu tidak daftar UMPTN, kamu punya kesempatan masuk UI tidak?"
"Dru ngaco ah, bagaimana caranya aku lulus masuk UI kalau aku tidak ikut Ujian Masuknya."
"Sip, pintar kamu."
"Duh, maksudnya apa sih. Berbelit-belit kamu Dru?"
"Hey kamu Bramantyo, bagaimana caranya Ibumu bakal suka sama aku jika kamu tidak mengenalkan aku sama Ibu, bagaimana caranya ibu kenal denganku jika kamu tidak berani untuk mulai bercerita tentang aku, bagaimana caranya kamu kamu akan menikah denganku jika kamu bersikukuh bahwa jika sudah jalan Tuhan pasti akan menikah, sementara dari kamu tidak ada usaha sedikitpun. Tuhan juga kernyitkan dahi Bram."
"Dru, Tuhan Maha mendengar. Aku percaya Tuhan akan sentuh Ibu pada saat yang tepat."
"Kamu lulus di tahun kedua ikut Ujian kan?. Dan kamu terus berusaha dari kamu lulus SMA hingga akhirnya Tuhan kabulkan doa dan inginmu?"
"Iya, betul Dru."
"Sampai sini paham?. Asal kamu tahu ya Bram, kamu itu kelemahannya satu, kamu penakut."
"Jangan sembarangan kamu ya, aku bukan penakut, aku hanya hati-hati, aku tidak mau sembrono, kamu tahu kenapa?"
"Tidak, aku tidak tahu kenapa."
"Aku mau perjalananku denganmu berjalan indah, aku mau ada restu Tuhan di dalamnya, aku mau ada restu Ibu di dalamnya dan aku mau selamanya sama kamu. Maka aku tak pernah berhenti panjatkan doa agar aku bisa segera bersama kamu. Dru, bukan aku tidak berjuang, aku sedang lakukan itu sayang. Aku hanya tidak mau terburu-buru. Aku mau kamu pada saat yang tepat."
Kutatap lekat Bram.
"Ya sudah aku tidak jadi bertemu Metta, aku tidak jadi bergosip ria dengan Metta, aku tidak jadi mau ketawa-ketawa sama Metta, aku juga tidak jadi cari laki-laki lain."
"Loh memang kamu mau tinggalkan aku Dru?"
"Menurut kamu?"
Bram lemparkan senyum terbaiknya. Tak kuasa aku melihatnya.
Aku tunggu kamu Bram, kupanjat doa yang sama untuk bersama kamu, kuleburkan setiap harap dalam barisan surah dan ayat menuju khatamku dan khatammu berikutnya.
Berhenti saling berburuk sangka, berhenti saling bertabrak teriak.
Kunantikaan setiap khataman bersama kamu, hari ini, esok dan seterusnya. Kelak akan kita selesaikan dalam alunan suara pada ruangan yang sama.
#Bandung, 25 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H