Jariku sudah tak cukup untuk menghitung banyaknya uang yang menguap karena virus sialan ini. Lidahku sudah tak sanggup lagi merangkai sumpah serapah untuk si kampret Covid. Mataku sudah tak sanggup saksikan banyaknya piring yang melayang karena ketidakpuasan Sasti, istriku.
"Sudah kubilang, tabung uangnya. Kenapa harus kamu habiskan ke cicilan semua sih?"
"Ya mana aku tahu kalau tiba-tiba akan begini."
"Makanya percaya sama mulut istri bisa ga sih. Sudah ga ada uang di tangan. Mau makan apa kamu hah?"
Sasti tiba-tiba liar. Mukanya memerah, sorot mata terpancar tajam dari matanya yang bulat.
Telingaku tertutup rapat, tak sanggup untuk dengarkan umpatan dari mulut mungilnya Sasti.
Berkali tangannya diremas, berkali pula dia hentakkan jemari tangannya ke ujung meja makan kosong tanpa teman makan, tanpa apapun. Ujung kukunya patah saking besarnya emosi Sasti.
" ...inna haadzaa lahuwa haqqu lyaqiin, fasabbih bismi rabbika l'azhiim..."
Lintang, itu suara Lintang. Dalam luapan emosi dan hujatan yang kami umpat setiap saat. Masih ada lantunan Al-Quran dari suara Lintang yang lantang.
"Tuh dengar, bilang sama anakmu. Percuma baca Quran setiap hari. Ga bakal bikin debt collector berhenti nagih, ga bikin kamu jadi kerja dan ga akan bikin dapurku kembali ngebul."
"Astagfirullah Sasti. Kamu sadar dengan yang kamu bicarakan?"
"Apa, kamu bilang apa? Coba sekali lagi!. Hahaaa eh Sony. Badan kekar, muka garang, tato dimana-mana kau baca apa barusan?"
"Istigfar Sasti."
Hatiku teriris. Ya Tuhan. Sudah berapa lama aku biarkan Sasti tak mengenalmu?.