Sebelum hari itu, ada umpat yang sempat kita debatkan. Kubilang bahwa kau ini hanya membuatku limbung saja, disetiap pertemuan selalu kau siapkan cawan untuk aku muntahkan marah.
Kau tak menyanggah pun tak memberi angguk, jawabmu hanya sepucuk yaitu sibuk.
Otakku mendidih, mulutku berbusa lantas kutingkatkan satu nada agar telingamu sedikit terbuka bahwa aku murka.
"Jika kau seperti ini terus, maka aku sampaikan padamu bahwa kali terakhir kau menyebut namaku adalah hari ini."
"Oke, lalu."
"Jika kau tak mampu berucap apapun, maka aku sampaikan padamu bahwa kali terakhir kau menghubungiku adalah hari ini."
"Oke, lalu."
"Jika kau ingin aku menjauh, sampaikan saja dengan lantang jangan seperti juragan yang kehilangan rantang."
"Oke, lalu."
"Lalu, lalu kau teruskan kalimatku dengan lalu."
"Oke, lalu."
Ah, sial memang lelaki ini, dia bukan penyuka bikini juga bukan penganut Centini. Setiap kata buatku terpana, setiap nada buatku mempesona dan aku dibuat jatuh cinta .
"Tak semua laki-laki sama."
"Oke, lalu."
"Tak semua berakhir dengan kata."
"Oke, lalu."
"Tak selalu cinta harus bernada."
"Oke, lalu."
"Lalu, lalu kuteruskan dengan kalimat  rindu menderu melebihi seribu pandu yang beradu candu;"
Ah, sial rupanya aku rubuh dalam rengkuh angkuh yang telah kau tempuh.
#Bandung, 06 AprilÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H