Mohon tunggu...
Hidwar Norseha
Hidwar Norseha Mohon Tunggu... Guru - PNS

Berbuat yang terbaik demi membahagikan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memiliki Anak Cacat Fisik Bukan Aib!

6 Juli 2020   19:43 Diperbarui: 6 Juli 2020   19:31 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
internasional.kompas.com

Perjalanan hidup seorang anak memang ada yang tak mulus. Ada yang beruntung, ada yang buntung. Untung tak dapat diraih malang tak dapat di tolak.

Seperti kisah berikut yang diceritakan teman saya. Kisahnya sangat panjang, semoga kita semua mampu mengambil pelajaran. Dan berhati-hati ketika merawat anak.

Suatu hari, aku terjatuh ke tanah dari ketinggian. Rumahku bertingkat. Dari teras lantai dua, aku terjatuh tak sengaja.

Saat itu usiaku 13 tahun. Tulang belakangku patah, sehingga membuatku jadi orang cacat seumur hidup.

Ketika itu aku dirawat di rumah sakit. Meski menderita sakit patah, belakangan baru aku menyadari bahwa hari-hari di rumah sakit adalah hari-hari terbaik bagiku daripada pulang ke rumah.

Di rumah sakit aku mendapatkan perawatan dari dokter dan para perawat dengan senyum manis dan ramah. Makanan meskipun hambar tetap saja sangat untuk dinikmati.

Setelah pulang ke rumah, orangtua memperlakukanku layaknya sebagai musuh yang sesungguhnya. Mereka sering mengatakan, "Engkaulah biang dari malunya keluarga dan kesialan kami.
Bagaimana mungkin kami mengatakan bahwa kami adalah orangtua dari anak perempuan yang lumpuh? Engkau tetap menipu kami selamanya."

Bukan menghibur atas apa yang aku derita, siang malam mereka malah mengejek aku. Mereka tak pernah berpikir bahwa aku adalah korban dari sebuah kecelakaan yang tak sengaja.

Siapa yang mau mendapatkan kecelakaan yang tak menguntungkan sama sekali? Secara pribadi aku tak bertanggungjawab sama sekali atas apa yang terjadi.

Aku selalu memohon kepada Allah SWT agar diberikan kepadaku kematian dan membebaskan dari kehidupan ini.

Dengan kaki lumpuh, aku selalu memaksakan diri berkeliling rumah dan mengerjakan sesuatu. Aku ingin berusaha semampu bisa agar tak banyak bergantung pada orang lain.

Tak seorang pun orang rumah yang peduli kesulitanku. Orangtua telah berhenti menganggapku sebagai anak perempuannya. Keberadaanku adalah aib keluarga bagi mereka.

Di usia 15 tahun aku tampak seperti seorang perempuan yang berumur 50 tahun. Orangtua aku telah meninggal dan saudara-saudaraku yang laki-laki maupun perempuan tidak pernah mempedulikanku.

Hingga akhirnya aku pun menikah. Suamiku adalah lelaki yang sangat baik. Dia sangat mencintai aku. Sebelum ini, aku telah melupakan cinta dan kasih sayang.

Sekarang hari demi hari, keadaan aku semakin baik. Kini, aku adalah perempuan yang benar-benar sehat dan kuat. Allah SWT telah memberikan anak, dan sekarang aku hidup dengan bahagia.

Demikianlah, orangtua yang akan memiliki anak, hal pertama yang terpikir adalah apakah anakku sehat dan normal?

Dahulu, saya ketika melahirkan anak pertama, ibu saya bercerita. Pertama kali yang dilihat dari anak saya adalah jumlah jari tangan dan jari kaki. Entah apa sebabnya. Setelah itu baru mata, daun telinga, hidung. Lucu memang!

Hal terburuk bagi orangtua adalah ketika memiliki anak yang cacat fisik. Baik karena bawaan lahir maupun ketika mendapat kecelakaan.

Tak seorang anak pun berkeinginan mendapatkan kecelakaan dan berakibat cacatnya fisik. Tapi jalan hidup bukan kita yang menentukan. Semua sudah ditakdirkan oleh yang kuasa.

Jelas, anak yang cacat akan memikirkan cacatnya. Mereka akan rendah diri. Jika tidak dilakukan upaya untuk membuang perasaan semacam itu dari benaknya, mereka akan selalu bersedih dan murung.

Sebagai orangtua, yang memiliki anai dengan cacat fisik harus berbesar hati. Jangan sekali-kali orangtua menyebutkan kekurangan cacat fisik anak.

Lebih bijaksana jika menghiburnya dengan membandingkan atau mengajak mereka ke tempat orang-orang yang juga memiliki cacat sepertinya.

Dari sini akan kemungkinan besar akan membangkitkan motivasi anak untuk bertahan. Setelah sebelumnya menerima keadaan yang dimilikinya. Kemudian dengan perhatian yang serius dan penuh kasih sayang, bekalilah mereka dengan keterampilan agar mandiri.

Bagaimana pun, mereka masih punya perasaan. Cacat fisik tak mengakibatkan cacat batin. Oleh karena itu, jangan karena cacat fisik menyebabkan cacat batin anak.

Jika seorang anak yang cacat menunjukkan rasa gelisah  atas cacat dirinya, maka orangtua harus menenangkan. Dan ingatkan serta pujilah dia akan kemampuannya yang lain.

Terakhir, selalu bersyukur adalah kunci segalanya. Memiliki anak cacat lebih beruntung dari pada mereka yang tak memiliki anak sama sekali. Mereka yang tak memiliki anak lebih beruntung memiliki pasangan daripada mereka yang hidupnya sendiri. Dan seterusnya....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun