Mohon tunggu...
Cici Nauli
Cici Nauli Mohon Tunggu... -

menjalani semua dengan sebaik mungkin, berdoa dan berusaha

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ibu, Aku Tetap Menyayangimu Meski Hadirku Tak Pernah Kau Harapkan (2)

20 Juni 2012   03:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:46 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku sudah tidak sabar menunggu matahari terbit karena esok hari aku akan bertemu dengan seorang wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dan hari ini aku sudah mempersiapkan semuanya untuk menyambut kedatanganya. Aku sudah membersihkan dan merapihkan rumah, terutama kamar tidurku karena aku akan meminta Ibuku untuk tidur bersamaku. Ingin sekali aku merasakan tidur dengan Ibuku yang tak pernah aku dapatkan sampai dengan saat ini dan aku juga sudah meminta cuti selama 2 hari karena aku ingin menyambut Ibuku tercinta.

Semua telah siap untuk menyambutmu Ibu dan akhirnya jam pun menunjukkan tepat pukul 4.30 pagi, aku segera bergegas pergi ke kamar mandi untuk mandi dan mengambil air wudhu, kemudian aku shalat subuh. Dan selepas shalat subuh aku langsung pergi ke dapur untuk memasak masak semua sayuran dan ikan yang sudah aku beli kemarin sore, aku ingin memasak semua masakan kesukaan Ibu.

Tepat jam 8 pagi semua masakan telah selesai dan semuanya telah aku hidangkan dimeja makan karena nenek bilang kalau Ibu akan datang jam 9 pagi dan sambil menunggu jam 9 aku mandi kembali agar segar dan tidak bau bumbu dapur pada saat Ibu memelukku. Setelah selesai mandi aku segera kembali ke kamar dan memilih baju yang akan ku kenakan untuk menyambut Ibu ku dan tak lama setelah aku selesai memakai baju, tiba – tiba aku mendengar seseorang yang mengucapkan salam.

“Assalamualaikum” salam itu bisa kupastikan salam dari seorang wanita dan seketika hatiku berdebar dan pikiranku langsung tertuju pada seorang wanita yan sedang aku tunggu kedatangannya.

“waalaikum salam” jawab nenek sambil terdengar beliau membuka pintu, aku langsung bergegas keluar kamar untuk memastikan siapakah yang mengucapkan salam tersebut. Sesampainya aku diruang tamu, aku melihat nenek menangis sambil memeluk seorang wanita yang masih terlihat cantik dan anggun. Aku terpaku menyaksikan seorang Ibu yang menumpahkan rasa rindunya terhadap anaknya yang baru bertemu dan aku hanya terdiam tanpa mampu berkata apapun,

“diakah Ibuku” kata itulah yang ada dipikiranku yang tak mampu aku keluarkan dan aku masih terpaku menyaksikan nenek dan wanita itu berpelukkan sambil menangis.

“Azzahra” nenek mamanggilku dan aku tersadar dari keterpakuanku melihat pertemuan mereka.

“inilah wanita yang setiap hari selalu kau tanyakan kepadaku, inilah putriku yang telah melahirkanmu nak, anaku Sinta” nenek menjelaskan siapa wanita yang masih ada dipelukkannya itu dan setelah nenek melepaskan pelukannya, aku dapat melihat dengan jelas wanita itu. Aku memandanginya dari ujung kaki hingga rambutnya, wanita itu masih terlihat muda, masih cantik, dan masih anggun tapi aku masih tetap berada diposisiku karena kakiku masih terasa sangat berat untuk melangkah.

Cukup lama aku mamandanginya dan dia pun lama menatapku, tak terasa airmataku terus mengalir dan wanita itu pun menangis menatapku. Tak lama kemudian, tiba – tiba aku berlari ke arah wanita itu dan memeluknya dengan erat.

“ibu..ibu..ibu..”itu lah kata pertama yang tiba – tiba terucap dari mulutku saat aku memeluknya dengan erat..namun wanita itu tidak sedikitpun membalas pelukkanku. Dia tidak bergerak sama sekali ketika aku memeluknya dan memanggilanya Ibu, wanita itu hanya menangis dan menangis terus. Entah apa yang ada dalam pikirannya dan aku tidak perduli dengan apa yang ada dipikirannya karena yang terpenting adalah aku bisa memeluknya kini..ibu ku.

Setelah merasa puas, aku melepaskan pelukanku dan aku kembali terdiam menatap wajahnya lebih dekat, dengan detail ku tatap wajah Ibuku dan dia pun masih tetap menatapku meski aku tahu tatapannya masih kosong terhadapku.

“Zahra, Sinta” panggilan nenek mencairkan suasana aku dan Ibuku, kemudian nenek mempersilahkan Ibuku untuk duduk dan kemudian nenek pergi kedapur untuk membawakan segelas air dan sepiring kue yang sudah aku persiapkan.

Aku dan Ibuku masih terdiam, entah mengapa sangat sulit caranya untuk memulai percakapan meskipun banyak sekali yang aku ingin tanyakan kepada wanita yang saat ini duduk tepat dihadapanku dan diapun masih menatapku dengan tatapan kosong. Aku tidak tau apa yang ada dalam pikirannya dan akupun juga tidak tau perasaan apa yang aku rasakan saat ini.

Tak lama kemudian, nenek datang dengan membawa segelas air dan sepiring kue dan suasana mulai mencair. Wanita itu, mulai mau bercerita tentang keadaanya kepada nenek dan aku hanya bisa terdiam dengan seksama mendengarkan kisah yang wanita itu ceritakan kepada Ibunya..nenekku. Jika dia bisa bercerita kepada Ibunya dengan leluasa, lalu kenapa aku tidak bisa melakukan itu, kenapa sangat sulit rasanya untuk memulai percakapan dengannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun