Mohon tunggu...
Cicilia Arlita P.D.
Cicilia Arlita P.D. Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang berlatih menulis dan mencoba terus mengeksplor mengenai banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Mubeng Beteng? Yuk Berkenalan dengan Tradisi Satu Ini!

18 Desember 2020   07:00 Diperbarui: 18 Desember 2020   07:08 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: blogkulo.com

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, dari sabang sampai merauke memiliki budaya yang berbeda dengan ciri khas masing-masing. Yogyakarta termasuk di dalamnya, dan juga dikenal sebagai wilayah yang memiliki banyak budaya. Salah satunya budaya yang ada di Yogyakarta, yaitu Mubeng Beteng. Budaya Mubeng Beteng ini diadakan setiap 1 Suro, di mana sesuai dengan tanggal pada kalender Jawa.

Jika dilihat, budaya Mubeng Beteng ini sudah menjadi identitas budaya dari Yogyakarta. 

Identitas budaya adalah identifikasi komunikasi bersama dari verbal maupun nonverbal yang bermakna bagi anggota kelompok yang memiliki rasa memiliki dan berbagi tradisi, warisan bahasa, dan norma serupa dari perilaku yang sesuai (Fong dalam Samovar, 2014). 

Tradisi Mubeng Beteng masuk dalam identitas budaya karena, merupakan salah satu tradisi yang sudah ada, dan dilanjutkan secara turun temurun hingga saat ini.

Sultan Agung, atau Raja Mataram Islam yang pertama, merupakan orang yang memprakarsai tradisi Mubeng Beteng, serta penanggalannya juga diprakarsai olehnya (Jogja.tribunnews.com, 2019). Penanggalan satu Suro ini dipilih berdasarkan kalender Jawa, dan memiliki sejarah tersendiri.

Dalam penanggalan Hijriyah, satu Suro disebut dengan satu Muharam. Sultan Agung menamai bulan Suro karena memang penanggalan Hijriyah yang di awali dengan bulan Muharam, karena keduanya memiliki korelasi yang dekat. Kalender atau penanggalan Jawa ini merupakan perpaduan dari penanggalan Saka dan kalender Islam, yang kala itu terpecah. 

Bulan Suro ini dianggap sacral bagi yang memegang kepercayaan Kejawen, karena dianggap sebagai bulan di mana datangnya Aji Saka ke Pulau Jawa. Namun, tidak sedikit juga yang menanggap bulan Suro ini sebagai bulan yang mistis atau angker. Kepercayaan ini juga diteruskan hingga saat ini, penanggalan Jawa juga masih digunakan dalam melakukan tradisi Jawa lainnya.

Terdapat delapan klasifikasi identitas (Samovar, 2014), yaitu identitas rasial, identitas etnis, identitas gender, identitas nasional, identitas regional, identitas organisasi, identitas pribadi, dan identitas cyber dan fantasi. Melihat dari klafikasi tersebut, bisa dikatakan bahwa tradisi Mubeng Beteng ini masuk dalam identitas etnis.

Identitas etnis adalah identitas yang berasal dari sejarah, warisan, tradisi, nilai, perilaku serupa, dan daerah asal (Samovar, 2014). Mubeng Beteng ini masuk dalam identitas etnis karena merupaka tradisi, dan di dalamnya juga terdapat nilai, serta dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari daerah yang sama, yaitu Yogyakarta. Selain itu Mubeng Beteng ini tradisi yang memang sudah dilakukan sejak dulu, dan dilanjutkan sampai saat ini. Namun sayangnya, karena pandemi ini, tradisi Mubeng Beteng tidak bisa dilaksanakan, sehingga pada tahun ini ditiadakan.

Tradisi Mubeng Beteng bertujuan untuk mengamankan lingkungan Keraton. Kenapa harus diamankan? Karena pada awalnya Keraton belum terdapat benteng yang mengitari untuk mengamankannya. Tradisi Mubeng Beteng diawali dengan Macapat, yang berisikan doa-doa pada pukul sembilan malam. Selanjutnya pada pukul sebelas malam, mulai hening sejak, dan beberapa abdi dalem menyiapkan yang dibutuhkan untuk memulai prosesi Mubeng Beteng. 

Lalu, prosesi Mubeng Beteng dimulai, yang berjalan dari Bansal Pancaniti, perjalanan ditempuh sekitar empat kilometer, dan  akan berakhir di Alun-alun Utara. Selama upacara berlangsung, yang mengikuti tidak boleh berbicara, dan melakukan hal negatif, salah satunya seperti merokok. Selain untuk berdoa meminta perlindungan Keraton. Tradisi Mubeng Beteng juga dimaknai sebagai intropeksi diri, dan berdoa untuk diri sendiri, maupun sesama.

Pada awalnya tradisi Mubeng Beteng hanya diikuti oleh para prajurit Keraton, namun saat ini masyarakat Yogyakarta yang lain juga mengikutinya. Hal tersebut dikarenakan, tradisi ini yang berasal dari budaya mereka, dan juga dianggap sakral serta menarik. Sehingga mereka rela mengikuti tradisi Mubeng Beteng, dengan berjalan kaki hingga selesai. Sama dengan halnya para prajurit Keraton, masyarakat yang ikut dalam prosesi Mubeng Beteng juga tidak boleh berbicara dan melakukan hal yang negatif.

Setelah membahas mengenai identitas budaya Yogyakarta, sebenarnya apa pentingnya identitas bagi manusia? Menurut Pinney (dalam Samovar, 2014), identitas memiliki peran penting dalam kesejahteraan individu, di mana indentitas menjadi faktor peting manusia dalam menjalani kehidupan dan dengan siapa mereka bergaul. 

Salah satunya seperti kepercayaan Kejawen, yang juga banyak dipegang oleh masyarakat Yogyakarta. Ketika mereka memiliki kepercayaan tersebut, maka mereka juga akan melakukan aktivitas hingga upacara dalam kepercayaan tersebut. Salah satu upacara dalam kepercayaan Kejawen yaitu Mubeng Beteng.

Memang identitas penting, namun juga terdapat sisi gelap dalam identitas. Dalam Samovar (2014), disebutkan empat sisi gelap indetitas, yaitu prasangka, rasisme, steriotip, dan etnosentrisme. Salah satu contohnya, menganggap orang bertato adalah orang jahat, contoh tersebut masuk dalam sisi gelap identitas yaitu prasangka. 

Prasangka adalah perasaan negatif terhadap kelompok tertentu (Samovar, 2014). Keempat sisi gelap indentitas ini sangat bisa memicu konflik, terlebih jika pada latar belakang budaya yang berbeda. Jika dikaitkan dalam tradisi Mubeng Beteng, sejauh penulis tahu, tidak ada hal buruk yang dipikirkan mengenai tradisi ini, di mana  itu adalah hal baik. Sebagai orang Indonesia, di mana negara yang memiliki berbagai budaya, seharusnya kita bisa saling menghargai dari perbedaan budaya.

Selain itu untuk mengurangi munculnya konflik atas perbedaan budaya, juga dapat dilakukan komunikasi yang efektif, dengan gaya komunikasi yang sesuai dengan identitas dan gaya yang dianggap berasal dari budaya orang tersebut oleh lawan bicara (Collier dalam Samovar, 2014). 

Salah satunya dengan mencari tahu mengenai budaya tersebut melalui berbagai sumber, atau menanyakan langsung dengan orang yang memiliki budaya tersebut. Namun perlu diingat untuk menjadi gaya komunikasi, sehingga komunikasi berjalan dengan baik dan meminimalisir terjadinya konflik di antara keduanya.

Globalisasi merupakan hal yang dihadapi oleh manusia saat ini. Identitas budaya juga memiliki keterkaitan dengan globalisasi. Semua hal memiliki sisi plus dan minus, sama halnya dengan globalisasi bagi identitas budaya. Globalisasi dapat membuka arus informasi yang tanpa batas, di mana manusia dapat dengan mudah mendapatkan informasi dari berbagai media. 

Dengan  adanya globalisasi ini, budaya dapat dikenal oleh orang banyak, hingga manca negara, hal tersebut sebenarnya juga dapat memperkuat identitas sebuah budaya. Namun, globalisasi juga memiliki sisi minus, di mana dengan adanya globalisasi, identitas budaya semakin. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya percampuran budaya, contohya adanya imigran, atau pernikahan antar ras.

Jika dikaitkan dengan tradisi Mubeng Beteng, globalisasi membuat tradisi semakin dikenal oleh masyarakat diluar Yogyakarta. Hal tersebut didukungan mudahnya informasi yang didapatkan melalui media sosial ataupun media lainnya pada saaat ini. Selain itu juga terdapat media-media yang disediakan oleh Keraton Yogyakarta dalam mempromosikan identitas budaya ini. Hal itu juga termasuk dalam solusi untuk mencegah memudarnya identitas budaya.

Selain itu jangan lupa, kita sebagai generasi penerus juga berperan penting dalam melestarikan budaya ini sehingga terus menjadi sebuah identitas dari budaya tersebut. Salah satu contohnya seperti mempelajari mengenai budaya tersebut, dan mengikutinya. Atau dapat dengan menyebarluaskan mengenai budaya tersebut di media sosial yang kita punya, dengan begitu kita secara tidak langsung memperkuat identitas budaya kita.

DAFTAR PUSTAKA

Jogja.tribunnews.com. (2019, 29 Agustus). Arti mubeng benteng, tradisi 1 suro di yogyakarta yang sarat makna. Dikutip dari sini

Kusuma, W. (2015, 15 Oktober). Tradisi topo bisu lampah mubeng benteng keraton di yogyakarta. Travel.kompas.com. Dikutip dari sini

Samovar, L. A. dkk. (2017). Communication between cultures. Boston, Amerika Serikat: Cangage Learning.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun