Mohon tunggu...
Cicilia Simamora
Cicilia Simamora Mohon Tunggu... Apoteker - Semenjana

Kata orang saya pendiam.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Soal Jadi Apoteker

4 November 2014   02:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:45 2201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Jakarta, 3 November 2014

Hari Minggu kemarin, saya iseng buka-buka akun Facebook saya, dan di laman beranda, saya melihat teman saya yang mem-posting sebuah link. Ditulis oleh seorang kompasianer yang juga seorang Apoteker, Meita Eryanti. Judulnya:

"Surat Terbuka untuk Ibu Nila Moeloek, Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2014-2019"

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/11/02/surat-terbuka-untuk-ibu-nila-moeloek-menteri-kesehatan-republik-indonesia-periode-2014-2019-684241.html

Saya baca isinya, dan... Saya terharu... Saya tertampar... Penulis ini luar biasa, dia berhasil merangkum semua kegundahan para apoteker di tengah kebimbangan status; Siapa Apoteker itu? Siapa Kami?


Menjadi Apoteker bukan perkara mudah. Pelajarannya sungguh, bikin meleleh otak. Tak jarang mahasiswa mengundurkan diri di tengah perjalanan perkuliahan, karena tidak sanggup. Bukan masalah biaya, beberapa teman saya mundur (sungguh-sungguh mengundurkan diri dari Fakultas Farmasi) karena tidak sanggup menerima pelajarannya. Menjadi Apoteker pun kadang bukanlah pilihan pertama, seperti (sebut saja) dokter. Tanyalah mereka yang kuliah Farmasi, atau yang sudah jadi Apoteker sekarang, tanyalah saya. Mengapa kami memilih profesi Apoteker?

Berikut beberapa alternatif jawaban yang akan Anda terima:

1. Tidak lulus ujian masuk Fakultas Kedokteran

2. Suka Kimia

3. Suka nge-lab

4. Nerusin usaha apotek keluarga

5. Ikut kakak.

Apoteker bukan profesi yang "wah", menurut saya. Masih banyak yang mempertanyakan, "Apoteker itu ngapain? Jual obat? Bikin obat? Jaga Apotek? (Jaga Apotek??? Memangnya satpam!)" Atau yang paling menyakitkan, "Apoteker itu apa?" Ya, kami ini kurang terkenal.

Dulu, saat saya dan teman-teman sedang praktik kerja di sebuah rumah sakit, kami menemukan bahwa Apoteker di sini lumayan dikenal. Dan memang mereka punya tempat di hati pasien dan jajaran tenaga medis lainnya. Mengapa? Karena di rumah sakit ini, Apoteker dan Dokter sungguh berkolaborasi demi kesehatan pasien. Apoteker adalah Apoteker. Apoteker bukan Dokter. Apoteker punya wewenang. Kami tidak diperbolehkan mendiagnosis, kami tidak bisa baca foto rontgen, tapi kami diberi ilmu mengenai lini-lini yang digunakan dalam pengobatan. Kami diberi ilmu, obat mana yang tidak boleh diminum oleh siapa. Kami diberi ilmu, untuk konseling, atau lebih sederhana lagi, ngobrol sama pasien.

Selama praktik kerja, saya dan teman-teman sungguh punya kesempatan untuk menunjukkan, Apoteker itu profesi yang luar biasa. Tidak jarang kami dikira dokter muda yang sedang co-ass. Saya suka di Rumah Sakit ini. Kami diharuskan untuk visit pasien setiap hari, pagi dan sore. Kami harus tahu perkembangan mereka. Kami harus mengecek ketepatan pengobatan yang diberikan pada pasien. Kami bahkan didorong untuk berani "speak up" di depan dokter, bahkan dokter pemberi resep sekalipun, dan kami berhak untuk menyarankan penggantian pengobatan, apabila memang kurang tepat, asalkan kami punya dasar yang kuat dan punya bukti-bukti yang mumpuni untuk mendukung usulan kami tersebut. Bacaan kami? Minimal, saya tekankan, minimal Drug Information Handbook (DIH). Acuan kami yang lain adalah British National Formularium, United State Pharmacopoeia, dan buku-buku keren lainnya. Semuanya, berbahasa Inggris. Kami tidak membaca Farmakope Indonesia. Tidak update. Terakhir disusun saja tahun 1995, dan FI V sedang digodog. Berapa lama itu? 1995-2014: 19 tahun?? Yang benar saja.

Namun, aktivitas tersebut hanya tinggal memori untuk saya. Saya Apoteker Klinis, dan kini saya berhadapan dengan komputer.

Terima kasih Meita, kamu sungguh membuka mata saya, saya ini contoh Apoteker yang dibayar dari apa yang saya jual, bukan dari apa yang saya tahu. Saya Apoteker yang mencari reward di tempat lain dan tidak menjalankan fungsi saya sebagai Apoteker.

Setiap hari saya bergumul dengan suara hati saya, "Apakah saya akan terus seperti ini? Lantas untuk apa saya kemarin mengucapkan janji di hadapan Tuhan?"

Apoteker banyak yang lari ke industri. Mengapa? Itulah, karena reward-nya lebih tinggi. Saya tidak mau munafik. Saya harus menghidupi, setidaknya diri saya sendiri. Mengapa tidak di Rumah Sakit? Karena selain kuota yang terbatas, belum banyak Rumah Sakit yang memikirkan kesejahteraan Apotekernya.

Saya ingin, menjadi seperti salah satu pengajar saya, seorang Apoteker di Rumah Sakit. Resep apapun  yang akan diberikan harus lolos dari skrining-nya. Dokter sekalipun tidak dapat membantah apa yang dikatakannya, karena memang yang dikatakan beliau adalah yang benar.

Apoteker, butuh visi. Sejak masuk menjadi mahasiwa Farmasi, berikan visi, bakal seperti apa Apoteker dan tanya, "Kalian mau jadi Apoteker yang bagaimana?"

Apoteker, dalam menjalankan profesinya terikat dengan hukum. Ada undang-undang yang mengatur, ada kode etik yang diacu, dan yang terpenting, ada sumpah/janji yang diucapkan sebelum melaksanakan tugas. Dan ini pertanggungjawabannya tak hanya di dunia, tapi juga di akhirat nanti, di hadapan Tuhan.

Sumpah/ Janji Apoteker:

Demi Allah saya bersumpah/ Demi Allah saya berjanji/ Om Attah Paramawisesa/ Demi Sang Hyang Adi Buddha:

1.Saya bersumpah/ berjanji akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan terutama dalam bidang kesehatan

2.Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai apoteker

3.Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan

4.Saya akan menjalankan tugassaya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian

5.Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, kepartaian, atau kedudukan sosial

6.Saya ikrar sumpah/ janji ini dengan sungguh-sungguh dengan penuh keinsyafan.

Tuhan Yang Maha Esa Melindungi Saya/ Kiranya Tuhan menolong saya/ Om… Santi.. Santi…Santi… Om…./ Sadhu… Sadhu… Sadhu…

Indah ya..?

Atas dasar sumpah/janji itulah berikan reward bila kami berhasil, dan berikan kami hukuman, bila kami melakukan kesalahan. Saya tunjukkan satu, pergi ke apotek, bilang, "Saya mau ketemu dan bicara sama Apotekernya. Itu, yang namanya terpampang di dinding." Percayalah, Anda tidak akan selalu berhasil bersua dengan Si Apoteker. Namanya sih di situ, tapi orangnya mungkin sedang mencari sesuap nasi di tempat lain.

Saya Apoteker, berkali-kali saya tergoda untuk melakukan hal yang sama, 'menggadaikan' STRA dan mendapat 'tambahan' tanpa perlu hadir dan bekerja. Enak, kan? Apa yang membuat saya urung melakukannya adalah, suara hati saya berkata "Jangan". Lantas, ada hukuman untuk pelanggaran hukum macam ini? Saya belum lihat ada Apoteker yang dihukum karena hal ini, setidaknya sejauh yang saya tahu. Mana KFN? Mana IAI? STRA saya sudah selesai direvisi belum, Pak KFN? Sudah setahun nih...

Saya membuka aib Apoteker ya? Ya, saya tahu. Tapi saya hanya ingin menjadi Apoteker yang benar, yang mengabdi demi kesehatan, yang bekerja di bawah sumpah/janji.

Saya hanya ingin suatu hari nanti, ketika ada guru SD yang bertanya di kelas mengenai cita-cita, mereka sudah punya pilihan lain: Jadi Apoteker.

_Cicilia_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun