Mohon tunggu...
Deny S Pamudji
Deny S Pamudji Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Saya menulis karena saya terus berpikir. Senang mengamati dan belajar. Fotografi, gitar, dan beladiri, tidak bisa lepas dari diri saya. Indonesia is The BEST.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toleransi Beragama Penuh

13 April 2018   16:22 Diperbarui: 13 April 2018   16:29 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sila pertama dari Pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Namun menurut saya, toleransi beragama kita masih setengah-setengah.  Mengapa saya katakan demikian karena hingga sekarang, pendirian rumah ibadat masih harus memenuhi persyaratan yang tidak mudah, bahkan yang sudah dapat izin pun, bisa sewaktu-waktu dihentikan karena alasan-alasan tertentu.

Memang perlu diakui bahwa secara umum kita semua toleran.  Kejadian-kejadian yang sifatnya intoleran itu lebih sering diciptakan oleh kelompok atau organisasi tertentu.  Cuman yang saya sayangkan ialah kurangnya tindakan tegas dari aparat / penegak hukum.  Oleh karenanya masih saja ada tindakan intoleran di sana sini yang bisa mengganggu kenyamanan beragama.

Bagi saya yang telah lama bergaul akrab antar agama, saya merasa terkejut ketika suatu ketika ada fatwa dari Majelis Ulama Indonesia untuk tidak mengucapkan Natal dan juga larangan untuk merayakan Hari Kasih Sayang / Valentine. Belum lagi adanya gerakan sweeping dari ormas kepada pekerja-pekerja yang memakai atribut Natal dan bahkan sempat adanya larangan untuk memajang Pohon Natal.  

Kejutan demi kejutan saya alami, justeru pada saat-saat sekarang, pada saat segala sesuatu mudah diakses.  Itu sangat mengherankan saya, padahal waktu saya dulu, kami bercanda dengan humor lintas agama dan tidak seorang pun dari kami yang tersinggung atau pun marah.  Sepertinya keakraban seperti dulu tidak ada lagi di zaman yang seharusnya lebih dewasa.

Toleransi beragama belum penuh karena saya merasakan masih ada hambatan bagi orang-orang yang ingin berpindah keyakinan.  Padahal menurut saya, keyakinan adalah sesuatu yang subyektif dan setiap orang harusnya tidak dilarang/dicaci/dibully pada saat hatinya ingin berpindah keyakinan.  Tapi anehnya, ketika seseorang ingin menikah, semua orang diharuskan memiliki keyakinan yang sama.  

Di sini saya merasakan adanya pemaksaan untuk menganut suatu keyakinan hanya karena pernikahan.  Padahal jika kita betul toleransi beragama, seharusnya dibuatkanlah undang-undang yang memperbolehkan pernikahan antar agama.  Bukankah suatu keindahan apabila dalam satu keluarga ada penganut keyakinan yang berbeda sehingga tidak akan lagi terdengar bahwa adanya kesalah pahaman antar suatu keyakinan dengan keyakinan lainnya.

Toleransi beragama belum penuh karena saya melihat jika seseorang menjadi mualaf, maka dia bebas mengatakan apa saja alasan / kejadian yang membuat dia menjadi mualaf.  Sementara itu, maaf, jika seseorang menjadi murtadin, dan dia menceritakan alasan / kejadian yang membuat dia menjadi murtadin, bisa-bisa terkena pasal penistaan agama. Padahal menurut saya, karena agama bersifat subyektif, semua orang bebas menceritakan alasan / kejadian mengapa dia bisa berubah keyakinan.  

Yang tidak boleh ialah apabila dia menjelek2an / menghujat agama tersebut.  Tetapi sebatas seseorang menceritakan bahwa dia berubah keyakinan karena ada alasan (subyektif) dan kejadian (juga subyektif) tertentu maka  apa yang dikatakannya adalah sesuatu yang wajar dan harus diberi kebebasan untuk menyatakan hal tersebut.

Toleransi beragama belumlah penuh jika masing2 keyakinan ada keinginan untuk memperdebatkan hal-hal tertentu.  Toleransi beragama terjadi justeru apabila setiap agama bisa memberikan alasan2 yang lebih kurang sama untuk mendukung, misalnya indahnya keberagaman dan pentingnya membangun keluarga yang bahagia sejahtera, dunia dan akhirat.

Toleransi beragama belum penuh apabila kita melihat adanya orang-orang ditangkap hanya karena salah ucap atau salah tafsir suatu ayat.  Padahal tidak ada niatan orang-orang itu untuk melakukan penistaan.  Pasal penistaan baru dapat diberlakukan apabila seseorang dengan terang-terangan mengatakan kitab suci seseorang palsu, tidak benar, atau melakukan hal yang tidak patut pada kitab suci tersebut (merobek, membakar, menginjak-injak).  Saya berharap toleransi beragama penuh bisa dapat diwujudkan dalam waktu yang tidak lama lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun