Demokrasi Keintiman
Saya meminjam istilah Ratna Batara Munti (Demorasi Keintiman; Seksualitas di Era Global, 2005), yang mencoba menengahi persengitan seputar moralitas seksual dan liberalisasi seksual. Semua penyimpangan seksual dan insiden-insiden psikosomatik yang marak, sebenarnya bukan dikarenakan efektif atau tidak efektifnya' pembatasan (moral seksual), tapi adanya kesalahpahaman Timur dan Barat dalam mendefinisikan seksualitas itu menjadi sangat sempit, sebatas pertemuan raga. Keduanya telah mempolarisasikan kesatuan tubuh dan jiwa.
Liberalisasi seksual Barat dipengaruhi oleh pandangan dualisme Greco-Roman, menurut Munti, yang kemudian membelah realitas menjadi dua: pikiran dan nafsu. Bahwa tubuh cenderung dilihat sebagai kendaraan nafsu. Teori ini kemudian disempurnakan oleh konsep dualisme Cartesian, bahwa tubuh dan jiwa adalah dua sesuatu yang terpisah. Jiwa adalah substansi, dan tubuh adalah aksiden. Cogito Ergo Sum berbicara bahwa hakikat manusia akalah akal-rasionalitas. Pikiran adalah suci, badan adalah penghalang akal.
Ini diperparah oleh pandangan para asketik kekristenan dari Paulus hingga Ignatius, menurut Munti. Terkait badang (tubuh, daging), Katolik berpendapat bahwa tubuh adalah musuh, dan mereka memukuli, mencambuk dan menyiksa musuh ini. Prinsipnya. iblis, dunia, dan daging adalah tiga sekawan yang menti ditinggalkan. Asketisme juga ditemukan dalam tradisi keislaman, tambah Munti. Â
Tubuh hanya terlihat sebagai kecenderungan-kecenderungan yang liar yang bisa mengancam stabilitas tatanan sosial, keberadaban kehidupan publik, dan kewarasan penalaran. Oleh sebab itu, ia mesti dijinakkan melalui berbagai pola didikan dan latihan. Â
Demokrasi keintiman yang diusung Munti diterjemahkan sebagai solusi yang ramah bagi dua pandangan tradisional dan liberal barat, sekaligus melakukan upaya menyelamatkan perempuan dari konstruksi seks-isme, yang porosnya terletak pada kekuasaan laki-laki terhadap perempuan melalui pertemuan penis dan vagina (sexual intercourse).
Selain itu, membebaskan perempuan dari strategi-strategi kekuasan yang diarahkan kepada kepentingankepentingan tertentu, oleh pihak-pihak tertentu, sekaligus mendaurulang konsep seks dan seksualitas, dan  mengembalikan orisinal maknanya hingga dapat dikaji kembali dari sudut pandang yang baru dan membebaskan.
Meski menurut Munti, aslinya, pertemuan seks laki-laki dengan perempuan sebenarnya bukan sebuah bentuk penindasan. Akan tetapi, relasi seks ini, kemudian menjadi kaku oleh aturan-aturan baku yang menjadikan laki-laki sebagai penguasa penuh atas perempuan. Ini yang kemudian digugat oleh para feminis, yaitu relasi seks yang kemudian berubah menjadi relasi kekuasaan.Â
Demokrasi keintiman inilah yang diharapkan sebagai dialog kekeluargaan atau pendekatan ramah dalam merekonstruksi bangunan relasi seksual yang telah rusak parah, sepanjang sejarah.
Â
Seksualitas Era Global
Pergerakan menuju kampung global (Anthony Giddons) merupakan kesempatan baik untuk melakukan revolusi seksual atau perubahan cara pandang terkait relasi seksual. Di mana peran teknologi informasi cukup mendukung menuju perwujudan kesadaran global.
Era keterbukaan yang digadang oleh konsep global ini, mendorong semakin sempitnya sekat dan ruang batas; dan yang terpenting adalah pembenturan ideologi bukan lagi sesuatu yang berarti, sebab pembenturan ideologi dan simbol-simbol identitas telah teratasi  sebelum pergerakan ke arah global. Salah satu dari konsekwensi logis fonomena global adalah, masyarakat sosial mengalami revolusi sosial, dengan apa yang disebut detradisionalisasi.
Perlahan, masyarakat menuju pada titik jenuh atas praktek-praktek tradisional, dan bahkan meninggalkannya. Ini bukan berarti, tradisi tua akan lenyap seluruhnya. Melainkan muncul sikap mempertanyakan dan resistensi terhadap tradisi. Ini terjadi dalam segala aspek, termasuk seksualitas dan tatanan keluarga.
Â
Berbincang tentang revolusi seksual di era global, intinya sederhana; yaitu diharapkan adanya keterbukaan global terhadap identitas, orientasi, dan ragam seksualitas lain.
Pembahasan singkat dan sederhana ini baiknya ditutup dengan pertanyaan [yang tak perlu dijawab]. Siapa dan di mana revolusi seksual global direkayasa, jika toh pemahaman tentang seksualitas tak pernah lepas dari jamahan tangan dan konstruksi sosial?