Mohon tunggu...
S.  R.  Siola
S. R. Siola Mohon Tunggu... Relawan - Self-Motivator

Change is starting from yourself ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Etika Seksual] Menuju Demokrasi Keintiman

10 Februari 2020   19:43 Diperbarui: 10 Februari 2020   19:50 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Etika Seksual] Menuju Demokrasi Keintiman
Apa itu etika seksual? Mengapa etika dipandang perlu dalam kegiatan seksual? Bukankah kegiatan seksual adalah ranah privasi yang menyatukan dua raga - dua jiwa tanpa batas, lalu mengapa ada etika sebagai pembatas? Apakah ranah seksualitas di era modern ini, akan menuju damokratisasinya? Dengan cara apa dan bagaimana? Apakah pada saat itu, moral seksual akan menjadi komoditas usang?

Etika selalu berkaitan dengan adab, moral, baik-buruk, boleh dan tidak boleh. Ketika berbicara etika, maka bersiaplah dengan aturan dan batas-batas (Shaffer). Bagi kelompok pemuja kebebasan, batas adalah pemangkasan hak. Tapi bagi mereka yang dewasa memandang hak dan kewajiban, maka etika adalah seni.

Terkait etika seksual, sebenarnya tidak bisa lepas dari pembahasan filsafat moral. Seperti apa pandangan kita tentang moral, kemudian disubstitusikan ke ranah seksual; maka dengan mudah dapat dilacak bagaimana sih cara si A memperlakukan pasangannya si B? Ini tidak terkait dengan urusan romantisme saja, atau tapi secara umum. Termasuk kesucian, rasa malu, naluri, dan dorongan nafsu seksual [Ini satu sudut pandang lain].

Pandangan Seputar Moral Seksual
Dalam Merriage and Moral, Russel menyibak tradisi anti seks para moralitas tradisional Timur dan Barat, yaitu menganggap seks adalah sesuatu yang buruk. Seks yang melibatkan perempuan di dalamnya adalah mengotori jiwa. Rohani mesti selalu dijaga, olehnya sebagian agamawan menolak pernikahan untuk menjaga spiritualitas mereka.

Setidaknya fakta ini banyak ditemukan di banyak ordo Katolik, Budha, sekte Essena Yahudi, dan tradisi sufistik Islam. Meski demikian, inseiden-insiden psikosomatik dan penyakit rohani terus saja terjadi dan ditemukan faktanya. Oleh psikoanalisis, insiden-inseden ini dikaitkan dengan pandangan negatif terhadap seks, yang berakar dalam dan tersebar luas.

Keraguan atas Moral Seksual
Will Durant dalam Our Oriental Heritage memandang, pernikahan adalah sesuatu yang penting. Ini termasuk potensi dasar manusia. Akan tetapi, manusia selalu berhadapan dengan kesulitan-kesulitan dalam pemenuhannya, sebelum maupun setelahnya. Termasuk dorongan seksual yang memuncak, dan adanya etika yang mesti dijunjung. Masalah-masalah ini tentunya mengganggu institusi keluarga (RT), kemudian mempengaruhi masyarakat sekitar, bangsa, dan peradaban.

Apa yang ingin dikatakan Durant? Bahwa etika moral (atau batas, aturan, boleh dan tidak boleh,  Shaffer) adalah inti masalah itu sendiri. Pembatasan dalam penuntasan dorongan seksual yang memuncak adalah petaka, baik bagi laki-laki dan perempuan. Olehnya, pembatasan dalam etika seksual bukan solusi yang baik.

Pandangan ini diperkuat oleh Sigmund Freud, bahwa moral didasarkan pada pembatasan dan pelarangan seksualitas pada manusia. Freud mengklaim bahwa pelarangan dan pembatasan itu telah banyak menyebabkan penderitaan pada manusia, menimbulkan gangguan emosi, ketakutan, dan obsesi bawah sadar. Di sini, tawaran meliberasasikan seksual mulai dilirik.

Moralitas seksual dianggap pembatasan, dan pembatasan dianggap sebab ketimpangan, sehingga perlu liberalisasi seksual. Konklusinya, jika praktek seksual dibebaskan, maka kerusakan-kerusakan moral dan mental dapat diminimalisir. Sebab orang tidak lagi buas dengan dorongan seksualnya [Ini dari sudut pandang lain].

Liberalisasi Seksual
Tepat yang dikatakan oleh Freud, bahwa moralitas seksual tidak menjamin tidak munculnya predator-predator seksual di masyarakat, pelaku kekerasan seksual, pengejar kenikmatan seksual, homophilia, perselingkuhan, perceraian, pornografi, maupun praktek poligami yang tak sehat. Semua bahkan dengan mudah kita jumpai di mana-mana, baik di Timur apalagi Barat yang dominan dengan ideologi kebebasannya (liberalisme). Bukankah ini paradoks?

Bagaimana mungkin penyimpangan ini terjadi di dunia Timur yang begitu menjunjung rasa malu, dan segala sesuatu yang terkait seksualitas adalah tabu (Russel)? Bagaimana Barat mampu mempertahankan teori-teori kebebasannya yang begitu rapuh terkait liberalisasi seksual?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun