Setiap orang berhak peduli dan tidak peduli. Ini adalah cinta diri. Setiap orang berhak untuk membaca dan tidak membaca. Ini keegoisan diri yang berasal dari kejahilan.Â
Setiap orang berhak memilih jenis bacaannya. Ini adalah ketidakdewasaan diri. Setiap orang berhak memilih untuk tidak membaca tulisan yang bukan penulis favoritnya. Ini adalah keangkuhan diri.
Jujur saja, mental-mental enggan untuk membaca tulisan orang lain banyak sekali menjangkiti para penulis. Mungkin juga termasuk kita. Paling pertama yang kita lihat, adalah siapa penulisnya? Penulis profesinalkah, atau amatiran? Kompasioner debutankah, atau penjelajah? Juniorkah atau senior?
Sampai di sini, bacaan kita sedikit berat dan ribet. Memanglah, pembahasan ego adalah masuk dalam pembahasan rumit dari filsafat.
Hubungan Materi dan Immateri
Hubungan pembaca dan penulis memiliki dua wujud rupa, materi dan non materi. Dikatakan, materi manakala tulisan yang mengikat pembaca dan materi hanyalah untuk memenuhi hukum-hukum materi, seperti mencari kepuasan masing-masing pihak, meraih target dan resolusi bacaan tahunan, atau pencapaian rating (misalnya).
Dikatakan, immateri manakala tulisan yang mengikat pembaca dan materi tak lain dan tak bukan, adalah kesadaran. Membaca bukan lagi sekedar membaca.
Tapi membaca adalah upaya sadar untuk mengeluarkan diri (jiwa, hati, dan pikiran kita) dari kegelapan menuju cahaya. Dari kebodohan menuju ilmu dan pencerahan.
Kegiatan membaca dan menulis seperti ini adalah buah dari hancurnya keegoisan, cinta, dan keangkuhan diri. Kegiatan membaca dan menulis seperti inilah akar dari kegiatan literasi sejati.
Lalu apa simpulan yang bisa ditarik? Bahwa kita memang tidak mungkin memaksa orang lain untuk menyukai tulisan kita dan membacanya. Tidak bisa dipersalahkan.
Sekali lagi, pekerjaan membaca adalah pekerjaan kesadaran. Tapi bukan berarti tidak mungkin untuk melakukan gerakan perubahan. Salah satu cara mudahnya (sekaligus ekstrim) adalah, mengalahkan ego untuk membaca.