Tidak memilih partai islam, berarti kafir.
Tidak memilih pemimpin muslim, berarti tidak beriman.
Bersifat toleransi terhadap umat beragama lain, berarti tidak beragama.
Isu mengenai politik dan agama, memang bukan di abad 21 ini saja terjadi. Dari tahun 60an, masyarakat Indonesia sudah disergap dengan ketakutan, jika tidak memilih partai non-islam maka akan dianggap kafir. Bahkan jika kita merunut lebih jauh ke belakang, dalam sidang BPUPKI masalah agama dan negara memang sudah menjadi topik hangat oleh the founding fathers kita.
Hanya saja, tampaknya masuknya agama dalam dunia politik saat ini malah menimbulkan tingkah polah negatif para politisi yang menggunakan agama demi agenda kekuasaan dan perebutan kursi jabatan. Akhirnya timbullah kekacauan, agama sudah kehilangan spiritualitasnya dan dijadikan media untuk menarik simpati masyarakat: sadar atau tidak, agama kini hanya sebatas sarana mendulang suara.
Kemana ajaran keberserahan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, memanusiakan sesama, keadilan dan cinta kasih sayang?
Hilang ditelan selogan dan kekerasan verbal maupun fisikal.
Jika kita melihat situasi yang kini terjadi, pemilihan umum sebagai momentum demokrasi sarat dengan isu-isu agama dan keyakinan. Hujat-menghujat bukan hanya sekali terjadi, toleransi sudah menjadi ilusi, dan masing-masing pendukung golongan merasa paling suci.
Kita harus mengiris nadi negara sendiri, ideologi Ketuhanan Yang Maha Esa sudah tidak ada lagi jiwa toleransi. Agama sudah tidak dijunjung tinggi sebagai nilai-nilai kehidupan, melainkan ditumbalkan demi batu pijakan kekuasaan.
Dulu sekali, Cak Nur (Nurcholish Madjid) pernah berkata "Islam Yes, Partai Islam No" dengan maksud untuk membawa corak kehidupan beragama menjadi lebih toleransi dan berpengertian. Sebab membangun bangsa harus berdasarkan keberagaman ideologi Pancasila.
Seperti kata Yusril Ihza Mahendra dalam artikelnya berjudul Pemisahan Agama dan Negara, Indonesia tidak dibangun atas ajaran agama saja, tapi juga penggabungan antara agamaisme dan sekulerisme, jadilah Pancasila. Etik keagamaan memang diperlukan untuk membangun perilaku pemimpin yang tangguh, tapi berpolitik menggunakan agama adalah bentuk pertentangan terhadap ideologi Pancasila. Sama saja dengan menentang keteraturan umat beragama yang toleran.
Lagipula jika kita melihat makna literal agama, A artinya tidak dan GAMA artinya kacau. Agama ada untuk tidak membuat kekacauan. Penting untuk memandang agama sebagai nilai kebaikan, bukan aturan yang mengekang. Apalagi merendahkan agama sebagai bagian rencana kelicikan berpolitik.
Kita semua tentunya cukup cerdas untuk memilih.
"Tidak memilih partai islam karena 'islam', melainkan memilih partai karena integritasnya. Memilih pemimpin bukan berdasarkan suku, agama, ras, dan adat, melainkan berdasarkan kecakapannya membawa kesejahteraan. Bersifat toleransi terhadap umat beragama lain tanpa saling menghakimi".
Lagipula, ini bukan tentang agama dan egoisme golongan semata, ini tentang pertaruhan nasib 250 juta lebih penduduk di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H