Mohon tunggu...
Chusnul C
Chusnul C Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti dan penulis lepas

Seorang peneliti dan penulis lepas, menyukai isu lifestyle, budaya, agama, sastra, media, dan pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Memahami Konsep Estetika Relijius Walter Benjamin: Antara yang Material dan Non-Material

15 Januari 2025   20:20 Diperbarui: 15 Januari 2025   20:20 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walter Benjamin (Sumber:
Walter Benjamin (Sumber:
monthlyreview.org)

Pada bab kedua, Plate, S. Brent mencoba untuk mendeskripsikan nalar pemikiran estetika religius Walter Benjamin melalui alegori sebagai sebuah kerangka penting. Alegori -yakni mengatakan satu hal dengan makna lain dari yang dipahami orang kebanyakan- memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan pemikiran estetika religius Walter Benjamin. Gagasan Benjamin tentang alegori terdiri dari a  konstelasi konsep-konsep lain, dan satu istilah menjadi tertanam di antara konsep-konsep dari istilah lain yang terkadang menyamarkan istilah aslinya. Alegori  adalah salah satu istilah yang bersifat penyamaran dan distorsi. Teori alegorinya yang paling berkembang diartikulasikan dalam bab ketiga dan terakhir dari karya Benjamin 'Ursprung des deutschen Trauerspiels', 

Melalui bab ini, Plate menggambarkan bahwa vitalitas alegori ternampakkan hanya jika dilihat sebagai kontras dengan definisi alegori tradisional (paling sering Kristen). Karenanya Ia mencoba untuk mengurai berbagai istilah yang berkaitan dengan alegori dari berbagai pemikir, mencoba untuk memahami struktur lama melalui penghancuran dan penciptaan kembali, menelusuri serangkaian fragmen dan gambaran masa lalu. Plate mencoba untuk mengaktualisasikan pemikiran Benjamin yang selalu berpikir/menulis alegoris dengan mengambil penggalan masa lalu (dari mitos, ritual, lukisan, atau dramanya) dan menyusunnya kembali dengan cara yang regeneratif atau mendialektikakan dengan masa kini, dan itulah yang kemudian dipahami sebagai estetika religius, atau juga disebut sebagai estetika alegori.

Estetika Benjamin tidak berorientasi pada logosentrisme Keindahan, Kebenaran, atau Tuhan, namun sesuatu yang membumi. Jika sebagian besar teori estetika religius dan teolog mencari "Keindahan  dari Tuhan", estetika Benjamin ada di dalamnya yang duniawi, materi, dan dengan demikian, yang sementara. Estetika Benjamin adalah sifat tidak kekal, mendorong dirinya sendiri dan orang lain untuk memperhatikan dengan cermat, memperhatikan,  karena kita akan kehilangan sesuatu jika tidak. Estetika seperti itu tidak ditemukan di  interaksi dengan karya seni hebat di ruang statis museum, namun ditemukan di celah di mana seni bertemu dengan kehidupan.

Deauratisasi Karya Seni di Zaman Reproduksi Massal

 Bab ketiga, S. Brent Plate mengeksplorasi essay Benjamin "The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility". Dua diantara beberapa tesis Benjamin dalam karyanya yakni keterkaitan antara karya seni dengan aparatus politik serta konsep aura dan deauratisasi karya seni di masa reproduksi massal.

Untuk memahami tesis yang pertama, Plate menggambarkan karya seni milik Marcel Duchamp tentang sebuah toilet atau wadah kencing. Duchamp mengikutsertakan karya seninya pada pameran di New York tahun 1917 yang diselenggarakan oleh 'Amerika Society of Independent Artists '. Duchamp mengambil wadah kencing yang dibalik, Ia beri label air mancur dan menandatangani dengan tulisan 'R. Mutt'. Hal tersebut mebuat juri tersinggung dan tidak mengizinkan karya Duchamp ditampilkan. Duchamp kemudian membawa karya seni yang ditolak itu ke sebuah studio foto milik temannya, Alfred Stieglitz, untuk dibuatkan grafik foto lalu diterbitkan di sampul jurnal seni, The Blind Man. Beberapa tahun kemudian, Duchamp meminta rekan-rekannya untuk membeli wadah kencing, untuk kemudian ditandatangani 'R. Mutt. Karya tersebut kemudian berada di beberapa museum.

Melalui cerita karya seni Duchamp, Brent Plate ingin menyampaikan jika sebuah cerita bagus tidak bisa bertahan hanya karena cerita bagus; mereka bertahan hidup karena ada seluruh aparat yang siap untuk mempertahankan dan mempromosikannya. Dengan kata lain, seni tidak akan bisa dikatakan sebagai seni tanpa kritikus seni, seniman lain, outlet penerbitan, institusi, kolektor, galeri, museum, dan masyarakat untuk melihat dan mendengar ceritanya. Begitupun, sebuah karya seni tidak tercipta dari ketiadaan, namun berkaitan dengan hal-hal lain seperti karya seni lain, tekhnologi, masyarakat, konsep aura, medium yang digunakan, produksi dan reproduksi, dan lain sebagainya.

Tesis besar kedua Benjamin yakni tentang konsep aura dan deauratisasi karya seni. Benjamin mendefiniskan aura sebagai nebulous, tidak obyektif dan agak misterius. Singkatnya aura adalah medium dan karenanya aura tidak melekat pada sebuah presentasi karya seni tertentu namun terletak pada penikmat sebagai subyek dan terletak pada karya seni itu sendiri sebagai obyek. Konsep ini muncul bersamaan dengan kemunculan fotografi yang menurut Benjamin memudarkan atau menghilangkan aura karya seni karena bisa diproduksi secara massal. Sebuah karya seni akan kehilangan auranya atau terkikis auranya di penciptaan yang kedua, dan seterusnya atau dengan kata lain terjadi deauratisasi karya seni.

Upaya Memunculkan Ketidaksadaran menjadi Sebuah Kesadaran

Bab terakhir, S. Brent Plate mengambil beberapa gagasan Benjamin di bab-bab sebelumnya untuk menggiring pemahaman pada komunitas estetika, inti pembahasan pada bab ini. Poin-poin pebahasan pada bab ini berupa memori, arsitektur dan ruang kota, serta peralihan ruang sebagai landasan dari sebuah komunitas. S. Brent Plate menggambarkan pemikiran Benjamin terkait sejarah dengan reruntuhan bencana yang masih menyisakan sisa-sisa bangunan sebelumnya dan karenanya justru menyuburkan komunitas. Penggambaran reruntuhan kota ditujukan untuk membawa sebagian dari masa lalu ke masa kini sebagai sebuah interupsi, sebagai kejutan yang mengguncang rangkaian mitos sejarah, dan menyadarkan tentang lingkungan material dan dengan demikian mengungkap ketidaksadaran kolektif. Sejarah, menurut Benjamin, bukanlah sebuah kontinum, melainkan sebuah kumpulan, sebuah koleksi yang tak ada habisnya, reruntuhan masa lalu. Masuk ke dalam sejarah, karenanya penting untuk berpartisipasi dalam penciptaan kembali dunia. Dari poin tersebut, sebuah komunitas terbangun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun