Resensi Buku: S. Brent Plate, 2005. Walter Benjamin, Religion, and Aesthetics: Rethinking Religion Through the Arts. Routledge.
Istilah estetika umumnya dipahami sebagai sebuah keindahan, cita rasa yang melekat pada kaum elit-borjuis, para kolektor seni, dan masyarakat kelas menengah atas. Namun Walter Benjamin, salah seorang anggota Mahzab Frankfrut memberikan alternatif lain untuk memahami estetika. Ia merunut secara etimologis dari asal kata estetika yang berasal dari bahasa Yunani kuno 'aisthitikos' yang artinya persepsi indra. Organ indra kita menerima rangsangan dari luar dan menimbulkan ragam sensasi yang kemudian diinterpretasikan dan diberi makna. Proses mengolah makna erat kaitannya dengan persepsi. Estetika, dengan kata lain dipahami sebagai dialektika antara yang material, yang terakses oleh indra, dan yang non-material yakni persepsi, untuk kemudian menciptakan pengalaman estetis.
Nalar dialektika yang ditawarkan Benjamin terpengaruh oleh pemikiran Marxis (Materialisme-Dialektika-Historis (MDH)), dan mistisisme Yahudi yakni Kabalah serta aliran romantisme Jerman. Benjamin bahkan dijuluki sebagai Marxis Rabi. Namun jika Marx menggunakan pisau analisis superstruktur ekonomi, Benjamin menggantinya dengan superstruktur seni. Nalar MDH tidak saja nampak pada pemahamannya terkait estetika yang Ia bahas lebih detail dalam bab 1 'Aesthetics (I): From the Body to the Mind and Back', dan bab 2 'Allegorical Aesthetics' namun juga nampak dari bagaimana Ia memposisikan pengalaman estetika yang dipolitisasi sebagai sebuah kritik seni. Politisasi seni akan dibahas detail di bab 3 'Working Art: The Aesthetics of Technological Reproduction dan di bab 4 'Aesthetics (II): Building the Communal Sense'.Â
Buku ini menarik karena mengulas pemikiran Walter Benjamin yang menawarkan alternatif lain dalam memahami estetika dan disampaikan secara runut dan detail. Pada bab 3, Benjamin berargumentas bahwa zaman reproduksi mekanik, yakni awal mula munculnya fotografi, menjadikan karya seni kehilangan aura. Argumentasi Benjamin, saya rasa bisa dijadikan bahan reflektif untuk melihat karya seni hari ini, ketika seluruh karya seni bisa diperbanyak hanya dalam sekali klik.
Estetika sebagai Instrumen Memahami Agama
Pada bab pertama, S. Brent Plate memperkenalkan pemikiran Benjamin terkait agama dan estetika dengan menelaah secara detail terkait definisi estetika itu sendiri. Tentu ada banyak definisi terkait estetika yang pernah ada, karenanya Plate memilahnya agar bisa disesuaikan dengan kajian studi agama dan mempermudah pembaca memahami pemikiran Benjamin. Salah satunya yakni definisi estetika menurut Alexander Gottlieb Baumgarten. Ia memulai definisi estetika secara etimologis dari akar kata aisthesis yang berarti persepsi sensorik. Istilh estetika kemudian menjadi ilmu baru yang berhubungan dengan pengetahuan dan melengkapi bidang logika. Jika logika berkaitan dengan hal-hal yang diketahui dan, estetika berkaitan dengan hal-hal yang dirasa. Disiplin estetika kemudian berkembang dan dipahami sebagai 'rasa' yang dipahami oleh pikiran bukan lidah yang oleh Baumgarten disebut sebagai estetika artifisial bukan estetika naturalis yang berorientasi pada sensual.Â
Sejak kemunculan Baumgarten, disiplin estetika terus menjadi perdebatan banyak pihak. Dari kecenderungan berfikir dualistik zaman pencerahan garis batas yang tegas antara yang murni-tidak murni, subjek-objek, hingga zaman postmodern ketika semua batas didekonstruksi. Estetika bahkan kemudian dianggap sebagai filsafat seni, menggeser pemaknaan estetika menjadi tidak sekadar fokus pada kecantikan. Dan diantara riuhnya perdebatan estetika, Benjamin muncul. Ia bersikukuh mempertahankan pemahaman materialistis tentang estetika dengan menjaga hubungannya dengan persepsi sensual, sekaligus menampilkan hubungan interaktif antara seni dan kehidupan sehari-hari, yang mengarah pada "baru, estetika yang dinamis dan dialektis".
Selain pemahaman Benjamin terkait estetika yang dinamis dan dialektis, salah satu pemikirannya yang perlu digaris bawahi adalah upayanya melihat agama dari kacamata estetika. Bagaimana agama yang selalu dikaitkan dengan sesuatu yang transenden, misterius, spiritual bisa dipahami dalam relasinya dengan sesuatu yang material. Untuk memahami argumen Benjamin, penulis menarik pembaca untuk masuk melalui teori penciptaan. Menurut Benjamin, seniman kreatif tidak pernah mencipta dari ketiadaan dan sebuah ciptaan selalu lahir dalam latar belakang sejarah, dengan serangkaian materi, keadaan, ideologi, dan teknologi. Kedua, semua ciptaan memerlukan kehancuran, atau sebagaimana yang dikatakan Benjamin "'Konstruksi' mengandaikan 'Penghancuran'. Dua hal tersebut kemudian menjadi landasan filosofi-teologi-esteika bagi Benjamin. Pemikiran Benjamin terkait dialektika penciptaan dan penghancuran sendiri tidak terlepas dari pengaruh mistisisme Yahudi, Kabalah.
Estetika Alegori Walter Benjamin
Pada bab kedua, Plate, S. Brent mencoba untuk mendeskripsikan nalar pemikiran estetika religius Walter Benjamin melalui alegori sebagai sebuah kerangka penting. Alegori -yakni mengatakan satu hal dengan makna lain dari yang dipahami orang kebanyakan- memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan pemikiran estetika religius Walter Benjamin. Gagasan Benjamin tentang alegori terdiri dari a  konstelasi konsep-konsep lain, dan satu istilah menjadi tertanam di antara konsep-konsep dari istilah lain yang terkadang menyamarkan istilah aslinya. Alegori  adalah salah satu istilah yang bersifat penyamaran dan distorsi. Teori alegorinya yang paling berkembang diartikulasikan dalam bab ketiga dan terakhir dari karya Benjamin 'Ursprung des deutschen Trauerspiels',Â
Melalui bab ini, Plate menggambarkan bahwa vitalitas alegori ternampakkan hanya jika dilihat sebagai kontras dengan definisi alegori tradisional (paling sering Kristen). Karenanya Ia mencoba untuk mengurai berbagai istilah yang berkaitan dengan alegori dari berbagai pemikir, mencoba untuk memahami struktur lama melalui penghancuran dan penciptaan kembali, menelusuri serangkaian fragmen dan gambaran masa lalu. Plate mencoba untuk mengaktualisasikan pemikiran Benjamin yang selalu berpikir/menulis alegoris dengan mengambil penggalan masa lalu (dari mitos, ritual, lukisan, atau dramanya) dan menyusunnya kembali dengan cara yang regeneratif atau mendialektikakan dengan masa kini, dan itulah yang kemudian dipahami sebagai estetika religius, atau juga disebut sebagai estetika alegori.
Estetika Benjamin tidak berorientasi pada logosentrisme Keindahan, Kebenaran, atau Tuhan, namun sesuatu yang membumi. Jika sebagian besar teori estetika religius dan teolog mencari "Keindahan  dari Tuhan", estetika Benjamin ada di dalamnya yang duniawi, materi, dan dengan demikian, yang sementara. Estetika Benjamin adalah sifat tidak kekal, mendorong dirinya sendiri dan orang lain untuk memperhatikan dengan cermat, memperhatikan,  karena kita akan kehilangan sesuatu jika tidak. Estetika seperti itu tidak ditemukan di  interaksi dengan karya seni hebat di ruang statis museum, namun ditemukan di celah di mana seni bertemu dengan kehidupan.
Deauratisasi Karya Seni di Zaman Reproduksi Massal
 Bab ketiga, S. Brent Plate mengeksplorasi essay Benjamin "The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility". Dua diantara beberapa tesis Benjamin dalam karyanya yakni keterkaitan antara karya seni dengan aparatus politik serta konsep aura dan deauratisasi karya seni di masa reproduksi massal.
Untuk memahami tesis yang pertama, Plate menggambarkan karya seni milik Marcel Duchamp tentang sebuah toilet atau wadah kencing. Duchamp mengikutsertakan karya seninya pada pameran di New York tahun 1917 yang diselenggarakan oleh 'Amerika Society of Independent Artists '. Duchamp mengambil wadah kencing yang dibalik, Ia beri label air mancur dan menandatangani dengan tulisan 'R. Mutt'. Hal tersebut mebuat juri tersinggung dan tidak mengizinkan karya Duchamp ditampilkan. Duchamp kemudian membawa karya seni yang ditolak itu ke sebuah studio foto milik temannya, Alfred Stieglitz, untuk dibuatkan grafik foto lalu diterbitkan di sampul jurnal seni, The Blind Man. Beberapa tahun kemudian, Duchamp meminta rekan-rekannya untuk membeli wadah kencing, untuk kemudian ditandatangani 'R. Mutt. Karya tersebut kemudian berada di beberapa museum.
Melalui cerita karya seni Duchamp, Brent Plate ingin menyampaikan jika sebuah cerita bagus tidak bisa bertahan hanya karena cerita bagus; mereka bertahan hidup karena ada seluruh aparat yang siap untuk mempertahankan dan mempromosikannya. Dengan kata lain, seni tidak akan bisa dikatakan sebagai seni tanpa kritikus seni, seniman lain, outlet penerbitan, institusi, kolektor, galeri, museum, dan masyarakat untuk melihat dan mendengar ceritanya. Begitupun, sebuah karya seni tidak tercipta dari ketiadaan, namun berkaitan dengan hal-hal lain seperti karya seni lain, tekhnologi, masyarakat, konsep aura, medium yang digunakan, produksi dan reproduksi, dan lain sebagainya.
Tesis besar kedua Benjamin yakni tentang konsep aura dan deauratisasi karya seni. Benjamin mendefiniskan aura sebagai nebulous, tidak obyektif dan agak misterius. Singkatnya aura adalah medium dan karenanya aura tidak melekat pada sebuah presentasi karya seni tertentu namun terletak pada penikmat sebagai subyek dan terletak pada karya seni itu sendiri sebagai obyek. Konsep ini muncul bersamaan dengan kemunculan fotografi yang menurut Benjamin memudarkan atau menghilangkan aura karya seni karena bisa diproduksi secara massal. Sebuah karya seni akan kehilangan auranya atau terkikis auranya di penciptaan yang kedua, dan seterusnya atau dengan kata lain terjadi deauratisasi karya seni.
Upaya Memunculkan Ketidaksadaran menjadi Sebuah Kesadaran
Bab terakhir, S. Brent Plate mengambil beberapa gagasan Benjamin di bab-bab sebelumnya untuk menggiring pemahaman pada komunitas estetika, inti pembahasan pada bab ini. Poin-poin pebahasan pada bab ini berupa memori, arsitektur dan ruang kota, serta peralihan ruang sebagai landasan dari sebuah komunitas. S. Brent Plate menggambarkan pemikiran Benjamin terkait sejarah dengan reruntuhan bencana yang masih menyisakan sisa-sisa bangunan sebelumnya dan karenanya justru menyuburkan komunitas. Penggambaran reruntuhan kota ditujukan untuk membawa sebagian dari masa lalu ke masa kini sebagai sebuah interupsi, sebagai kejutan yang mengguncang rangkaian mitos sejarah, dan menyadarkan tentang lingkungan material dan dengan demikian mengungkap ketidaksadaran kolektif. Sejarah, menurut Benjamin, bukanlah sebuah kontinum, melainkan sebuah kumpulan, sebuah koleksi yang tak ada habisnya, reruntuhan masa lalu. Masuk ke dalam sejarah, karenanya penting untuk berpartisipasi dalam penciptaan kembali dunia. Dari poin tersebut, sebuah komunitas terbangun.
Pemikiran-pemikiran Benjamin sangat kental dengan konsep alam bawah sadar, atau ketidaksadaran dan Ia menganalogikan ketidaksadaran kolektif seperti sebuah kota. Selama manusia adalah entitas jasmani, arsitektur akan melakukannya menjadi seni publik yang dominan. Benjamin membuat alam bawah sadar menjadi sadar dan memahami bagian-bagian yang terlupakan masa lalu dan bagaimana pengaruhnya terhadap masa kini. Untuk membantu memahami pertentangan antara kontemplasi dan gangguan, ia membawa analogi arsitektur ke dalam argumennya: "Bangunan diterima dalam dua cara: melalui penggunaan dan persepsi.
Melalui karyanya pada tahun 1930an, Benjamin menunjukkan bagaimana kota menjadi "situs penemuan pribadi". Namun bagi Benjamin, hal ini bukanlah sebuah hal yang penting. penemuan individual dan subyektif, tetapi merupakan pengungkapan situasi kehidupan seseorang dalam tatanan sosial-spasial yang luas. Hal tersebut tersirat pada karya Benjamin "otobiografinya" ("Berlin Chronicle" dan "Berlin Childhood Around 1900") yang mengisahkan pengungkapan dirinya di masa kini, di dalam ruang perkotaan Berlin. Di sini, waktu kronologis diubah menjadi dimensi spasial, "masa lalu menjadi ruang".
Buku ini mengurai pemikiran-pemikiran Walter Benjamin secara menyeluruh dan mendalam, mencari akar yang menjadi sumber pemikiran Benjamin seperti logika marxis, alam bawah sadar pesikoanalisis, romantisme Jerman, dan mistisisme Yahudi 'Kabalah'. Begitupun S. Brent Plate mencoba untuk mengurai berbagai definisi eperti ketika Ia mencoba untuk mengurai definisi estetika menurut Benjamin. Buku ini sangat membantu untuk memahami pemikiran-pemikiran Benjamin namun sayangya gagasan-gagasan pribadi, atau kritik terhadap pemikiran Benjamin menjadi tidak nampak. Buku ini bisa dikatakan seperti sebuah film yang didasarkan pada kisah nyata. Namun demikian, buku ini tetap penting, karena pemikiran-pemikiran Benjamin saya kira masih relevan di abad 21.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H