Mohon tunggu...
Chusnul C
Chusnul C Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti dan penulis lepas

Seorang peneliti dan penulis lepas, menyukai isu lifestyle, budaya, agama, sastra, media, dan pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Gagap Slow Living

12 Januari 2025   21:45 Diperbarui: 14 Januari 2025   15:27 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Desa Pagi Hari (Sumber: Dokumen Pribadi)

Konsep hidup 'Slow Living' atau gaya hidup yang melambat beberapa tahun terakhir semakin populer dan diminati masyarakat Indonesia terutama generasi muda. 

Gaya hidup melambat pada dasarnya merupakan gaya hidup alternatif yang muncul untuk merespons modernisme yang menuntut segala hal serba cepat dan membuat masyarakat terengah-engah. Gaya hidup yang lebih menekankan kuantitas di atas kualitas.

Gaya hidup serba cepat, sayangnya memiliki konsekuensi seperti gangguan mental, kecemasan, burn out, dan lain sebagainya. Karena itu, muncul berbagai alternatif salah satunya gaya hidup yang melambat. Konsep hidup slow living dianggap sebagai gaya hidup alternatif yang menekankan kualitas hidup. 

Gaya hidup ini sebenarnya sudah lama namun mulai populer di kalangan anak muda terutama pasca covid 19 yang menyadarkan masyarakat pentingnya hidup berkualitas.

Konsep 'Slow Living' semakin terdemokratisasi seiring dengan daya cepat internet, salah satu instruments modernism itu sendiri. Populernya konsep 'Slow Living' terfasilitasi dengan maraknya konsep kerja remote 'Work from Anywhere/ Home' yang juga populer di masa covid. 

Suasana Desa Pagi Hari (Sumber: Dokumen Pribadi)
Suasana Desa Pagi Hari (Sumber: Dokumen Pribadi)

Dengan model kerja remote, masyarakat yang semula hanya bisa mengakses pekerjaan secara langsung yang hanya tersedia di kota-kota besar, kini dimungkinkan untuk bekerja di desa yang lebih tenang, murah namun dengan salary yang layak.

Namun, mereka yang memiliki pekerjaan remote dan memiliki peluang besar untuk 'Slow Living', pada akhirnya harus memilih tempat yang sudah menyediakan fasilitas penunjang baik kelancaran internet ataupun penunjang transportasi. Karenanya tidak semua tempat layak untuk dijadikan tempat 'Slow Living' untuk jangka panjang, atau jika masih harus hidup dan bergantung dengan pekerjaan modern.

Sekilas, konsep 'Slow Living' memang sangat menggiurkan. Mereka yang memiliki peluang kerja remote, bisa mendapatkan klien atau pekerjaan dari manapun dengan pendapatan standar kota, namun hidup di desa yang lebih murah, lebih sehat dan lebih tenang. 

Hal inilah yang kemudian membuat banyak orang berbondong-bondong pindah dari kota ke desa. Sayangnya banyak di antara pelaku 'Slow Living' mengalami kegagapan budaya. 

Hal ini terjadi karena banyak yang memutuskan untuk pindah ke desa hanya karena sekadar ikut-ikutan trend tanpa terlebih dahulu memahami konsep 'Slow Living' secara mendalam.

Hal ini pun banyak dikeluhkan oleh warga net misalnya di platform thread yang banyak berisikan tentang diskusi panjang terkait berbagai persoalan hidup. 

Beberapa akun mengeluhkan sikap orang-orang kota yang pindah ke desa untuk 'Slow Living'. Banyak di antara mereka hanya sekadar senang menikmati suasana desa yang sejuk, tenang, mentari pagi yang hangat, minim polusi dan lain sebagainya. 

Namun sayangnya, mereka tidak mengimbangi dengan sikap dan pola pikir. Mereka masih bersikap individualis, enggan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, dan baper ketika dikepoin atau ditanya perihal kapan.

Selain itu, banyaknya orang kota yang membeli tanah di desa, dan membangun rumah berdampak pada naiknya harga tanah. Sementara rumah-rumah yang dibangun, seringkali hanya ditinggali saat liburan, atau di hari-hari tertentu dan tidak sedikit yang akhirnya ditinggalkan kosong. 

Ada pula warga kota yang tinggal di desa, enggan bersosialisasi namun ujung-ujungnya menitipkan rumah ke tetangga kanan-kiri ketika mereka hendak pergi. Hal-hal semacam ini tentu berkebalikan dari ide 'slow living' itu sendiri.

Konsep 'slow living' menurut Parkins (2004) merupakan serangkaian respon yang mencakup penuh kesadaran akan waktu yang dihabiskan dalam sehari-hari. Konsep hidup ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup individu, komunitas, dan lingkungan. Menurut Parkins, ada tiga masalah utama yang direspons diantaranya percepatan waktu, kelebihan ruang, dan individualisasi yang berlebihan. 

Sementara itu menurut Carl Honore (2004) konsep hidup 'slow living' itu tidak sama dengan bermalas-malasan alih-alih menekankan prinsip keseimbangan hidup yang ia sebut dengan istilah tempo giusto, yakni proses mencari tempo yang tepat di situasi yang tepat. Selain itu ada beberapa prinsip yang perlu ditekankan diantaranya berbasis lokalitas, berorientasi pada kebiasaan komunal dan ekologi.

Tempo hidup yang melambat pada dasarnya ditujukan untuk lebih menekankan pada perhatian sesama manusia, kepedulian dan pemikiran yang penuh dengan kesadaran.  

Sedangkan berbasis lokalitas dan berorientasi kebiasaan sosial merupakan respons atas gaya hidup masyarakat modern yang individualis. Sedangkan prinsip ekologi ditujukan agar kualitas hidup lingkungan meningkat sehingga kembali ke desa misalnya, bertujuan agar kita lebih bisa hidup dengan alam dan masyarakat secara harmoni dan seimbang.

Karena itu jika ada yang mengklaim hidup 'slow living' tapi masih menekankan prinsip 'mind your business' (urusi urusan hidupmu sendiri), enggan menerima konsekuensi hidup di tengah masyarakat, tidak mau bersosial dan memahami pola pikir masyarakat kebanyakan, atau baper ketika ditanya kapan, ya artinya salah parkir. 

Sayangnya hal semacam ini banyak terjadi. Padahal konsep 'slow living' yang sebenarnya ya membaur dengan masyarakat, dan alangkah baiknya jika mereka yang datang ke desa ikut melibatkan diri dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Bunga Anggrek (Sumber: Dokumen Pribadi)
Bunga Anggrek (Sumber: Dokumen Pribadi)

Selain itu, konsep 'slow living' juga banyak disalahpahami dengan bermalas-malasan. Padahal tujuan sebenarnya agar kita bisa lebih bijak mengelola waktu, bercengkrama dengan alam, bergerak, bersosialisasi dan keluar dari zona nyaman sosial media. Namun seringkali yang terjadi justru sebaliknya. Ini adalah konsep yang gagal dipahami dan terdengar sekadar FOMO (Fear of Missing Out) takut ketinggalan trend.

Namun hanya karena sering gagal dipahami, hidup melambat tetap layak untuk dijalani, diterapkan. Namun akan menjadi salah ketika hidup melambat hanya karena FOMO, tidak menyadari esensi konsep hidup melambat dan berakhir dengan kontraproduktif. 

Karena itu, sebelum memutuskan hidup 'slow living', pastikan dulu konsekuensi yang ditimbulkan, karakter dan kebiasaan masyarakat lokal yang akan menjadi rekan untuk bertumbuh, serta infrastruktur umum seperti listrik, internet, transportasi, ruang publik dan lain sebagainya. 

Takutnya, konsep 'slow living' alih-alih membentuk kehidupan yang berkualitas justru menjadi semacam tempurung yang mengungkung produktifitas. Akan beda cerita jika pulang ke desa sudah dalam fase pensiun.

Sementara bagi kalian yang sudah terlanjur kepalang basah memutuskan untuk 'slow living' di desa, pastikan kalian masih tetap menjaga relasi dan terus berjejaring. Karena pada akhirnya hidup harus seimbang, pola pikir dan kebiasaan lama yang sudah terbentuk tentu tidak bisa tiba-tiba berubah, begitupun relasi pertemanan yang sudah terbangun tetap harus terjaga. 

Akan baik jika menerapkan konsep 'slow living', menikmati alam desa yang lestari dan menyehatkan, tetapi kita bisa memberikan manfaat terhadap masyarakat sekitar.

Selain itu, perlu dipahami bahwa desa bukanlah tempat pelarian atas ketidaknyamanan kota dan konsep hidup 'slow living' bukanlah alasan untuk bermalas-malasan. 

Pergi ke desa, menerapkan konsep 'slow living' di sisi lain juga menuntut untuk 'hadir' di tengah masyarakat, bersama-sama menjaga alam agar tetap lestari dan menghasilkan kehidupan bersama yang berkualitas dan berkelanjutan.

Referensi:

Honore, C., 2004. In Praise of Slowness, Chalenging the Cult of Speed. s.l.:Harper-Collins ebooks. 

Parkins, W., 2004. Out of Time: Fast Subject and Slow living. Time and Society.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun