Mohon tunggu...
Chusnul C
Chusnul C Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti dan penulis lepas

Seorang peneliti dan penulis lepas, menyukai isu lifestyle, budaya, agama, sastra, media, dan pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Gagap Slow Living

12 Januari 2025   21:45 Diperbarui: 14 Januari 2025   15:27 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Desa Pagi Hari (Sumber: Dokumen Pribadi)

Hal ini terjadi karena banyak yang memutuskan untuk pindah ke desa hanya karena sekadar ikut-ikutan trend tanpa terlebih dahulu memahami konsep 'Slow Living' secara mendalam.

Hal ini pun banyak dikeluhkan oleh warga net misalnya di platform thread yang banyak berisikan tentang diskusi panjang terkait berbagai persoalan hidup. 

Beberapa akun mengeluhkan sikap orang-orang kota yang pindah ke desa untuk 'Slow Living'. Banyak di antara mereka hanya sekadar senang menikmati suasana desa yang sejuk, tenang, mentari pagi yang hangat, minim polusi dan lain sebagainya. 

Namun sayangnya, mereka tidak mengimbangi dengan sikap dan pola pikir. Mereka masih bersikap individualis, enggan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, dan baper ketika dikepoin atau ditanya perihal kapan.

Selain itu, banyaknya orang kota yang membeli tanah di desa, dan membangun rumah berdampak pada naiknya harga tanah. Sementara rumah-rumah yang dibangun, seringkali hanya ditinggali saat liburan, atau di hari-hari tertentu dan tidak sedikit yang akhirnya ditinggalkan kosong. 

Ada pula warga kota yang tinggal di desa, enggan bersosialisasi namun ujung-ujungnya menitipkan rumah ke tetangga kanan-kiri ketika mereka hendak pergi. Hal-hal semacam ini tentu berkebalikan dari ide 'slow living' itu sendiri.

Konsep 'slow living' menurut Parkins (2004) merupakan serangkaian respon yang mencakup penuh kesadaran akan waktu yang dihabiskan dalam sehari-hari. Konsep hidup ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup individu, komunitas, dan lingkungan. Menurut Parkins, ada tiga masalah utama yang direspons diantaranya percepatan waktu, kelebihan ruang, dan individualisasi yang berlebihan. 

Sementara itu menurut Carl Honore (2004) konsep hidup 'slow living' itu tidak sama dengan bermalas-malasan alih-alih menekankan prinsip keseimbangan hidup yang ia sebut dengan istilah tempo giusto, yakni proses mencari tempo yang tepat di situasi yang tepat. Selain itu ada beberapa prinsip yang perlu ditekankan diantaranya berbasis lokalitas, berorientasi pada kebiasaan komunal dan ekologi.

Tempo hidup yang melambat pada dasarnya ditujukan untuk lebih menekankan pada perhatian sesama manusia, kepedulian dan pemikiran yang penuh dengan kesadaran.  

Sedangkan berbasis lokalitas dan berorientasi kebiasaan sosial merupakan respons atas gaya hidup masyarakat modern yang individualis. Sedangkan prinsip ekologi ditujukan agar kualitas hidup lingkungan meningkat sehingga kembali ke desa misalnya, bertujuan agar kita lebih bisa hidup dengan alam dan masyarakat secara harmoni dan seimbang.

Karena itu jika ada yang mengklaim hidup 'slow living' tapi masih menekankan prinsip 'mind your business' (urusi urusan hidupmu sendiri), enggan menerima konsekuensi hidup di tengah masyarakat, tidak mau bersosial dan memahami pola pikir masyarakat kebanyakan, atau baper ketika ditanya kapan, ya artinya salah parkir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun