Keesokannya aku menghubungi Sila dengan tujuan untuk meminjam uang agar bisa memenuhi hutangku pada paman Roy. “Sil, pulang kerja aku kerumahmu, ini penting” “iya Mar. Aku tunggu ya”. Setelah handphone kututup kulanjutkan untuk bekerja, namun pada saat itu, aku sadar bahwa semua staf karyawan menghampiriku beserta security. “ini pak orangnya” Ririn yang selalu iri dengan ku menunjuk ke arahku dengan wajah girang. “maaf apa, ada apa ya?” “agar tidak terjadi kekerasan tolong anda serahkan tas anda untuk saya cek” jawab security itu. Hatiku terasa bergetar, karena semua orang yang melihatku terasa aneh. Di tengah security itu mengecek isi tasku, dia menemukan kalung emas yang berharga, namun aku tak tau itu milik siapa. “haa jadi kamu Mar, aku gak nyangka ya, kalo kamu tuh pencuri, dari tampangmu yang polo situ ternyata kamu berbuat jahat” itulah perkataan semua orang-orang yang melihatku. “maaf ibu Mariyam, saya akan membawa anda ke kantor untuk menghadap kepala” “tapi pak, bukan saya pencurinya, saya tidak tau apa-apa”. Namun perkataan ku di sambut oleh Ririn dengan kata-kata yang kasar”Alaah maling mana ada yang ngaku, penjara penuh kaleee” di sertai tertawa yang keras. Aku yang tertunduk malu karena perkataan semua orang. Aku hanya pasrah menerima keadaan. Aku dan security pun akhirnya sampai di ruang kepala, dan security itu meninggalkan aku dan kepala beserta istrinya “Mariyam, saya tidak menyangka kalau akhirnya akan menjadi seperti ini, kamu tau itu kalung siapa? Itu adalah kalung istri saya.” “tapi pak saya gak tau apa-apa, tiba-tiba aja kalung itu ada di dalam tas saya”. “mana mungkin kalung itu bisa jalan sendiri” Teriakan istrinya yang membuatku semakin takut dan dilanjutkan oleh kepala”Mar, kamu adalah pekerja keras, sebenarnya saya gak mau memasukkan kamu ke penjara” “Sssaaya di penjara?” “iya biar tau rasa kamu, dasar kamu itu”sekali lagi suara istrinya yang selalu berteriak di sampingku “sudah dong ma, jangan emosi” “gimana mama gak emosi pa, liat aja kalung mama udah di curinya, gak ngaku lagi” “tapi bu, memang bukan saya yang mencurinya, pak saya bersumpah atas nama Tuhan” “kamu jangan bawa-bawa nama Tuhan deh, gak pantes di dengernya” “udah dong ma” sahut kepala. “pak saya mohon, jangan penjarakan saya, saya gak mau ngeliat ibu saya sedih” “ehmm ya sudah, kamu tidak saya laporkan kepenjara, tapi konsekuensinya kamu harus di keluarkan” “apa, Sssaaya di keluarkan”. Namun perkataan istri sang kepala yang yang keras kepala”papa kok gitu sih, udah jelas-jelas dia pencurinya” “sudah ma,,”. Dan akupun berpamitan dengan seluruh karyawan kerja. Ya aku tau tampang mereka yang sangat memandangku jijik. Namun aku tak tau harus melakukan apa, biarlah keadilan yang akan mengharumkan namaku. Setelah berjalan menuju rumah, langkahku terhenti karena tak kuasa melihat mata sang malaikatku yang akan menitihkan air matanya yang suci jika Ia tau aku di pecat. Aku berbalik arah dan menuju rumah Sila. “Assalamualaikum” “waalaikumsalam, eh Mariyam. Cari Non Sila ya, silahkan masuk” “makasih ya bi”. Akhirnya aku duduk di ruang tamu sambil menunggu Sila. “Mar, memangnya ada apa, kok sampe’ kamu bilang penting” “Akkuu mau pinjam uang” “untuk apa?” “untuk melunasi hutang ku pada rentenir” “apa? Rentenir,kamu tau kan rentenir itu seperti apa” “ya aku tau Sil, tapi dulu aku kepepet, jadi aku memutuskan untuk berhutang pada rentenir” “kamu mau pinjam berapa?” “150 juta” “Apaaa? Uang itu tidak sedikit Mar” “iyyaa, tapi tolong bantu aku” “emm di kamarku ada 50, sisanya besok ya, aku antarkan kerumah kamu. Karena aku harus mengambilnya ke ATM” “iyaaa, tapi jangan kamu antarkan, biar aku aja yang kerumahmu, aku gak mau kalo ibuku tau tentang hutang ku” “jadi kamu gak bilang sama ibu, kamu gunakan untuk apa uang sebanyak itu Mar?” “untuk biaya operasi ayah”.
Esok hari telah tiba dan kini saatnya aku bergegas untuk menuju rumah Sila. Namun terlihat mobil tak kukenali sedang parkir di depan rumahnya. Dan tak kusangka aku kan bertemu dengan lelaki itu lagi. Dan aku lanjutkan untuk menemui Sila dengan menghiraukan tingkah laku lelaki itu pada ku. “Eh Mar, tunggu ya aku baru aja mau ngambil ke ATM. Say kamu temenin sahabatku dulu ya. Gak lama kok” “iya say,,”. Perasaan ini mengatakan bahwa akan terjadi apa-apa pada ku. Langkah demi langkah, lelaki itu menghampiriku yang sedang duduk dan dia melakukan hal yang tidak sopan pada ku, aku menjerit ketakutan. Lama aku memberontak dan akhirnya Sila datang dengan terkejut. Dia sangat marah. “apa yang terjdi disini”. namun lelaki itu dengan memelas berkata”sahabatmu merayuku say” “apa benar yang di katakan pacarku padamu Mar?” “tidak Sil, malah ak…” “Ah.. aku tidak mau tau, kalian semua pergi dari sini, aku muak dengan kalian..” Sila menunjuk kearahku dan berkata”Mar, tega-teganya kamu seperti ini pada sahabatmu sendiri.” Dan dia pun berlari menuju kamar. Aku pulang dengan wajah pucat sambil berfikir bagaimana caranya agar melunasi hutangku pada paman Roy dan mengembalikan kepercayaan sahabatku sendiri. Aku takut untuk pulang kerumah dan memutuskan untuk menginap di masjid. Tak henti-hentinya aku menagis dan memohon pada sang kuasa untuk memberiku jalan. Esoknya aku akhirnya memutuskan untuk pulang. Tok tok tok “assalamualaikum ibu” “waalaikumsalam, Mar kamu darimana saja seharian ibu cari kamu, ibu khawatir nak” “gakpapa bu, maaf Mar gak memberitahu ibu kalo Mar kemarin menginap di rumah Sila” “oh ya sudah kalo gitu. Ibu buatkan minum ya” “iya. Makasih bu”. Terdengar suara batuk yang tak henti-hentinya dari dapur”Ibu sakit” “Gak, Cuma batuk biasa” Namun suara batuknya lebih keras dan akhirnya ibu pingsan. Segera ku bawa ia kerumah sakit untuk mengetahui kondisi ibu. “bagaimana dokter, ibu saya sakit apa?” “Ibu anda mengalami paru-paru basah. Dan saya lihat ibu anda juga mengalami sakit jantung” “jadi apa yang harus saya lakukan dok?” “saya akan memberi resep untuk ibu anda dan tolong jangan buat dia merasa kaget atau terkejut, itu akan berakibat fatal bagi jantungnya”. Aku tertunduk lemas dan menulis semua impian dan harapanku pada buku kecil yang selalu ku bawa kemana-mana. Tuhan jika ini memang yang Engkau kehendakai, aku terima dengan ikhlas Tuhan. Tolong beri hamba kekuatan agar hamba bisa menghadapi semua ujian dari Mu dengan kuat. 2 hari setelah ibuku dirawat, aku lupa akan janjiku. Dan akhirnya dua orang laki-laki yang pernah membawaku ke paman Roy, mendatangi rumahku dan menyeretku saat aku tengah makan bersama ibu. Ya ibu berteriak minta tolong, dengan nada keras dia menjerit kepanikan karena anak perempuan satu-satunya yang menjadi harapannya untuk di masa tua yang akan datang di culik oleh orang yang tak di kenal. Aku hanya diam, menangis pun aku tak bisa, karena air mata ini telah kering. Ketika sampai di rumah paman Roy dia berkata pada pelayannya “siapkan satu koper untuk dia” “paman, Mar akan di bawa kemana?” “Rupanya kamu sudah lupa ya…” Namun kakiku menjadi lemas, mata ini lama-lama gelap seakan aku tertidur pulas dan bermimpi aku berada di dalam mobil yang sedang melaju kencang. Dan ketika aku bangun “Aku mau di bawa kemana paman?” “setengah jam lagi pesawat akan landas, tolong lebih cepat pak supir”. Paman Roy menghiraukan jeritanku dan kini memang aku sedang tidak bermimpi. Sesampainya di bandara, pengawal paman Roy terus memegang tangan ku agar tidak lepas. Kami pun akhirnya menaiki pesawat. Aku tak tahu paman Roy kan membawaku kemana. Namun akhirnya ketika aku membuka mata, kami sampai di tempat dimana itu sangat asing bagi ku, aku tidak tau rupanya sepanjang perjalanan paman Roy menyuruh pengawalnya untuk membiusku. Akhirnya kami turun dari mobil dan memasuki rumah yang besar dengan halaman yang sangat luas.Terlihat disana banyak sekali binatang-binatang yang terpelihara dengan baik. Tok tok tok ketukan pintu paman Roy membuat pelayan dari dalam rumah membukakan pintu untuk kami. Dan kami masuk menuju ruang tamu. “apa kabar Roy, lama kita tidak bertemu”(bahasa asing) sepasang suami istri yang tengah menemui Paman Roy dengan bahasa yang tidak aku ketahui. “ya, apa kamu butuh sesuatu untuk mengurus semua binatang peliharaanmu”(bahasa asing) “wow kamu tahu saja ya jika aku sedang membutuhkan sesuatu, ya maklumlah.. pembantuku mati karena di terkam thyrti”(bahasa asing) “oh, singamu itu..”(bahasa asing) “ya, lalu siapa yang kamu bawa ini?”(bahasa asing) “ini yang akan kutawarkan kepadamu, tenang saja. DPnya sangat murah”(bahasa asing) “oh begitu rupanya. Baiklah akan kukirim ke rekeningmu malam nanti”(bahasa asing). Aku yang tak tahu apa yang di bicarakan mereka, aku hanya tetunduk polos. Dan beberapa lama kemudian paman Roy beserta pengawalnya pergi tanpa membawaku. “Paman, apa yang akan kau lakukan padaku?” aku berteriak kencang dan menangis. Kulihat perempuan tengah baya menghampiriku dengan tatapan yang tajam seakan memberiku isyarat untuk mengikutinya. Dan kami sampai di ruangan yang sempit dan bau di sertai barang-barang yang rusak tersimpan berantakan di ruangan ini. Aku bertanya”apa yang akan kau lakukan pada ku?” “kamu akan tinggal disini dan menuruti semua perintahku.” Tak kusangka dia bisa menggunakan bahasa Indonesia meskipun agak kaku di dengarnya. “apa maksudmu ” “kamu adalah budakku. Mengerti!”. Aku di cambuknya dan di suruh untuk masuk kedalam gudang itu.
Keesokannya, perempuan itu menghampiriku dengan membawaku cambuk dan menyuruhku untuk membersihkan kandang-kandang binatang peliharaannya termasuk peliharaan yang buas. Dengan membawa selang dan sapu aku membersihkan kandang hewan satu persatu, namun akhirnya langkahku terhenti ketika aku menuju kandang singa yang buas dan besar. Disaat langkah ku yang terhenti cambukan yang di tujukan padaku terasa perih di punggung. Perempuan itu menyuruhku untuk membersihkan kandang singanya. Aku memberanikan diri dan memohon perlindungan agar terjaga dari singa yang telah mengincarku sedari aku membersihkan kandangnya tadi. Secepat mungkin aku keluar dengan selamat dari kandang yang mematikan itu. Namun tak lama kemudian sang majikanku menyuruhku untuk merapikan seisi rumahnya yang sangat besar seorang diri. Setelah seharian aku melakukan apapun untuknya tapi aku hanya di beri makan 2 kali sehari hanya dengan 2 lembar roti tawar yang gosong dan setengah gelas air putih. Siksaan demi siksaan selalu tertuju padaku. Aku hanya bisa diam dan merintih kesakitan, hingga tubuh ini lemah tak berdaya menghadapi perlakuan majikan yang tak berperasaan. Tangan dan kaki ini serasa mati rasa. Tak ada yang bisa menolongku. Tak ada yang menghiburku. Dan tak ada yang menenangkanku. “ibuu… Mar rindu pada ibu. Ibu..” itulah tangis kerinduan seorang anak pada ibunya yang sudah sekian lama meninggalkan Indonesia. Tak tau lagi apa harapan nya kan terwujud lagi atau tidak. Kini aku hanya sendiri. Tanpa siapapun yang menyayangiku. Buku kecil merah jambu yang selalu kubawa, telah menemaniku di sepanjang hidup. Dimana dia selalu memberiku kebahagiaan kecil, karena aku menumpahkan segala kesal dan laraku pada buku kecil ini. Hingga setelah bertahun-tahun aku terkurung, akhirnya aku bisa melarikan diri dari rumah yang menyeramkan itu dan bersembunyi di sebuah tempat terpelosok. Tentu saja penuh rintangan yang kulalui untuk mencapai pintu gerbang. Karena acap kali aku mencoba untuk kabur, mereka selalu mengetahui gerak-gerikku. Hingga di siksa tanpa adanya penghentian. Cambuk demi cambuk, pasung yang menungguku, dan tali anjing yang selalu menempel kuat di leherku. Membuat ku tak bisa menahan tuk menjerit dan memberontak. Dan akhirnya kini aku menetapi rumah kosong yang sudah reot yang habis di makan rayap. Aku takut untuk keluar dari rumah ini, trauma akan orang-orang kejam itu. Hingga akhirnya ku habiskan sisa hidupku di rumah ini. Aku tak tau bagaimana keadaan ibu yang jauh di luar sana. Namun di Sore ini aku duduk bersandar sambil menghirup bau tanah yang segar sehabis hujan mengguyur tempat ini. Aku yang sedang membuka lagi buku kecil merah jambu, mulai menulis sepucuk surat untuk dia. Dia Malaikat pelindungku.
Ibu tak sedikit tetes keringat yang kau lakukan untuk anakmu
Beribu kerikil dan kepingan kaca di depan mu
Tak gentar kau untuk melewatinya
Demi anakmu yang kau cintai
Sayang dan cinta ini tulus dariku yang menyayangi dan mecintaimu ibu
Sehelai kain kau jadikan selimut untukku dari malam yang dingin
Sepasang sepatu dari kayu kau beri untukku dari jalanan yang kasar
Kau relakan tangan dan kakimu untuk melindungiku