Tangan Sejajar
Bertahun-tahun lalu ada sebuah komunitas sosial yang menyebut kelompoknya dengan nama Tangan di Atas. Mereka fokus pada aksi sosial dengan menggalang dana dari para donatur yang lalu disalurkan kepada siapa pun yang menurut mereka layak dibantu.Â
Menurut komunitas ini, tangan yang memberi adalah tangan di atas, tangan yang menerima adalah tangan di bawah. Tentu, ini kemungkinan hanyalah idiom atau ungkapan saja dan tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pemberi berposisi lebih superior daripada penerima, meskipun di sisi lain ada juga ungkapan "lebih baik menjadi pemberi daripada menjadi penerima".
Tetapi sebagai sekadar ungkapan pun kalimat itu tetap bisa diuji: benarkah begitu? Apakah benar tangan pemberi adalah tangan di atas dan tangan penerima adalah tangan di bawah? Mungkinkah bahwa pemberi sebenarnya adalah juga penerima, dan penerima sebenarnya adalah juga pemberi pada saat yang bersamaan dan simultan, sehingga tangan pemberi dan tangan penerima sesungguhnya sejajar setara?
Saat kita mempersembahkan dana kepada mereka yang layak menerima, pada saat itu kita juga adalah penerima kesempatan memberi dana. Dan ketika penerima menerima dana yang kita berikan, pada saat yang sama mereka juga adalah pemberi kesempatan berbuat baik kepada kita. Pemberi adalah penerima, penerima adalah pemberi. Kosong adalah isi, isi adalah kosong.
Eh, kok Bhiksu Tong San Cong nyelip di sini? Mana nih Go Kong, kok gurunya dibiarkan jalan-jalan sendiri. Bahaya, ada siluman penulis yang sedang asyik bekerja mengendalikan kata-kata supaya baik jalannya. Hehehehe....
Balik ke topik, yuk!
Jika kita mau memandang dari sudut pandang tangan pemberi dan penerima adalah sejajar seperti yang telah dijelaskan tadi, kita akan belajar menjadi pemberi dan penerima yang baik. Karena dalam kenyataan kadang-kadang terjadi pemberi tidak bisa menjadi pemberi yang baik, dan penerima gagal menjadi penerima yang baik pula.
Ambil contoh kasus seorang kakek bergelar S3 (Sudah Sepuh Sekali).
Kakek S3 sudah lemah karena faktor U dan perubahan yang niscaya dalam kehidupan ini. Ketika masih muda, Kakek S3 mampu melakukan apa pun dengan mandiri. Dia kuat dan tangkas, jalannya tegap punggungnya tegak, kepala mendongak menantang dunia dengan ekspresi seakan ingin berkata: heiiii kaliaaaann....minggir! Dia juga seorang yang dermawan namun memiliki harga diri yang terlalu tinggi untuk menerima bantuan dari orang lain.
Tetapi kini senja sudah menyingsing. Kakek S3 tidak lagi mampu melangkahkan kaki dengan mantap. Alih-alih, tiap kali beliau ingin melangkahkan kaki kiri ke sana, yang terjadi kaki kiri malah ke sini. Atau saat beliau ingin kaki kanan maju satu langkah, yang terjadi kaki kanan mogok majunya seperti motor kehabisan bensin.
Seumur-umur Kakek S3 tak teriasa menjadi penerima. Citra diri yang melekat dan dia yakini adalah dia adalah, dia adalah...
Busyet, nih ngetik apaan. Maaf.
Kakek S3 menempatkan dirinya selalu sebagai orang kuat, mandiri (mandi sendiri, tentu saja), dan berwibawa. Emohlah minta bantuan siapa pun. Tetapi kini keadaan sudah berbeda. Fisiknya melemah, kekuatannya pudar dimakan umur. Kakek S3 stress karena sekarang harus rela menjadi penerima bantuan dari sanak saudara atau perawat.Â
Andai dari sejak dini Kakek S3 sadar bahwa hidup tak melulu soal memberi, bahwa tak ada yang kekal di dunia ini, Kakek S3 pasti sudah belajar menjadi penerima yang baik sehingga saat tiba waktunya dia melemah, dia akan dengan ikhlas menerima kenyataan harus bergantung pada bantuan  orang lain.
Kita bisa belajar dari kasus yang menimpa Kakek S3. Menjadi penerima adalah juga pemberi. Dan menjadi pemberi adalah juga penerima. Tangan kita sejajar, saling tolong menolong dalam lingkaran samsara ini.
Chuang 261122
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H