Mohon tunggu...
Chuang Bali
Chuang Bali Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang Biasa yang Bercita-cita Luar Biasa

Anggota klub JoJoBa (Jomblo-Jomblo Bahagia :D ) Pemilik toko daring serba ada Toko Ugahari di Tokopedia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Si Luwak dan Kebun Buah Nan Ranum

21 Oktober 2022   18:20 Diperbarui: 21 Oktober 2022   18:40 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kita bisa dengan mudah menertawai si luwak dan menganggapnya pin-pin-bo alias pintar-pintar bodoh. Tetapi kisah si Luwak dan kebun buah-buahan nan ranum mengandung pesan yang jelas yang, menurut saya, bisa ditafsirkan ke dalam dua pengertian.

Pertama, kisah si luwak menggambarkan keadaan kita ketika datang ke dunia melalui kelahiran yang sekarang ini. Secara fisik kita datang dalam keadaan telanjang, tidak berbaju, tidak membawa ransel atau tas travelling, apalagi bawa-bawa ponsel atau gadget serta saldo gopay yang cukup untuk seumur hidup ngopi-ngopi. 

Tetapi secara niskala (tak kasat mata) kita datang dengan membawa karma-karma dari kehidupan lampau yang bisa berbuah pada waktunya ketika situasi dan kondisinya tepat. Ini seperti si luwak masuk ke kebun buah dengan perut kempis demi bisa menyelinap dari celah jeruji. 

Setelah lahir ke dunia, kita tumbuh dan melapuk, melakukan banyak karma-karma baru yang kusala (terampil, perbuatan baik) maupun akusala (tidak terampil, perbuatan buruk) serta memetik banyak buah karma yang pas kondisinya untuk berbuah. Ini seperti si luwak yang berpesta pora melahap buah di dalam kebun. Lalu tiba waktunya kita meninggalkan dunia ini, kita tak bisa membawa apa pun yang kita peroleh selama hidup. 

Tak ada rumah yang bisa dibawa, pakaian (kecuali yang terakhir dan dipakaikan oleh pengurus jenazah kepada kita), tak ada mobil, ponsel, buku, akun FB, akun kompasiana, tiktok, dan segenap harta yang berhasil kita kumpulkan. 

Bahkan para sanak saudara hanya bisa menemani kita sampai di pekuburan atau krematorium saja, selannjutnya kita sendiri secara fisik tetapi secara niskala ditemani oleh semua karma-karma yang telah kita lakukan selama hidup. Persis sama dengan si luwak yang harus keluar dari kebun dengan perut kempis seperti kala dia masuk.

Kedua, kisah si luwak juga bisa dipahami sebagai penggambaran perilaku keseharian sebagian dari kita yang bertekad untuk meraih sukses (baca: duit) dengan bekerja begitu kerasnya sampai mengorbankan keseimbangan hidup. 

Saat tubuh meminta waktunya untuk beristirahat, kita mengabaikan permintaan itu. Saat tubuh mulai menjeritkan alarm karena telah terjadi kesakitan di beberapa bagian, kita sumpal jeritan itu dengan obat-obat penahan atau pembunuh rasa sakit demi bisa terus bekerja, kerja, kerjaaaa...bagai kuda gilaaa.... 

Pada akhirnya tubuh tak kuat lagi menopang aktivitas kita, dia menyerah dan kita pun terpaksa menginap di rumah sakit, dan rumah sakit tidaklah gratis bahkan bagi yang terlindungi oleh asuransi (karena perlindungan itu sesungguhnya telah kita bayar dengan premi yang rutin kita setorkan ke asuransi). Kita mengejar uang dengan bekerja keras dan mengorbankan kesehatan, setelah sakit kita mengorbankan uang agar bisa sehat kembali.

Bukankah ini sama saja dengan si luwak? Dia berpuasa demi bisa masuk ke kebun buah, setelah kenyang dia harus berpuasa lagi demi bisa keluar dari kebun itu.....

Apa kita mau bertingkah pin-pin-bo seperti si luwak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun