Betul, tapi...rasa iba itu juga adalah cerminan dari kesombongan yang, meskipun halus, tetap saja kesombongan. Dengan rasa iba, kasihan, kita menganggap diri kita lebih tinggi, lebih beruntung dari mereka yang kita anggap "rendah" karena kurang beruntung. Â
Ah, mana bisa begitu?
Mari, cobalah jujur. Ketika kiita merasa kasihan, iba, trenyuh, bisakah kita amati dalam batin terdalam ada suatu rasa keakuan yang bunggah, yang menganggap diri lebih superior? Cobalah diamati.Â
Maka itu kemurahan hati yang didorong oleh rasa kasihan kurang dapat dianggap sebagai perbuatan baik yang didasari oleh kebijaksanaan. Untuk bertindak sebagai orang bajik yang bijak, kita semestinya berderma atas dasar simpati dan welas asih yang memandang setiap makhluk sebagai setara dalam pengertian konvensional.
"Blo!" seseorang memanggil sambil menepuk pundaknya. Jomblo agak kaget, dia menoleh dan menemukan Jambo Nalagiri sedang tersenyum. Jomblo memang selalu meminta setiap orang, tua, muda, laki, perempuan, bahkan anak-anak sekalipun memanggilnya dengan Jomblo saja (tidak pakai macam-macam). Dan dia meyakinkan siapa pun, terutama yang lebih muda darinya, untuk jangan sungkan-sungkan memanggilnya begitu.
"Ada apa Pak Ketua?" balas Jomblo sambil tersenyum. Kalau diamati, Jambo Nalagiri tidak punya tongkrongan sebagai seorang pemimpin yang berwibawa. Wajahnya bulat seperti wajah bayi, tampang culun. Tapi entah mengapa, ada pancaran wibawa dari dalam dirinya yang menyebabkan orang merasa segan dan hormat kepadanya. Â
"Kita harus menyumbangkan suatu pertunjukan ke anak-anak panti. Kamu mau maju ke depan?"
"Aku? Mengapa aku?" Jomblo heran, kok bisa-bisanya dia diminta maju ke depan. Mau ngapain? Nyanyi? Dijamin tikus-tikus akan terbirit-birit sambil berteriak minta ampun (dalam bahasa tikus, tentunya) mendengar suaranya, apalagi manusia.
"Katanya kamu jago melucu?"
Sialan! Oknum siapa yang melancarkan fitnah bahwa yang namanya Jomblo jago melucu?
"Kata siapa, Jam?"