Seorang teman facebook pernah membuat sebuah status tentang keprihatinannya atas betapa perayaan Waisak kalah populer dan meriah bila dibandingkan dengan Natal atau Lebaran. Dia bercerita, pada masa menjelang Waisak tahun lalu, dia pergi ke bank untuk suatu urusan. Di sana dia tak menemukan satu pun tanda kemeriahan menyambut Waisak. Penasaran, dia bertanya kepada salah seorang kasir apakah tidak ada spanduk atau semacamnya yang dipasang untuk menyambut Waisak? Dijawab: tidak ada. Teman saya lalu merenung dan mulai membanding-bandingkan. Jika saat itu adalah hari menjelang Natal, pastilah setiap bank atau mall ramai oleh kemeriahan menyambutnya. Ada spanduk ucapan selamat Natal, patung Santa atau pohon Natal lengkap dengan lampunya yang berkelap-kelip. Dan bila saatnya menjelang Lebaran pasti juga sama atau bahkan lebih meriah lagi: spanduk ucapan selamat Lebaran bertebaran di mana-mana dengan kalimat yang telah menjadi klise: "mohon maaf lahir dan batin".
Saya yang membaca statusnya menangkap kesan bahwa si teman ini merasa minder sebagai Buddhis, karena hari rayanya---Waisak---disambut dengan adem ayem. Dan saya yakin sebagian Buddhis juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
Dahulu, ketika saya masih sebagai anak kecil, saya pun sama seperti mereka: minder menjadi seorang Buddhis yang minoritas, yang agamanya kalah populer dan hari rayanya kalah meriah dibandingkan dengan agama lain. Saking mindernya, sampai-sampai timbul semacam rasa "dendam" dan tekad bahwa kelak, jika saya menjadi seorang presiden yang memerintah di negara ini, saya akan menjadikan Buddhisme sebagai agama resmi negara. Ketika itu saya tidak sadar bahwa presiden pada sebuah republik demokratis tidak berkuasa mutlak seperti raja jaman dulu: seorang presiden tidak bisa seenaknya menetapkan suatu keputusan yang menjangkut hajat hidup orang banyak tanpa persetujuan parlemen. Jadi keinginan seperti itu jelas tidak masuk akal, atau yang dalam kata-kata terkenal dari alm. Asmuni: itu adalah hil yang mustahal. Â
Nah, mumpung bernostagia ke masa kecil, ada satu lagi kenangan lucu yang menunjukkan betapa minoritasnya Buddhisme di Indonesia, betapa sangat amat sedikit sekali orang yang mengenal segala yang menyangkut agama Buddha.
Ceritanya terjadi saat pelajaran seni suara. Guru meminta setiap murid maju ke depan dan menyanyikan sebuah lagu sesuai pilihan si murid sendiri, dan guru akan memberi nilai. Jadi, yang pandai menyanyi dan bersuara merdu serta mampu bergaya sesuai penghayatan pada lagunya pasti akan mendapatkan nilai tinggi.
Ketika itu, saat liburan kenaikan kelas saya mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan sebuah kaset kumpulan lagu Buddhis. Sampulnya bergambar Buddha duduk bermeditasi dan penyanyi dalam rekaman itu adalah Metta Selani. Karena menyukai lagu "Lord Buddha" dari album tersebut, saya sampai hafal di luar kepala dan lagu itulah yang saya nyanyikan di depan kelas saat sekolah dimulai lagi, ketika nama saya dipanggil oleh guru. Maka, dalam ruangan kelas yang dipenuhi oleh 30-an murid dan satu orang guru itu, mengalunlah lagu "Lord Buddha" dari suara sumbang seorang anak:
Lord Buddha yang mahamulia
Guru jagat yang bijaksana
Lord Buddha...
Yang terjunjung di tribuana
Penunjuk jalan ke Nibbana
Lord Buddha...
Bhagavato, arahato, sammasambuddhasa.
Ketika itu, bahkan saya pun sebagai Buddhis dan penyanyinya tak memahami seluruh makna pada lirik lagu tersebut, khususnya bagian yang berasal dari bahasa Pali. Tapi saya tetap maju tak gentar, dan saya tak tahu apa yang menyebabkan saya begitu percaya diri dan bersemangat menyanyikan sebuah lagu dari sebuah agama minoritas, di sebuah sekolah Kristen yang murid-muridnya bahkan tak tahu apa atau siapa Buddha itu. Saya hanya ingat satu hal: saat itu saya ingin sekali menunjukkan identitas saya sebagai Buddhis, agar tidak kalah dengan teman-teman saya yang Kristen, Hindu atau Muslim.
Maka, seisi kelas terpana!
Saya tak peduli andaikata mereka terpana karena tak menyangka betapa sumbangnya suara saya. Saya juga tak ambil pusing andaikata guru memberi nilai jelek untuk penampilan saya. Bagi saya, sudah cukuplah bahwa saya telah menuntaskan misi saya untuk menunjukkan: halooo, saya ini BUDDHIS, lho! Ini, nih, lagu dari agama saya. Dan setelah lama berselang, setelah bertahun-tahun kemudian akhirnya baru saya tahu mengapa teman-teman saya terpana saat saya menyanyikan lagu "Lord Buddha": saat bertemu dengan saya, seorang teman sekelas bercerita kepada saya bahwa dia ingat ketika masih duduk di bangku kelas 6 SD dulu saya pernah menyanyikan sebuah lagu yang, menurutnya, satu bagiannya terdengar seperti mantra...bikin merinding! Hahaha.....
Kita Buddhis memang minoritas di negara ini, bahkan di dunia pun jumlah kita kalah dari penganut agama lain. Tapi sekarang saya tak lagi minder, saya justru melihat status minoritas itu sebagai tanda bahwa para Buddhis adalah orang-orang "terpilih". Karena Buddhisme itu unik sendiri dan keunikannya itu tak memberi tempat bagi hasrat-hasrat primitif manusia yang oleh ajaran-ajaran lain---sedikit banyak---masih  diberi tempat, maka hanya orang-orang "terpilih" yang mampu dan mau mengikuti jalan-Nya. Karenanya, mudah dipahami mengapa dulu pada awalnya Buddha tak berencana mengajarkan Dhamma yang telah Beliau temukan (kembali). Dhamma ini hanya akan dimengerti dan diterima oleh mereka yang bijak ("hanya sedikit debu di matanya"), oleh orang-orang yang "terpilih", dan apa pun yang bijak atau "terpilih" selalu menjadi minoritas di tengah-tengah dunia mana pun.
Itulah sebabnya kini saya bangga sebagai Buddhis.
2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H