Lord Buddha...
Bhagavato, arahato, sammasambuddhasa.
Ketika itu, bahkan saya pun sebagai Buddhis dan penyanyinya tak memahami seluruh makna pada lirik lagu tersebut, khususnya bagian yang berasal dari bahasa Pali. Tapi saya tetap maju tak gentar, dan saya tak tahu apa yang menyebabkan saya begitu percaya diri dan bersemangat menyanyikan sebuah lagu dari sebuah agama minoritas, di sebuah sekolah Kristen yang murid-muridnya bahkan tak tahu apa atau siapa Buddha itu. Saya hanya ingat satu hal: saat itu saya ingin sekali menunjukkan identitas saya sebagai Buddhis, agar tidak kalah dengan teman-teman saya yang Kristen, Hindu atau Muslim.
Maka, seisi kelas terpana!
Saya tak peduli andaikata mereka terpana karena tak menyangka betapa sumbangnya suara saya. Saya juga tak ambil pusing andaikata guru memberi nilai jelek untuk penampilan saya. Bagi saya, sudah cukuplah bahwa saya telah menuntaskan misi saya untuk menunjukkan: halooo, saya ini BUDDHIS, lho! Ini, nih, lagu dari agama saya. Dan setelah lama berselang, setelah bertahun-tahun kemudian akhirnya baru saya tahu mengapa teman-teman saya terpana saat saya menyanyikan lagu "Lord Buddha": saat bertemu dengan saya, seorang teman sekelas bercerita kepada saya bahwa dia ingat ketika masih duduk di bangku kelas 6 SD dulu saya pernah menyanyikan sebuah lagu yang, menurutnya, satu bagiannya terdengar seperti mantra...bikin merinding! Hahaha.....
Kita Buddhis memang minoritas di negara ini, bahkan di dunia pun jumlah kita kalah dari penganut agama lain. Tapi sekarang saya tak lagi minder, saya justru melihat status minoritas itu sebagai tanda bahwa para Buddhis adalah orang-orang "terpilih". Karena Buddhisme itu unik sendiri dan keunikannya itu tak memberi tempat bagi hasrat-hasrat primitif manusia yang oleh ajaran-ajaran lain---sedikit banyak---masih  diberi tempat, maka hanya orang-orang "terpilih" yang mampu dan mau mengikuti jalan-Nya. Karenanya, mudah dipahami mengapa dulu pada awalnya Buddha tak berencana mengajarkan Dhamma yang telah Beliau temukan (kembali). Dhamma ini hanya akan dimengerti dan diterima oleh mereka yang bijak ("hanya sedikit debu di matanya"), oleh orang-orang yang "terpilih", dan apa pun yang bijak atau "terpilih" selalu menjadi minoritas di tengah-tengah dunia mana pun.
Itulah sebabnya kini saya bangga sebagai Buddhis.
2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H