Beberapa waktu yang lalu, saya berkenalan dengan seseorang melalui aplikasi layanan pencarian sosial berbasis lokasi yang memfasilitasi komunikasi antara pengguna untuk mengobrol.Â
Hubungan pertemanan kami yang singkat awalnya terasa asyik, namun semakin lama, tampaknya ada yang mengganjal. Ia semakin mengorek masalah status sosial, seperti latar belakang pendidikan dan profesi pekerjaan.Â
"Sekarang kamu sudah kerja? Di bagian apa? Kamu bahkan belum lulus kuliah," kurang lebih seperti ini pertanyaan yang ia lontarkan. Harus saya akui bahwa saya sangat geram, merasa tertampar dan merasa direndahkan dari segi pendidikan saya yang belum lulus kuliah.Â
Apa serendah itukah lulusan SMA di mata kalian wahai yang sudah memiliki gelar sarjana?Â
Bagi saya, tidak masalah jika ingin saling mengetahui atau bahkan mengorek kepribadian satu sama lain. Tapi, adakah cara yang lebih etis dalam berkomunikasi dengan satu sama lain apalagi menyangkut pribadi maupun status sosial seseorang?Â
Atau, apakah dunia ini hanya memberi ruang untuk orang-orang yang berpendidikan tinggi saja?Â
Apakah dunia ini mengharuskan setiap orang dari semua kalangan untuk memaksakan diri memiliki predikat berpendidikan tinggi?Â
Ah, saya jadi teringat dengan salah satu motivator andalan saya dan Ayah saya, kami dulu sering mendengar ceramah komersialnya lewat siaran radio Smart FM sekitar 8 tahun yang lalu.Â
Namanya Andrie Wongso, motivator kondang yang sudah menyabet penghargaan The Best Motivator Indonesia versi Kompas. Ia terlahir dari keluarga miskin, dan ia terpaksa berhenti sekolah saat kelas enam SD karena sekolahnya ditutup. Gelar akademisnya pun cuma SDTT alias Sekolah Dasar Tidak Tamat.Â
Namun apakah pendidikannya mempengaruhi masa depannya? Tentu tidak. Pilihannya untuk merantau ke Jakarta, bekerja sebagai salesman sabun hingga pelayan toko dengan kecakapan dan mudah bergaul membawanya kepada kesuksesan sebagai motivator dan pengusaha sukses di Indonesia.Â