Tak terasa, seminggu lagi kita akan meninggalkan bulan Oktober yang belakangan ini penuh dengan isu kesehatan mental. Dimulai sejak munculnya Film Joker yang walaupun fiksi namun sangat kontroversial, peringatan hari kesehatan mental yang jatuh pada tanggal 10 Oktober 2019 dan ditutup dengan fakta menyedihkan mengenai kabar kematian Sulli eks f(x) akibat depresi karena secara mental ia tak sanggup lagi menghadapi tekanan dari netizen.
Bulan Oktober tahun ini mungkin akan meninggalkan banyak hal positif yang bisa dipetik. Belakangan ini, saya secara pribadi juga mengalami sedikit depresi akibat banyaknya masalah serta tekanan yang menerpa dari segala aspek kehidupan, entah itu keluarga, pendidikan, pekerjaan, pertemanan, hingga percintaan.
Depresi biasanya ditandai dengan perubahan perasaan menjadi lebih sedih, murung, putus asa, tidak semangat, kesepian, tidak fokus, produktivitas menurun dan mulai menarik diri dari lingkungan. Perasaan ini bukan hanya sesaat, melainkan bisa berlangsung setiap hari dalam waktu setidaknya dua minggu.
Di satu sisi, saya merasa bahwa ini adalah masa transisi dari remaja ke dewasa, dan mungkin setiap orang akan mengalami hal ini. Namun tetap saja, hal ini sangat mengganggu pikiran dan berdampak terhadap aktivitas sehari-hari.
Hingga tiba pada satu titik, saya mencoba meluapkan segala emosi dengan cara menangis ke seseorang yang bisa saya percaya. Menangis bukan berarti menunjukkan kelemahan, saya hanya ingin berbagi mengenai apa yang saya rasakan agar tidak menyiksa diri sendiri.
Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk meluapkan emosinya, bukan? Mungkin ada yang dengan cara melukis, memasak, olahraga dan lain sebagainya. Berbeda dengan saya, saya lebih memilih untuk menangis, juga menulis.
Setelah menangis, saya kembali bangkit, belajar bersyukur dan menerima diri saya apa adanya. Saya diajarkan bahwa,
"Kamu boleh menangis dan mengeluh, tapi porsi bersyukur harus lebih besar daripada porsi mengeluh." - Mas Bagas
Semua orang memang berharap punya kesempurnaan dari segala aspek kehidupan. Keluarga yang harmonis, orang tua yang sempurna, pasangan yang selalu ada dan tidak mendua, teman-teman yang mau menerima kita apa adanya, karir yang sukses dan tak pernah gagal, dan lain sebagainya.
Kenyataannya, hidup seringkali tidak seindah apa yang kita harapkan. Ada banyak hal yang bisa mengecewakan kita dalam hubungan dengan orang terdekat, kesalahan yang pernah kita buat, maupun keputusan yang kita harap bisa kita ubah. Bahkan mungkin kita masih tenggelam dalam penyesalan di masa lalu, atau membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain.
Salah satu hal yang mempengaruhi kesehatan jiwa kita adalah apakah kita bisa menerima hidup kita apa adanya atau tidak, karena arah kehidupan kita dipengaruhi oleh bagaimana kita merespon atau bereaksi. Cara kita merespon atau bereaksi seringkali ditentukan dari emosi atau perasaan kita terhadap kejadian tertentu. Artinya, kesehatan kita secara jiwa penting dalam setiap pengambilan keputusan.
Ketika kita merasa lelah secara fisik dan mental karena begitu banyak ujian dan cobaan yang datang secara bertubi-tubi, kembalilah bersyukur dan menilik kebelakangan mengenai perjalanan panjang yang sudah kita tempuh hingga sampai pada titik ini. Lalu melihat ke bawah, apakah orang-orang di luar sana sudah lebih beruntung daripada kita saat ini?
Mari kita menyongsong hari demi hari, bulan demi bulan, serta tahun demi tahun kedepan dengan pembelajaran berarti di bulan ini. Jangan tenggelam dalam ketakutan, kekhawatiran, ataupun penyesalan di masa lalu. Milikilah keberanian untuk menerima masa lalu dan percaya bahwa masa depan kita menunggu dengan akhir yang indah. Berhenti membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain karena setiap manusia punya porsi berkatnya masing-masing.
Jakarta, 2019.
Christie Stephanie Kalangie
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H