Tensi politik di daerah semakin menghangat, setelah tahapan pendaftaran pasangan calon telah berlalu, namun ada riak-riak kecil tetapi sangat membawa pengaruh besar dalam konstalasi politik di daerah yakni dua keputusan mengejutkan yang keluar menjelang batas waktu tahapan pendaftaran pasangan calon kepala daerah.
Yang pertama pengunduran diri Airlangga Hartanto sebagai ketua umum Golkar. Sebagai partai besar Golkar tentu punya posisi yang menggiurkan untuk diperebutkan sebagai "pintu" dalam pencalonan pasangan calon kepala daerah.
Persoalan kemudian timbul dalam hal Pilkada adalah beberapa B1 KWK yang telah dikeluarkan Golkar dibawah Airlangga Hartanto dianulir oleh kepengurusan baru Golkar dibawah Bahlil Lahadalia dan memberikannya kepada pasangan calon lain.
Yang kedua tentu saja keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No.60/PUU-XXII/2024 yang mengejutkan banyak pihak dengan mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah di Pilkada Serentak 2024.
Sejatinya jika melihat dari semangat pengajuan judial review terkait ketentuan ambang batas pencalonan calon kepala daerah adalah untuk lebih memberikan kesempatan yang sama kepada partai "kecil" atau partai non seat agar dapat mencalonkan paslonnya dan lebih memperkecil peluang partai besar mendominasi.
Namun, pada akhirnya keputusan tersebut justru tetap lebih menguntungkan partai "besar" yang perolehan kursinya tentu juga besar yang untuk mengusung paslon bisa saja sendiri alias tanpa koalisi, karena jika untuk memenuhi ambang batas 10, 8,5, 7,5 atau 6,5 % sesuai daerahnya bagi beberapa partai besar bukan hal yang sulit.
Nah, hal ini sangat terlihat jelas di Kota saya di Kendari.
Sebelum kedua momentum sebagaimana yang disebutkan di atas, prediksi logis adalah maksimal tiga pasangan calon yang akan bertarung dalam pemilihan Walikota Kendari.
Saat itu, ada lebih dari lima orang yang berjuang mendapatkan pintu partai, dari jumlah kursi DPRD kota Kendari yang 35 orang anggota, berarti dibutuhkan minimal 7 kursi untuk dapat mengusung paslon (20% kursi). Dan untuk syarat 25 % suara partai dibutuhkan Koalisi partai dengan jumlah suara 25% dari 193.643 suara sah pileg 2024, atau sebanyak 48.441 suara sah partai.
Dan dari komposisi saat itu Koalisi partai PKS (6 kursi) dan Demokrat (4 kursi) sudah punya paslon yakni Giona - Subhan. Kemudian Koalisi partai Nasdem (5), PAN (4) dan Golkar (6) sudah memberikan B1 KWK kepada pasangan Siska - Sudirman. Kedua pasangan calon ini sudah aman.
Tersisa hanya 10 kursi yang untuk saat itu berarti hanya akan ada satu paslon saja yang akan lolos dari tiga pasangan yang saat itu belum mencukupi jumlah kursi maupun suara partai. Ada pasangan Razak - Afdhal dengan Perindo (2 kursi), Yudhi - Nirna Gerindra (2) dan Aksan - Andi Sulolipu PPP (1).
Tiga pasangan tersisa ini memperebutkan pintu PDIP yang memiliki 5 kursi, dimana pasangan Aksan -Andi Sulolipu yang terkecil peluangnya, karena selain harus merebut PDI-P, mereka juga harus bisa menarik setidaknya satu dari dua partai tersisa.
Saat itu kalkulasi dan hitung-hitungan dari analis politik baik yang ahlinya maupun analis dadakan begitu seru dan sengit siapa yang akan lolos dari kandidat tersisa yang berpeluang.
Namun, empat hari sebelum tahapan pendaftaran calon dimulai, partai PDI-P dikabarkan telah memberikan rekomendasi B1 KWK kepada pasangan Yudhi - Nirna, yang berarti mereka resmi mendapatkan tiket terakhir untuk maju ke Pilwali kota Kendari dengan dukungan partai PDI-P (5) + Gerindra (2).
Dengan demikian, dua pasangan terakhir dipastikan gagal maju karena gagal mendapatkan partai pengusung. Ini tentu sangat mengecewakan bagi dua kandidat yang gagal, apalagi kedua pasangan calon ini boleh dibilang calon "kuat" dan menempati urutan teratas dalam poling-poling dan survei-survei yang dilakukan.
Namun, pergantian pimpinan di partai Golkar tentu membawa angin segar bagi pasangan Aksan - Andi Sulolipu. Diketahui bahwa Aksan adalah kader Golkar dan merupakan calon terpilih DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, sementara pintu Golkar justru diberikan kepada pasangan non kader.
Begitu juga dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi No.60/PUU-XXII/2024, peluang untuk lolos kembali terbuka. Kota Kendari dengan jumlah DPT di bawah 250.000 mensyaratkan 10% suara sah, itu berarti 19.364 suara dari 193.643 suara sah pada pilcaleg beberapa waktu lalu.
Jika tidak ada perpindahan dukungan partai, maka masih ada satu paslon yang bisa lolos. Yakni melalui Koalisi tiga parpol untuk mencukupi ambang batas pencalonan 19% suara sah.
Peluang itu ada pada gabungan partai Perindo yang memiliki perolehan suara 9547 (4, 93%) + partai PPP dengan perolehan suara 7397 (3, 82%) dan Partai PKB yang sekalipun non seat tapi memiliki 4847 suara (2, 50%). Gabungan ketiga partai ini mempunyai 21791 suara atau 11,25% mencukupi untuk mengusung calon.
Selanjutnya, kejutan yang sudah diprediksi pun terjadi. Sehari sebelum tanggal pendaftaran dimulai, Golkar mengalihkan dukungannya kepada kader partainya yakni pasangan Aksan - Andi Sulolipu yang otomatis bisa mencalonkan dengan total 7 kursi (6 Golkar, 1 PPP).
Dan kejutan pun tak berhenti sampai disitu, pasangan Razak - Andi Sulolipu yang dengan bergabungnya PPP bersama Golkar berarti kehilangan kesempatan terakhirnya karena tak ada lagi partai dan suara yang bisa mencukupi ambang batas pencalonan.
Tiba-tiba tanpa dinyana di injured time tanggal 26 Agustus, partai PAN juga menarik dukungannya dari pasangan Siska -Sudirman dan memberikan B1 KWK kepada Razak - Afdhal.
Meski secara partai hanya memiliki enam kursi (PAN 4, Perindo 2) tetapi berkat putusan MK mereka bisa lolos dengan jumlah suara PAN 21782 (11, 25%) dan Perindo 9547 (4.93%) total 31329 suara (16, 18%)
Dan pasangan Siska - Sudirman yang tergerus dukungan partainya menyusul hengkangnya Golkar dan PAN, dan hanya menyisakan partai Nasdem sendiri sebagai pengusung, meski dalam hitungan kursi tidak mencukupi (5 kursi) tetapi beruntung Nasdem punya 27659 (14.28%) suara sah, yang membuat mereka tetap lolos.
Dinamika yang cukup mengejutkan dan penuh drama jelang tahapan pendaftaran ini, mengubah konstelasi politik di Kota Kendari persaingan panas dan ketat dari semua kandidat yang memiliki kekuatan yang relatif berimbang.
Sudah bisa diramalkan, bahwa perolehan suara akan bersaing ketat antara kelima calon di Pilwalkot Kota Kendari, bahwa perolehan suara punya potensi besar, maksimal hanya di kisaran 30-an persen.
Nah, apakah ini menguntungkan bagi daerah? Atau malah kerugian bagi daerah, sebab legitimasi atas pemimpin terpilih hanya datang dari 30-an % warga masyarakat, yang artinya lebih banyak yang tidak menginginkannya menjadi Walikota dan Wakil Walikota.
Pengalaman di pemilihan sebelumnya yang diikuti oleh tiga paslon, pemenang pilwalkot hanya memperoleh dukungan 38%, sementara yang lainnya memperoleh 34% dan 28%. Nah, apalagi kali ini dengan lima calon tentu perolehan suaranya lebih ketat lagi.
Kondisi demikian ini seharusnya tidak boleh, harus ada pemenang mutlak atau di atas 50%, harus ada putaran kedua. Aturan yang memudahkan atau meringankan syarat pencalonan itu memang bagus, akan tetapi presentase dukungan mayoritas masyarakat tidak boleh dinafikkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H