Perhelatan pemilihan umum (Pemilu) sebentar lagi akan berlangsung, seyogyanya Pemilu bukan hanya sekedar pesta demokrasi yang menghabiskan begitu banyak anggaran. Tentunya harapan semua elemen bangsa, bahwa Pemilu, baik itu untuk tingkat pusat maupun daerah adalah merupakan jalan masuk menuju kesejahteraan rakyat, kekuatan dan kemandirian bangsa dan negara.
Kita telah melalui begitu banyak Pemilu, tetapi harapan-harapan yang ingin kita capai melalui pelaksanaan pemilihan umum sepertinya masih jauh dari apa yang kita harapkan. Jujur harus kita akui, bahwa wakil-wakil rakyat yang terpilih, baik yang di pusat maupun yang di daerah, yang seharusnya berjuang atas nama rakyat tetapi mereka justru terjebak dalam kepentingan politik partainya, koalisinya dan bahkan ada yang demi kepentingan pribadinya.
Salah satu yang mungkin menjadi problema dalam perpolitikan kita sehingga keberpihakan para wakil rakyat kepada kepentingan rakyat menjadi terdegradasi adalah politik biaya tinggi, dimana termasuk didalamnya adalah money politik, mulai dari bagi-bagi "bantuan", penggantian biaya transportasi, hingga serangan fajar.
Tidak bisa kita pungkiri, keterlibatan "uang" dalam kontestasi politik kita begitu kental, politik transaksional seperti telah menjadi kelaziman. Meski kita sadari bahwa money politic itu adalah racun demokrasi dan itu menjadi hal yang sangat terlarang, akan tetapi hal ini meski nyata ada namun tidak pernah bisa dihentikan.
Ketika proses politik itu membutuhkan biaya tinggi, sudah barang tentu disitu ada hitung-hitungan untung rugi. Dalam sistem pemilihan dengan suara terbanyak masalah kualitas dan kapasitas Caleg tidak lagi menentukan, dan dalam kenyataan yang kita hadapi di masyarakat perolehan suara itu bisa ditransaksikan, artinya ada uang, ada suara.
Kita tentu berharap, semoga di Pemilu 2024 ini politik transaksional ini sudah tidak terjadi lagi, meski hati kecil kita pesimis bahwa itu dapat terwujud. Dengan Pemilu yang bersih, jujur dan adil, kita bisa berharap banyak, bahwa tidak akan ada lagi anggota dewan atau pemimpin terpilih yang terjerat kasus korupsi, tidak ada lagi kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dll.
Namun, harapan sepertinya akan tinggal harapan. Dari pengalaman saya sebagai ketua RT di tempat saya tinggal, para Caleg dan tim suksesnya sudah bertebaran mencari peluang untuk mendapatkan suara di masyarakat dan cara yang paling mudah untuk menggaet suara yang signifikan tentu ada "janji" yang ditawarkan, tetapi masyarakat sekarang juga sudah "pintar" Kalau hanya sekedar janji yang hanya menjadi pemanis bibir, mereka tak mau tertipu dengan janji tetapi harus dengan wujud nyata, apa wujud nyata transaksi suara itu tentu sudah bisa kita terjemahkan sendiri.
Pengalaman di tempat saya, sudah menjadi rahasia umum, berapa "harga" satu suara untuk anggota DPRD kota, propinsi, pusat dan DPD. Untuk DPRD kota dengan jumlah 7-8 kursi per dapil dengan bilangan pembagi pemilih (BPP) 4000an "harga" 1 suara pada Pemilu 2019 adalah kisaran Rp150.000-300.000. Pemilu kali ini bahkan ada yang berani menawarkan hingga Rp500.000.
Untuk Caleg DPRD Propinsi tawaran ada di kisaran Rp50.000-100.000, sementara untuk DPR pusat ada di kisaran Rp25.000, sementara untuk anggota DPD walaupun juga ada serangan tetapi tidak signifikan terjadi, hanya sekedar pengganti transportasi bagi masyarakat yang hadir saat sang calon melakukan sosialisasi.
Dengan nominal serangan fajar sebesar itu bisa dibayangkan berapa besar dana yang mereka butuhkan untuk memenangkan kontestasi, apalagi dalam kenyataannya bahwa meski mereka hanya butuh suara separuh dari BPP untuk lolos, tetapi mereka harus menyiapkan "amplop" 3-5 kali lipat, karena tingkat keberhasilan serangan fajar itu hanya sekitar 20-40%, saking ketatnya persaingan perebutan suara yang terjadi, ada yang satu pemilih bisa mendapatkan 2-3 atau bahkan lebih amplop serangan fajar.
Satu persoalan yang juga menjadikan praktek money politic terus terjadi adalah keinginan para caleg untuk "mengalahkan" calon incumbent, sebab diketahui bahwa investasi sosial dan investasi politik incumbent sudah tertanam di masyarakat, apalagi incumbent yang telah 2 atau lebih periode menjabat.
Fenomena seperti ini tentu tidak hanya terjadi di kota saya tetapi di daerah-daerah lainnya juga mungkin saja terjadi walau dengan jumlah nominal serangan yang berbeda bergantung pada besaran jumlah suara yang dibutuhkan.
Pertanyaannya sekarang, apa dampak dari politik transaksional yang terjadi tersebut? Bagi caleg yang gagal atau kalah mungkin hanya bisa menyesali kegagalannya atau mungkin ada yang stress dan memerlukan pertolongan.
Yang menjadi hal serius tentu pada caleg yang terpilih, meski diketahui bahwa gaji dan tunjangan serta fasilitas bagi anggota dewan cukup memadai, tetapi akumulasi biaya tinggi yang mereka keluarkan pada saat pencalonan tentu sangat tidak berbanding dengan penghasilan yang bisa mereka dapatkan.
Nah, kalau kita berbicara untung rugi, tentu pengeluaran yang telah dikeluarkan harus dikembalikan. Nah, pengembalian modal inilah yang membuat kebijakan-kebijakan yang diambil mencederai kepentingan rakyat. Salah satu contoh yang bisa kita soroti adalah program yang dulu disebut dana aspirasi  sekarang disebut dengan program pokok pikiran (Pokir) anggota dewan.
Program pokir ini adalah proyek pembangunan yang berasal dari anggota dewan, jika biasanya perencanaan pembangunan itu berasal dari penjaringan aspirasi masyarakat melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dari tingkat bawah (desa/ kelurahan) secara berjenjang hingga ke tingkat pusat, tetapi program pokir ini berasal dari usulan anggota dewan berdasarkan hasil reses mereka di konstituennya, tetapi lucunya terkadang proyeknya di tempatkan di luar daerah pemilihannya.
Meski mungkin, program pokir ini dimungkinkan berdasarkan aturan, akan tetapi sama seperti program dana aspirasi dulu yang pernah membuat anggota dewan di beberapa daerah terkena masalah hukum. Sebenarnya, program pokir ini juga sudah masuk pantauan KPK, melalui direktorat Koordinasi supervisi dan pencegahan (Korsupgah) mulai tahun anggaran 2023 ini beberapa program pokir yang masuk dalam program pokok pikiran elektronik (e-pokir) dipantau oleh KPK.
Dalam pernyataannya yang disampaikan pada saat pertemuan awal monitoring/evaluasi pelaksanaan program pokir beberapa hari yang lalu, pihak KPK mengatakan modus pelaksanaan proyek pokir ini. Pertama dikerjakan sendiri/atau keluarga si anggota dewan, kemudian diberikan kepada tim suksesnya atau "dijual" dengan fee 15-20%, artinya disini praktek umum yang terjadi pada program pokir ini sudah diketahui oleh KPK.
Meski menurut hemat saya, bahwa pihak KPK belum melangkah pada tahap penindakan, saat ini mungkin baru berfokus pada supervisi dan pencegahan. Yang menjadi fokus KPK dalam pelaksanaan kegiatan pokir ini adalah menghindari bahwa pekerjaan tersebut dikerjakan sendiri atau oleh keluarga, tim sukses atau dijual dan menerima komitmen fee.
Sebagaimana yang umum terjadi bahwa program pokir itu sebagian besar adalah paket pekerjaan yang direncanakan dengan nilai dibawah Rp200.juta, yang mana dengan nilai proyek sebesar itu pengadaannya hanya dilakukan dengan metode penunjukan langsung (PL). Hal ini memang sengaja dipilih atau dilakukan untuk menghindari proses tender atau lelang dalam pengadaannya (paket pekerjaan dengan nilai di atas Rp200 juta)
Nah, oleh KPK pekerjaan-pekerjaan sejenis apalagi dalam satu lingkup wilayah yang sama atau berdekatan harus dilakukan konsolidasi, artinya disatukan yang secara otomatis nilai pekerjaannya membuat pengadaannya harus dilakukan melalui proses tender atau lelang. Ini mungkin salah satu cara yang cukup "tepat" untuk pencegahan, meski masih dalam tanda kutip. Potensi penyimpangan selalu saja terbuka apalagi oleh mereka yang memang bisa dikatakan sebagai "pemain".
Satu lagi terkait program dana pokir ini, berdasarkan pengalaman dalam mengawasi pekerjaan tersebut, banyak saya dapati bahwa ternyata lokasi pekerjaan berada di lahan atau properti milik sang anggota dewan itu sendiri, atau di lokasi tim suksesnya, dan masalah-masalah lainnya sebagaimana yang disinyalir oleh pihak KPK memang begitulah adanya.
Dua hari yang lalu saya ditelpon oleh seorang kenalan, yang menanyakan apakah saya sudah punya dukungan caleg DPRD Propinsi, dia bilang dia punya calon yang ingin menawarkan bantuan memasukkan proyek (pokir) sumur bor. Ini salah satu gambaran bahwa program pokir itu lebih banyak kepentingan bagi anggota dewan itu sendiri, teman yang menghubungi saya bukan hanya sebagai tim sukses tetapi sekaligus kontraktor yang akan mengerjakan pekerjaan yang ditawarkan tersebut.
Saya hanya menjawab bahwa sebagai ASN saya tidak bisa terlibat dalam hal politik. Dari Pemilu ke Pemilu hal seperti ini sudah sering saya hadapi, baik dalam kapasitas saya sebagai ketua RT maupun sebagai ASN. Program pokir bermasalah bukan hanya terjadi di lingkup Propinsi dan Kota/Kabupaten, tetapi juga untuk pokir DPR Pusat.
Ceritanya, di daerah irigasi (DI) yang menjadi lingkup kerja saya, tanpa saya ketahui masuk program kegiatan pembangunan jaringan tersier dengan dana dari pusat (pokir DPR) secara aturan pekerjaan ini adalah swakelola tipe 4 yakni pekerjaan yang dikerjakan dalam  hal ini oleh masyarakat yang tergabung dalam kelompok P3A. Tetapi dalam kenyataannya pekerjaan tersebut dilakukan oleh kelompok P3A "siluman", yaitu kelompok P3A yang memiliki akta notaris, punya AD/ART, dan alamat ada di lokasi, tetapi pengurusnya bukan warga setempat dan tidak memiliki lahan di lokasi tersebut. Kenapa ini bisa terjadi, tentu kita sudah bisa menebak dimana pangkalnya.
Selama sistem politik kita belum bisa terlepas dari politik biaya tinggi, maka selama itu pula kita hanya bisa menjadi obyek sekaligus pelengkap penderita dalam permainan politik di negeri yang seharusnya gemah ripah loh jinawi ini. Dan bagaimana menjawab ini semua, marilah kita gunakan hak pilih kita, memilih berdasarkan hati nurani, pilih caleg dengan rekam jejak terbaik dan lawan money politic!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H