Nah, oleh KPK pekerjaan-pekerjaan sejenis apalagi dalam satu lingkup wilayah yang sama atau berdekatan harus dilakukan konsolidasi, artinya disatukan yang secara otomatis nilai pekerjaannya membuat pengadaannya harus dilakukan melalui proses tender atau lelang. Ini mungkin salah satu cara yang cukup "tepat" untuk pencegahan, meski masih dalam tanda kutip. Potensi penyimpangan selalu saja terbuka apalagi oleh mereka yang memang bisa dikatakan sebagai "pemain".
Satu lagi terkait program dana pokir ini, berdasarkan pengalaman dalam mengawasi pekerjaan tersebut, banyak saya dapati bahwa ternyata lokasi pekerjaan berada di lahan atau properti milik sang anggota dewan itu sendiri, atau di lokasi tim suksesnya, dan masalah-masalah lainnya sebagaimana yang disinyalir oleh pihak KPK memang begitulah adanya.
Dua hari yang lalu saya ditelpon oleh seorang kenalan, yang menanyakan apakah saya sudah punya dukungan caleg DPRD Propinsi, dia bilang dia punya calon yang ingin menawarkan bantuan memasukkan proyek (pokir) sumur bor. Ini salah satu gambaran bahwa program pokir itu lebih banyak kepentingan bagi anggota dewan itu sendiri, teman yang menghubungi saya bukan hanya sebagai tim sukses tetapi sekaligus kontraktor yang akan mengerjakan pekerjaan yang ditawarkan tersebut.
Saya hanya menjawab bahwa sebagai ASN saya tidak bisa terlibat dalam hal politik. Dari Pemilu ke Pemilu hal seperti ini sudah sering saya hadapi, baik dalam kapasitas saya sebagai ketua RT maupun sebagai ASN. Program pokir bermasalah bukan hanya terjadi di lingkup Propinsi dan Kota/Kabupaten, tetapi juga untuk pokir DPR Pusat.
Ceritanya, di daerah irigasi (DI) yang menjadi lingkup kerja saya, tanpa saya ketahui masuk program kegiatan pembangunan jaringan tersier dengan dana dari pusat (pokir DPR) secara aturan pekerjaan ini adalah swakelola tipe 4 yakni pekerjaan yang dikerjakan dalam  hal ini oleh masyarakat yang tergabung dalam kelompok P3A. Tetapi dalam kenyataannya pekerjaan tersebut dilakukan oleh kelompok P3A "siluman", yaitu kelompok P3A yang memiliki akta notaris, punya AD/ART, dan alamat ada di lokasi, tetapi pengurusnya bukan warga setempat dan tidak memiliki lahan di lokasi tersebut. Kenapa ini bisa terjadi, tentu kita sudah bisa menebak dimana pangkalnya.
Selama sistem politik kita belum bisa terlepas dari politik biaya tinggi, maka selama itu pula kita hanya bisa menjadi obyek sekaligus pelengkap penderita dalam permainan politik di negeri yang seharusnya gemah ripah loh jinawi ini. Dan bagaimana menjawab ini semua, marilah kita gunakan hak pilih kita, memilih berdasarkan hati nurani, pilih caleg dengan rekam jejak terbaik dan lawan money politic!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H