Nah, sebagai anak-anak saya kan heran, setelah pemungutan suara yang prosesnya begitu cepat selesai jika dibandingkan dengan Pemilu sekarang ini, saya kemudian bertanya kepada "Om" petugas tadi, kenapa PPP disebut Golkar dan suara PDI dibilang batal?. Dengan santai dan sambil tersenyum si Om menjawab, kalau ada suara PPP atau PDI, bapak-bapak dan ibu-ibu kita yang pegawai ini akan repot.
Dari situ saya paham rupanya mereka berbuat curang bukan karena perintah langsung untuk berbuat curang, tetapi sebuah terjemahan dari "perintah memilih Golkar" Kalau misalnya ada satu saja suara selain Golkar, maka imbasnya semua pegawai yang memilih di TPS tersebut akan dicurigai sebagai "penghianat" dan itu tentu merepotkan dan menyusahkan mereka semua.
Pemilu berikutnya di tahun 1987, saya sudah mempunyai hak pilih, tetapi terus terang saya tidak menggunakan hak pilih saya. Saat itu saya sudah kuliah di Kota Malang, meski terlahir dari latar belakang keluarga besar yang 100 persen Golkar, pikiran kritis anak muda sudah merasuki jiwa, dan pilihan paling logis saat itu bagi saya adalah abstain.
Nah, berlanjut ke Pemilu-pemilu selanjutnya di masa order baru saya selalu memilih abstain. Sepanjang yang saya pahami, tiga partai peserta pemilu saat itu dengan sistem yang ada belum ada partai yang sesuai dengan aspirasi yang ingin saya salurkan. Terus terang sebagai orang yang terlahir dari keluarga besar Golkar, pilihan saya seharusnya Golkar, dari keluarga besar saya, saya paham kredibilitas mereka, semangat membangun memang untuk negeri dan bangsa, jalannya pemerintahan dan pembangunan saya akui cukup stabil, tetapi pengalaman dominasi Golkar yang sangat dipaksakan membuat saya mengambil jarak dari memilihnya, akan tetapi juga tak memiliki keinginan mendekati kontestan lainnya.
Dari pengalaman Pemilu di masa orde baru, kesakralan Pemilu menjadi senjata penguasa saat itu untuk mempertahankan supremasi kekuasaannya, yang paling krusial saat itu adalah di fase minggu tenang, orang-orang dilarang berkumpul lebih dari lima orang, saking sakralnya minggu tenang itu, jika disaat minggu tenang itu anda terlibat kasus hukum, anda akan ditahan tanpa proses hukum sampai saat minggu tenang berakhir.
Ketika reformasi bergulir, Pemilu 1999 belum membuat saya move on untuk menggunakan hak pilih, satu-satunya alasan saya abstain adalah melihat bagaimana para elit-elit politik penggagas reformasi menjatuhkan Habibie dengan menolak laporan pertanggungjawaban beliau, dimana saya melihat penolakan tersebut diambil bukan karena Habibie melakukan kesalahan tetapi diambil karena Habibie ingin digulingkan.
Pengalaman mengikuti Pemilu secara aktif baru saya mulai di Pemilu 2004, terus terang saya memilih saat itu karena melihat calon legislatifnya bukan partainya, meski saat itu masih sistem proporsional tertutup tetapi calon-calon legislatifnya sedikit lebih terbuka.Â
Reformasi membawa perubahan besar pada sistem demokrasi kita, akan tetapi ternyata belum bisa menjawab kebutuhan demokrasi ideal yang negeri ini butuhkan, banyaknya partai peserta Pemilu menurut saya justru membawa kita pada demokrasi primitif, kepentingan politik bangsa kini bukan lagi berdasarkan kebutuhan bangsa akan tetapi menjadi ambisi politik dan kekuasaan pemilik modal dan jaringan bisnis.Â
Sistem proporsional terbuka "mungkin" dipandang cukup ideal, akan tetapi dibalik itu sistem ini menyimpan duri dalam demokrasi kita. Betapa tidak, partai politik berebut menjaring calon legislatif yang potensial dalam arti kata punya modal politik (dana, popularitas dan basis massa) sementara itu modal integritas menjadi prioritas paling buncit apalagi jika sang calon minim modal politik di atas.Â
Sistem Pemilu kita bukan hanya diperparah oleh ambisi kekuasaan partai, tetapi juga oleh regulator dan pelaksana Pemilu yang sepertinya bisa disetir oleh kepentingan kelompok dan golongan tertentu, bisa kita bayangkan disaat proses Pemilu sementara berjalan pun, gugatan terhadap aturan kepemiluan masih ada yang dilayangkan dan diproses.Â
Demi ambisi, semua bisa dipoles, dikarbit dan dipaksakan dan disebut dengan atas nama demokrasi. Yang jadi jualan politik saat ini bukanlah visi misi partai, akan tetapi janji manis calon ketika terpilih akan memberi ini dan itu bla bla bla, dan maaf yang sudah masif adalah money politic yang sebenarnya nyata didepan mata tapi semua pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu.Â