Tidak hanya dalam sistem negara demokrasi modern, kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara apapun bentuknya baik itu berbentuk monarki, teokrasi, atau sistem komunis sekalipun, bahwa sesungguhnya kedaulatan tertinggi itu ada ditangan rakyat.Â
Arah dan bentuk pemerintahan pada akhirnya akan mewujud dalam satu konsensus dari suara rakyat. Di era modern sekarang ini bentuk dan arah negara itu adalah merupakan keinginan dari rakyat negara itu sendiri.
Bagaimana kuatnya pemerintahan monarki di Eropa misalnya, pada akhirnya kekuasaan mutlak kemonarkian Eropa tersebut akhirnya tumbang ditangan keinginan rakyat, begitu juga dengan beberapa kemonarkian di Asia dan Afrika.Â
Demikian pula keadaannya dengan sistem komunis, betapapun kuatnya kekuatan doktrin otoriter kekuasaan komunis di Uni Soviet, Jerman Timur dan beberapa negara Eropa lainnya, namun atas nama 'kedaulatan rakyat' akhirnya runtuh dan memilih bentuk pemerintahannya sendiri.
Sebagaimana yang kita ketahui, dalam perjalanan sejarah hampir semua perwujudan kedaulatan (suara) rakyat selalu diwarnai dengan perselisihan yang tajam bahkan hingga pertumpahan darah. Mulai dari era sistem feodal bahkan di sistem demokrasi yang modern pun perselisihan itu kerap saja timbul oleh karena adanya 'kepentingan'.
Suara rakyat hanya dapat mewujud menjadi bentuk kedaulatan jika dapat diterjemahkan dan ditransformasikan dalam kehidupan bernegara. Perwujudan tersebut tentu bukan berada ditangan person atau pimpinan tinggi rakyat, tetapi tentulah harus melalui sebuah general agreement atau kesepakatan bersama seluruh rakyat yang diwujudkan dalam bentuk aturan dasar berdiri dan berjalannya negara, yakni 'konstitusi'.
Maka dengan demikian, mengingat konsitusi merupakan kesepakatan bersama yang dibuat,dan diterima oleh seluruh rakyat yang merupakan pemegang kekuasaan  tertinggi, maka konstitusi pun merupakan supremasi hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara  (the supreme law of the land).Â
Dalam sistem negara modern saat ini, demokrasi dan konstitusi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena konstitusi bukan saja sebagai piranti hukum demokrasi tetapi konstitusi itu sendiri merupakan perwujudan dari demokrasi yang lahir dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat.
Di indonesia sendiri yang sejak kemerdekaannya telah melewati beberapa fase demokrasi, mulai dari demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila ala orde baru hingga demokrasi pancasila era reformasi. Perjalanan konstitusi sebagai pemegang supremasi hukum tertinggi telah melalui berbagai pasang surut.Â
Semoga dari dinamika pasang surut perjalanan konstitusi yang telah bangsa ini lewati dapat menjadikan konstitusi yang kita miliki adalah konstitusi yang kuat dan mengikat seluruh rakyat tanpa terkecuali (termasuk organisasi  negara  yang  dibentuk  oleh konstitusi itu sendiri).
Sebagaimana yang kita ketahui, dalam hal konstitusi bernegara ada tiga elemen penting yang saling mengikat agar dapat menjamin dijalankannya konstitusi negara secara adil, jujur dan konsekwen, agar jalannya pemerintahan yang demokratis sebagaimana yang kita inginkan dapat terwujud. Yang pertama adalah konstitusi itu sendiri, kemudian lembaga pengawal konstitusi dan yang terakhir dan tak kalah pentingnya adalah personal yang mempunyai kewenangan menyelenggarakannya.
Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), maka sudah tentu harus pula dibentuk sebuah lembaga atau mahkamah yang berfungsi sebagai 'the guardian' dan sekaligus 'the sole interpreter of the constitution' atau pengawal dan satu-satunya lembaga penafsir konstitusi. Sebagaimana di negara-negara demokrasi di dunia, Indonesiapun memiliki lembaga pengawal konstitusi itu yakni Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Mahkamah konstitusi Republik Indonesia merupakan sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan hasil Perubahan ketiga UUD 1945 dan kemudian diadopsikan ke dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah diadakan perubahan mendasar dalam ke-empat naskah. Perubahan pertama, yaitu Perubahan I Tahun 1999 sampai dengan Perubahan IV Tahun 2002. Dalam amandemen UUD 1945 tersebut, salah satu yang mendasar adalah bahwa tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang sebelum ini kedudukannya diemban oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Maka oleh sebab itu  untuk mengatasi kemungkinan persengketaan di antara sesama lembaga tinggi negara yang telah menjadi sederajat dan saling mengendalikan checks and balances maka perlu disediakan mekanisme dan lembaga yang berkewenangan melaksanakannya.Â
Dan dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka terbentuklah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi menangani suatu perkara di dalam ketatanegaraan, untuk memperkuat konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan keinginan rakyat serta cita-cita kemerdekaan dan demokrasi.
Mahkamah konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga ekstra yudisial dan kekuasaan lainnya untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara.Â
Keberadaan Mahkamah Konstitusi untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara. Mahkamah Konstitusi berada dalam kewenangan untuk menguji Undang-Undang, memutus sengketa lembaga negara, membubarkan partai politik, menilai pendapat DPR terkait pelanggaran yang dilakukan oleh presiden/wakil presiden terhadap Undang-undang dasar (impeachment), serta memutus perselisihan hasil pemilu (pilcaleg, pilpres dan pilkada).
Kewenangan ini tentu saja bukan kewenangan yang biasa, tetapi ini merupakan suatu kewenangan yang luar biasa, kewenangan yang berimplikasi pada keabsahan atas nama kenegaraan dan legitimasi kepercayaan rakyat kepada negara.Â
Dengan kewenangan palu hakim konstitusi yang maha dahsyat inilah, maka tentu akan timbul pertanyaan, lantas siapa yang akan menjadi pengawas terhadap pelaksanaan jalannya pengawalan konstitusi itu?. Yang dalam hal ini bukan pengawasan terhadap konstitusi dan lembaganya, namun terhadap hakim konstitusi yang bertugas dalam mengemban kewenangan yang maha besar tersebut.
Pada awalnya UU MK jilid pertama memberi rambu-rambu dan pagar dengan membentuk pengawas terhadap hakim konstitusi. Yang mana fungsi ini diamanatkan kepada Komisi Yudisial (KY) agar mengawasi hakim konstitusi dan hakim agung.Â
Dalam perjalanannya UU ini tidak berumur panjang. Sejumlah hakim agung mengajukan judicial review, dan peradilan judicial review terhadap diri sendiri akhirnya dikabulkan bahwa KY tak bisa menyemprit MK. Maka jadilah MK sebagai lembaga 'super body' yang menyimpan kekhawatiran menjadi tempat yang berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan.
Kita seharusnya bersepakat, bahwa dalam bernegara musuh utama dari demokrasi itu sendiri adalah ambisi kekuasaan. Ambisi kekuasaan ini tentu tidak berputar kuat di level akar rumput, tetapi ia muncul dari lingkaran kecil elit kekuasaan, partai politik, dan oligarki, dengan berbagai macam kepentingannya. Bisa jadi itu merupakan kepentingan ideologi, kepentingan politik bahkan kepentingan bisnis atau bisa jadi ketiganya saling berkaitan dalam simbiosis mutualisme.
Dengan kewenangan yang begitu besar dan boleh dikata luar biasa yang dimiliki oleh hakim Mahkamah Konstitusi, dimana mereka ibarat raja Arthur yang memegang pedang excalibur yang tak terkalahkan. Mahkamah Konstitusi yang menjadi satu-satunya lembaga penafsir konstitusi dan menjadi lembaga yang pertama dan terakhir dalam peradilan konstitusi, tentu kewenangan ini menjadi 'target' dari ambisi kekuasaan yang mencari jalan mulus bagi kepentingannya.
Dan salah satu jalan masuk dari 'racun' demokrasi ini adalah melalui jalan konstitusi yang mereka buat untuk menjadi payung demi mulusnya perjalanan ambisi kekuasaan yang ingin mereka capai. Selain itu juga, ambisi kekuasaan yang menjadi 'racun' bagi demokrasi dapat hadir melalui persekongkolan jahat dalam politik, baik dalam skala nasional maupun lokal. Bahwa kepentingan ambisi kekuasaan itu hanya bisa dilawan atau juga bisa diloloskan melalui Mahkamah Konstitusi.
Dengan kekuasaan yang 'super power' ini, Jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu jabatan yang persyaratannya diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945. Salah satu yang disyaratkan dalam UUD 1945, bagi seorang hakim konstitusi adalah "seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan". Dimana syarat negarawan ini bahkan tidak dipersyaratkan bagi presiden dan hakim agung yang juga diatur dalam UUD 1945, hal ini tentu berkaitan dengan kekhususan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Dua puluh tahun perjalanan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mencatatkan banyak sejarah, mulai dari catatan emas hingga riak-riak baik kecil maupun besar. UU MK pun telah dua kali di judicial review yang hasilnya semakin menguatkan posisi MK sampai saat ini. MK pun pernah diterpa badai dengan ditangkapnya ketua MK Akil Muchtar oleh KPK dan kemudian juga hakim konstitusi Patrialis Akbar yang ditangkap oleh KPK karena kasus suap dalam jabatannya sebagai hakim konstitusi di MK.
Demikian pula halnya dengan putusan-putusan perkara yang telah dihasilkan oleh MK, selain ada yang diterima dan diapreasiasi tentu ada pula perkara-perkara yang 'dipertanyakan', termasuk diantaranya bagaimana MK mengadili dirinya sendiri di dalam judicial review yang mereka ajukan sendiri dan adili sendiri.
Terlepas dari semua itu, kekuatan kuasa palu di tangan 9 orang hakim MK adalah harapan rakyat untuk mewujudkan cita-cita bangsa, cita-cita kemerdekaan dan cita-cita demokrasi. Harapan rakyat bahwa hakim-hakim konstitusi benar-benar seorang negarawan yang memiliki integritas, jauh dari kepentingan politik, dan tidak memiliki 'kedekatan' personal maupun kelembagaan dengan kekuasaan, jika itu semua bisa terwujud maka niscaya negara ini akan terhormat di mata rakyat dan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H