Dalam perjalanannya UU ini tidak berumur panjang. Sejumlah hakim agung mengajukan judicial review, dan peradilan judicial review terhadap diri sendiri akhirnya dikabulkan bahwa KY tak bisa menyemprit MK. Maka jadilah MK sebagai lembaga 'super body' yang menyimpan kekhawatiran menjadi tempat yang berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan.
Kita seharusnya bersepakat, bahwa dalam bernegara musuh utama dari demokrasi itu sendiri adalah ambisi kekuasaan. Ambisi kekuasaan ini tentu tidak berputar kuat di level akar rumput, tetapi ia muncul dari lingkaran kecil elit kekuasaan, partai politik, dan oligarki, dengan berbagai macam kepentingannya. Bisa jadi itu merupakan kepentingan ideologi, kepentingan politik bahkan kepentingan bisnis atau bisa jadi ketiganya saling berkaitan dalam simbiosis mutualisme.
Dengan kewenangan yang begitu besar dan boleh dikata luar biasa yang dimiliki oleh hakim Mahkamah Konstitusi, dimana mereka ibarat raja Arthur yang memegang pedang excalibur yang tak terkalahkan. Mahkamah Konstitusi yang menjadi satu-satunya lembaga penafsir konstitusi dan menjadi lembaga yang pertama dan terakhir dalam peradilan konstitusi, tentu kewenangan ini menjadi 'target' dari ambisi kekuasaan yang mencari jalan mulus bagi kepentingannya.
Dan salah satu jalan masuk dari 'racun' demokrasi ini adalah melalui jalan konstitusi yang mereka buat untuk menjadi payung demi mulusnya perjalanan ambisi kekuasaan yang ingin mereka capai. Selain itu juga, ambisi kekuasaan yang menjadi 'racun' bagi demokrasi dapat hadir melalui persekongkolan jahat dalam politik, baik dalam skala nasional maupun lokal. Bahwa kepentingan ambisi kekuasaan itu hanya bisa dilawan atau juga bisa diloloskan melalui Mahkamah Konstitusi.
Dengan kekuasaan yang 'super power' ini, Jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu jabatan yang persyaratannya diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945. Salah satu yang disyaratkan dalam UUD 1945, bagi seorang hakim konstitusi adalah "seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan". Dimana syarat negarawan ini bahkan tidak dipersyaratkan bagi presiden dan hakim agung yang juga diatur dalam UUD 1945, hal ini tentu berkaitan dengan kekhususan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Dua puluh tahun perjalanan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mencatatkan banyak sejarah, mulai dari catatan emas hingga riak-riak baik kecil maupun besar. UU MK pun telah dua kali di judicial review yang hasilnya semakin menguatkan posisi MK sampai saat ini. MK pun pernah diterpa badai dengan ditangkapnya ketua MK Akil Muchtar oleh KPK dan kemudian juga hakim konstitusi Patrialis Akbar yang ditangkap oleh KPK karena kasus suap dalam jabatannya sebagai hakim konstitusi di MK.
Demikian pula halnya dengan putusan-putusan perkara yang telah dihasilkan oleh MK, selain ada yang diterima dan diapreasiasi tentu ada pula perkara-perkara yang 'dipertanyakan', termasuk diantaranya bagaimana MK mengadili dirinya sendiri di dalam judicial review yang mereka ajukan sendiri dan adili sendiri.
Terlepas dari semua itu, kekuatan kuasa palu di tangan 9 orang hakim MK adalah harapan rakyat untuk mewujudkan cita-cita bangsa, cita-cita kemerdekaan dan cita-cita demokrasi. Harapan rakyat bahwa hakim-hakim konstitusi benar-benar seorang negarawan yang memiliki integritas, jauh dari kepentingan politik, dan tidak memiliki 'kedekatan' personal maupun kelembagaan dengan kekuasaan, jika itu semua bisa terwujud maka niscaya negara ini akan terhormat di mata rakyat dan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H