Malam itu saya begitu tersentuh, kalau sebelumnya saya melihat kegembiraan di wajah mereka yang menerima zakat, kali ini saya melihat kegembiraan yang sangat tulus dari wajah orang yang telah membayar zakat.
Waktu itu sekitar lima tahun yang lalu di penghujung bulan Ramadhan 1439 H, selepas shalat isya saya masih tetap berada di mesjid, preparing untuk pelaksanaan shalat ied besok, juga sekalian mengurus penerimaan dan pembagian zakat fitrah yang baru masuk dan target kami harus tuntas malam ini.
Gema takbir dari pengeras suara mesjid mengalun indah menyambut datangnya hari yang Fitri, diantara kesibukan kami menerima orang-orang yang masih berdatangan untuk menunaikan kewajiban zakat fitrah mereka, kami juga sibuk mengemas pembagian zakat yang harus tuntas kami bagikan malam itu juga.
Di pintu mesjid terlihat masuk seorang ibu tua yang tertatih-tatih dipapah oleh dua orang anak, yang entah itu anak atau cucunya, satu anak lelaki usia SMP satunya lagi anak perempuan usia SD kelas 1, ibu tua ini sudah sulit berjalan, terbungkuk-bungkuk dan harus dipapah. Di pikiran kami, ibu ini tentu ingin meminta pembagian zakat sebagaimana banyak orang yang malam itu datang untuk mendapatkan pembagian zakat fitrah.
Melihat ini kami segera menghampiri dan membantu si ibu masuk ke dalam mesjid, setelah beliau duduk kamipun menanyakan apa keperluan di ibu. Subhanallah, yang kami kira ibu ini akan meminta pembagian zakat, ternyata mereka datang ke mesjid bermaksud untuk menunaikan zakat fitrahnya, dan rupanya sang ibu tua ini sakit stroke bicaranya sulit untuk didengar dan dipahami.
Melalui anak atau cucunya ia bilang akan membayar zakat fitrah untuk 5 orang anggota keluarganya, ia kemudian bertanya berapa jumlah yang harus mereka bayar ? Kami pun lalu menjelaskan bahwa untuk pembayaran zakat yang telah ditetapkan oleh pemerintah terbagi dalam 4 jenis, yang makanan pokoknya sagu, jagung atau ubi bayarnya sekian rupiah, untuk yang makannya beras dolog sekian rupiah, beras kepala sekian dan beras premium sekian rupiah.
Setelah kami jelaskan ternyata mereka memilih membayar zakat fitrah ukuran beras kepala yang saat itu saya masih ingat ditetapkan Rp. 31.000, dan total yang harus mereka bayar adalah Rp. 155.000. Maaf ibu ini adalah seorang pengemis yang biasa mangkal di sebuah toko swalayan beberapa blok dari mesjid (semoga Allah mengangkat derajatnya dengan rahmat dan kasih sayangnya), dengan memilih membayar ukuran beras kepala tentu si ibu bukan bermaksud sombong karena setahu kami beliau kalau makan biasanya membeli nasi bungkus.
Sang ibu tua inipun segera mengeluarkan uang dari kantongan yang dibawanya, semuanya uang pecahan Rp. 2000 yang masih berhamburan belum tersusun, bersama dengan anak atau cucunya kami pun menghitung uangnya Rp. 155.000 yang lalu mereka genapkan menjadi Rp. 156.000 karena tidak ada uang pecahan seribu, setelah selesai sisa uangnya pun kami kembalikan ke si ibu.
Saya pun mencatat nama-nama mereka yang akan berzakat, rupanya si ibu mempunyai tanggungan empat orang cucu yang orangtuanya entah dimana, dua anak yang menemaninya ini adalah cucunya. Amil Zakat pun menerima zakat fitrah mereka, dan kamipun ikut mendoakan semoga zakat fitrahnya diterima dibersihkan diri dan hartanya dan semoga dilimpahkan rezeki yang halalan thoyyibah.
Setelah selesai, saya melihat ibu tua itu begitu gembira, dengan penuh senyum beliau mengucapkan terimakasih. Sayapun membantu mengangkat ibu tua itu untuk berdiri, seraya menyodorkan amplop berisi uang dan juga sekantong beras sebagai pembagian zakat untuk mereka, (kebetulan kami juga baru akan berangkat untuk menyalurkan zakat yang baru masuk kepada orang-orang yang berhak menerimanya).
Tak terasa airmataku berlinang, yaa Allah agamamu masih tegak berdiri, orang yang papahpun yang sesungguhnya masuk dalam golongan penerima zakat datang ke rumah-Mu dengan ikhlas dan iman untuk menunaikan kewajibannya membayar zakat fitrah, sungguh tak terpikir olehku jika sekiranya masih ada orang yang mempunyai kemampuan namun melalaikan kewajiban zakatnya.
Malam itu kami bersama kawan-kawan yang bertugas membagikan zakat berangkat dengan penuh semangat, dan uang zakat dari si ibu tua tadi kami berikan kepada orang yang benar-benar membutuhkan, meski sebenarnya semua yang kami berikan zakat adalah orang yang layak dan pantas menerima zakat.
Kenapa kisah ini saya tulis sebagai kisah inspiratif Ramadhan, selama ini di beberapa Ramadhan yang lalu (namun sejak covid saya tidak lagi bertugas sebagai panitia zakat) saya begitu merasakan kenikmatan membagi-bagikan zakat fitrah kepada orang-orang yang membutuhkan, disaat orang-orang yang lainnya pada sibuk bergembira menyambut lebaran esok hari.Â
Tetapi malam itu saya begitu tersentuh, kalau sebelumnya saya melihat kegembiraan di wajah mereka yang menerima zakat, kali ini saya melihat kegembiraan yang sangat tulus dari wajah orang yang telah membayar zakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H