Ini merupakan fenomena nyata yang terjadi di dunia politik tanah air, berapa banyak orang yang tadinya berjuang bersama dalam sebuah partai kini berjalan sendiri-sendiri bersama partainya padahal sebenarnya membawa maksud dan tujuan yang sama untuk Indonesia yang maju, kuat, dan berdaulat.
Pada akhirnya dinamika politik di negeri ini selalu terpolarisasi pada banyak kutub, persaingannya bukan lagi persaingan mencari kebijakan terbaik bagi rakyat, bangsa, dan negara, melainkan menjadi bagaimana partai politiknya bisa bertahan dan berkuasa.
Persaingan yang ada menjadi tidak lagi menyejukkan, rakyat (pemilih) sangat mungkin dibohongi oleh mereka yang menginginkan duduk diposisi kekuasaan dengan janji-janji politik yang memabukkan.
Segelintir oportunis yang memiliki modal kapital dan jaringan kekuasaan memiliki peluang teramat besar untuk memanfaatkan suara orang banyak demi kepentingannya.Â
Para oportunis itu menambang suara orang banyak melalui manipulasi kognitif dan psikis, baik dengan memanfaatkan isu kemiskinan (money politik) maupun dengan cara mengeksploitasi isu keagamaan demi menambang suara masyarakat kecil yang lemah dan lugu (politik identitas).
Sampai hari ini kita melihat bahwa dengan pola partai politik yang ada dan banyak ini , bahwa demokrasi nampaknya bisa jadi oligarki dimana dewan perwakilan rakyat diisi oleh orang-orang yang diarahkan para bos politik yang memiliki dan menguasai partai sebagai tambang emas milik pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H