Selanjutnya di pemilu 2014, meski sebelumnya hanya 9 parpol yang lolos ambang batas parlemen, namun kembali ada tambahan 3 parpol baru (tapi lama) sebagai peserta pemilu 2014, dan hasilnya dua dari tiga parpol tambahan kembali gagal menembus parliamentary threshold.
Pemilu 2019 kembali terjadi penambahan peserta baru pemilu di luar parpol yang lolos parliamentary threshold. Dari 27 parpol yang mendaftar, KPU meloloskan 16 parpol sebagai peserta pemilu 2019. Dan hasilnya rakyat pun kembali menyeleksi dan menjadi eksekutor bagi 7 parpol yang tidak mencapai ambang batas parlemen.
Nah, pemilu tahun 2024 berdasarkan pendaftaran akses ke Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) telah terdaftar 42 parpol, dimana 35 diantaranya adalah partai politik nasional dan 7 adalah parpol lokal Aceh, jumlah pendaftar ini masih bisa bertambah mengingat pendaftaran akan terbuka hingga 14 Agustus 2022 nanti. Namun, putusan berapa parpol yang lolos akan diputuskan di bulan Desember 2022 nanti.
Bedasarkan pengalaman dari 5 pemilu sebelumnya di era reformasi ini, bahwa jumlah peserta pemilu yang besar tidaklah efektif, sebab bagaimanapun alam akan menyeleksi dengan sendirinya partai politik yang tidak mendapat dukungan minimal dari rakyat. Besarnya jumlah peserta pemilu tidak saja membutuhkan biaya yang besar, akan tetapi juga menambah beban kerja dan potensi konflik.
Idealnya electoral threshold serta parliamentary threshold sebagai instrumen untuk menyederhanakan jumlah peserta pemilu agar menjadi peserta pemilu atau parpol yang terseleksi, kuat dan berkualitas karena dengan itu semua apa yang menjadi tujuan dari pesta demokrasi itu akan tercapai dengan mudah.
Artinya di sini tak perlu lagi ada tambahan partai baru dan atau apalagi partai yang sudah tereliminasi tapi kembali diikutsertakan dengan hanya mengganti nama saja. Sampai berapa jumlah ideal partai yang dibutuhkan, biarlah rakyat yang menjadi pengadil alias eksekutor untuk menentukan partai mana saja yang bisa lolos parliamentary threshold, apakah sembilan, lima, tiga, atau dua saja.
Jika platform partai yang ada 'sama', apakah itu yang berlandaskan nasionalis-demokratis, nasionalis-agama, maka boleh dikatakan perjuangannya akan lebih efektif dan ideal jika diwakili oleh kesatuan dari kesamaan platform partai. Jadi partai-partai tereliminasi bisa berfusi dengan partai yang lolos yang memiliki kesamaan arah dan tujuan perjuangan.
Bagi rakyat kebanyakan, tentu bertanya-tanya apa sebenarnya tujuan dari partai-partai baru dan juga dari partai yang berkali-kali tidak lolos dalam persaingan pemilu, hanya ganti nama lalu mendaftar kembali, ikut dan gagal lagi, gagal lagi.
Terus terang fenomena partai peserta pemilu ini menimbulkan pertanyaan, bukannya terseleksi menjadi mengerucut menyisakan beberapa saja (sedikit) partai politik yang memiliki basis kekuatan di parlemen (politikus) dan di akar rumput (pemilih).
Kita tidak bisa memungkiri bahwa kekuatan politik terbesar itu adalah dengan adanya persatuan (koalisi), apalagi jika platform partai yang sama, tentu arah dan tujuan yang ingin dicapai akan berada di jalan yang sama, jadi mengapa harus berjuang di rumah (partai) yang berbeda dan pada akhirnya akan ada yang tereliminasi.
Apakah ego politik para politikus kita yang lebih mementingkan kepentingan golongan dan kelompoknya saja? Ketika perbedaan pandangan dimaknai dengan 'bercerai'.Â