Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sekolah di Perantauan: Siapkan Mentalmu sebagai Pemenang

26 Juni 2022   12:46 Diperbarui: 26 Juni 2022   18:00 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi merantau (Sumber: unsplash.com/Michael Barón)

Pilihan menjadi pelajar atau mahasiswa di perantauan bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Kesiapan mental untuk menghadapi tantangan secara mandiri di tanah rantau merupakan modal penting yang harus dimiliki.

Banyak orang-orang yang sukses menempuh pendidikan di perantauan, baik di luar kota maupun di luar negeri. Tapi tak sedikit pula yang mengalami kegagalan dengan berbagai macam alasan dan penyebab.

Ada yang drop out karena salah pilih jurusan, ada yang karena terlalu aktif di kegiatan ekstra di dalam dan di luar kampus, atau aktif sebagai aktivis organisasi sehingga kuliah ataupun belajar menjadi hal yang nomor dua. Ada pula yang karena salah pergaulan hingga terjerat ke dalam hal-hal negatif.

Pilihan menempuh pendidikan di luar kota ataupun di luar negeri sudah menjadi tren sejak dulu hingga sekarang ini.

Jika dulu mungkin karena sebaran perguruan-perguruan tinggi yang 'berbobot' terbatas hanya ada di kota-kota besar dan daerah tertentu saja. 

Namun, meski sekarang pemerataan ketersediaan perguruan-perguruan tinggi yang berkualitas sudah ada dan hampir merata ada di setiap daerah, akan tetapi keinginan untuk menempuh pendidikan di perantauan tetap saja ada, salah satu alasannya adalah belajar hidup mandiri.

Yah, kunci daripada belajar di tanah rantau adalah kemampuan untuk hidup mandiri. Kemampuan untuk mengatur waktu, seperti bagaimana mengatur waktu untuk kuliah, belajar, beristirahat termasuk urusan sepele tapi penting yaitu urusan makan (menjaga kesehatan). 

Selain itu kita juga dituntut untuk pandai mengatur keuangan dan yang paling penting adalah bagaimana kita memilih lingkungan pergaulan.

Jika, anak sudah terbiasa hidup mandiri sebelumnya mungkin tidak terlalu beratlah untuk beradaptasi dengan kehidupan baru di perantauan, akan tetapi jika kehidupan mandiri itu merupakan pengalaman pertama, ini yang cukup rawan dan berpotensi menyebabkan kegagalan.

Di perantauan mengatur waktu itu sangat penting, jika bersama keluarga mungkin masih ada yang bisa mengingatkan. Namun jika hidup sendiri, di mana keputusan itu ada ditangan sendiri, hal ini bukan lagi hal yang mudah akan tetapi menjadi sesuatu yang sulit. 

Misalnya kuliah jam 8.00, akan tetapi bangunnya jam 9.00 karena tidurnya kemalaman, mau buru-buru ke kampus taunya perut keroncongan minta diisi.

Ilustrasi: sediksi.com
Ilustrasi: sediksi.com

Urusan waktu bagi orang-orang yang belum terbiasa hidup mandiri bukanlah hal yang bisa dianggap sepele, itu adalah hal yang cukup sulit untuk diatur, kapan harus makan, kapan harus belajar, kapan harus ke kampus dan banyak lagi hal lainnya yang harus diatur waktunya.

Demikian pula dalam hal keuangan, ini tidak mudah apalagi jika kemampuan keuangan yang terbatas. Kalau ini (keuangan) yang telah terganggu alamat pusing tujuh keliling dan akan mempengaruhi semuanya.

Dan yang paling banyak menjadi penghambat kesuksesan sekolah di perantauan adalah lingkungan pergaulan. Jika tepat memilih lingkungan dan teman bergaul maka bersyukurlah, karena 99% keberhasilan itu sudah ada di tangan. Akan tetapi jika sebaliknya, maka alamat kegagalan sudah terbayang di depan mata.

Sedikit berbagi cerita pengalaman kuliah di pertengahan tahun 80-an yang kondisi dan situasinya dengan saat ini tentu sudah jauh berbeda, namun tantangan yang dihadapi hampir sama saja dari dulu hingga sekarang, meski sekarang dengan kemajuan teknologi mungkin sudah banyak kemudahan dibandingkan dahulu, akan tetapi kemudahan dan kemajuan teknologi itu justru bisa menjadi masalah tersendiri bagi kelancaran sekolah di perantauan.

Zaman kami kuliah, kami anak-anak dari luar Jawa mengandalkan kiriman wesel pos yang kalau dikirim hari ini diterimanya butuh waktu paling cepat tiga hari sampai satu minggu bahkan kadang lebih. 

Kalau wesel melalui bank agak cepat, kadang sehari sudah bisa diterima tergantung petugas pengantaran surat weselnya kalau cepat diantarkan ke alamat yah bisa segera ke bank untuk mencairkan kiriman.

Bisa dibayangkan ketika kita kehabisan duit, tetiba ada kebutuhan yang harus dibiayai, entah biaya makan, biaya kampus atau biaya karena sakit, dan harus menunggu kiriman yang datangnya harus menunggu berhari-hari. 

Dan untuk urusan yang kayak begini, solusi kebanyakan anak-anak rantau itu adalah berhubungan dengan pegadaian, itu pun kalau masih ada barang yang bisa digadai.

Kalau zaman sekarang urusan transfer dana hanya dalam hitungan detik, tetapi dengan kemudahan seperti ini bisa saja menyebabkan kita kurang berhati-hati dalam mengelola pengeluaran dan mengantisipasi kebutuhan mendadak. 

Beda dengan zaman kami dulu, kami punya alarm kalau uang tinggal sekian harus makan yang paling irit, biasanya sih mie instant dengan air kuah yang diperbanyak.

Biasanya sih, kebutuhan hidup di perantauan oleh orang tua telah dijatahkan cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari setidaknya selama sebulan, namun yang namanya anak muda dengan jiwa bebasnya yang masih menyala-nyala terkadang kiriman dari orang tua tidak cukup alias habis di pertengahan jalan. 

Dan biasanya hal begini, pengalaman dari kehidupan di perantauan dulu, dari teman-teman dan jujur saya akui saya sendiri juga, terpaksa berbohong ke orang tua minta biaya untuk ini itu pokoknya dengan berbagai macam alasan, dan pasti orang tua entah bagaimana usaha dan upayanya segera memenuhi permintaan kami demi masa depan anak-anaknya. 

Padahal mungkin saja mereka tahu kalau permintaan kami itu bohong. (Kalau ingat ini jadi sedih dan merasa sangat menyesal, untuk adik-adik jangan melakukan yang seperti ini yah kasihan orang tua kita, bukan saja mereka akan sibuk memenuhi permintaan kita akan tetapi ada kecemasan di dalam hati mereka jika ada sesuatu yang terjadi terhadap anaknya).

Dulu kami apalagi yang anak mami, begitu homesick. Ketika kami berangkat ke perantauan, boleh dikata hubungan dengan orang tua itu terputus, komunikasi kami zaman dulu adalah lewat surat menyurat, kalau kepepet sekali kirim kabar lewat telegram.

Dulu sudah ada jaringan telepon, tapi rata-rata kami tinggal di kosan yang tidak punya telepon, jadi kalau mau berhubungan telepon dengan orang tua, kami ke kantor telepon, tetapi dulu biaya interlokal itu mahal banget, hitungannya per detik dan tergantung zona semakin jauh zonanya semakin mahal tarifnya, sehingga kebanyakan anak rantau itu menelepon dengan cara PTD (biaya telepon dibebankan ke penerima) dan biasanya jam sebelas malam ke atas karena saat itu ada potongan tarif sebesar 50%.

Kalau sekarang ini yang namanya rindu keluarga tidak seberat dululah, mau bicara dengan keluarga kapan saja bisa, bukan hanya saling mendengar suara akan tetapi sambil bervideo call. 

Bahkan kalau mau pulang kampung, moda transportasi tersedia, bahkan ke luar pulau mau naik pesawat jurusan mana saja setiap hari ada penerbangan dengan tarif yang jauh lebih terjangkau.

Beda dengan zaman kami jadwal penerbangan terbatas, ada daerah yang jadwal penerbangannya seminggu sekali, kalau saya dulu itu tiga kali seminggu (Surabaya-Kendari) itupun berangkatnya jam tiga subuh dan tarifnya sangat mahal.

Pilihan termurah untuk pulang kampung untuk anak-anak luar Jawa adalah naik kapal laut milik PT PELNI dengan waktu tempuh perjalanan laut ada yang sehari, dua hari bahkan ada yang sampai seminggu baru tiba di tujuan.

Hidup di rantau zaman sekarang jauh lebih mudah dibanding zaman kami dulu, akan tetapi adik-adik tetap harus ingat tantangan zaman sekarang mungkin jauh lebih besar dan berat daripada kami.

Kemajuan teknologi termasuk teknologi komunikasi bisa menjadi tantangan tersendiri, kebebasan informasi online telah memasuki ruang lingkup kita tanpa batasan, pengaruh game online yang bisa berujung pada perjudian dan juga pada prostitusi dan segala macam hal negatif lainnya jika tidak terproteksi oleh kita sendiri.

Yang harus diingat bahwa sesungguhnya banyak orang-orang yang gagal dalam menempuh pendidikannya di tanah rantau, ada yang pulang karena di DO, ada yang gagal karena terjerumus ke dalam tindakan kriminal (kebanyakan sih narkoba), ada yang pulang karena sakit di perantauan bahkan ada yang sampai meninggal dunia, karena sakit ataupun kecelakaan dan hal lainnya. Ada pula yang kembali ke kampung halaman bukannya membawa ijazah tetapi membawa istri/suami dan anak.

Banyak hal positif yang bisa diraih dengan sekolah di perantauan, terutama dalam hal kemandirian dan kedewasaan. 

Siapkan mentalmu sebagai pemenang, dan fokuslah pada tujuanmu dan harapan orang tuamu, itulah salah satu pesan yang disampaikan oleh orang tua penulis, dan itu juga yang akan kami sampaikan kepada anak-anak kami jika harus merantau nantinya, serta pesan ini kami titip untuk adik-adik yang menempuh pendidikan di perantauan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun