Baru saja Kota Jakarta memperingati Ulang Tahunnya yang ke 495, sebuah usia yang sudah cukup tua bagi sebuah kota di Indonesia.
Meski mungkin belum setua Kota Palembang yang tercatat sebagai kota paling tua di Indonesia, yang baru saja memperingati ulang tahun yang ke 1339 pada 17 Juni lalu. Atau juga belum setua kota Kediri (1218) dan Kota Surabaya (729).
Perjalanan panjang Kota Jakarta berawal dari peristiwa yang berdasarkan pada waktu Fatahillah atau yang juga dikenal sebagai Faletehan menaklukkan Sunda Kelapa dari tangan Portugis.
Dalam catatan sejarah terjadi pada 22 Juni 1527, di mana setelah penaklukan itu nama Sunda Kelapa diganti oleh Fatahillah menjadi Jayakarta.
Sejak dahulu Sunda Kelapa yang diganti nama menjadi Jayakarta telah menjadi daerah yang ramai dan menjadi tempat tujuan dan berkumpulnya para pedagang dari Cina, India, Arab, Eropa, dan nusantara.Â
Sebagai tempat perdagangan komoditas dari wilayah nusantara, Jayakarta berkembang dengan sangat pesat dan tentu saja menjadi incaran untuk dikuasai oleh penjajah.
Pada 1619, Jayakarta dihancurkan oleh VOC Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen. Pemerintah kolonial ini kemudian melakukan pengembangan kota yang sudah mulai padat dengan membangun kota baru di bagian barat sungai Ciliwung.
Kota baru tersebut oleh pemerintah kolonial dinamakan Batavia yang kelak menjadi nama pengganti Jayakarta selama lebih dari tiga abad sejak 1619-1942. Kawasan Batavia pada waktu dibangun dengan dikelilingi tembok sebagai benteng dan parit sebagai perlindungan dan menjadi tempat bermukim bangsa Eropa. Sementara itu di luar tembok dan gerbang Batavia, dihuni oleh orang-orang Cina, Jawa, India, Arab dan Pribumi lainnya.
Pada masa penjajahan Jepang, nama Batavia kemudian diganti oleh penguasa Jepang menjadi Djakarta Tokubetsu Shi atau Djakarta pada 8 Desember 1942. Hal ini sebagai upaya yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh Belanda di kawasan tersebut.Â
Setelah Jepang menyerah kalah pada sekutu dan Indonesia pun memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, nama Jakarta tetap dipakai namun kata Tokubetsu Shi tentu saja dihilangkan.
Namun demikian nama Jakarta kembali dikukuhkan pada 22 Juni 1956 oleh Wali Kota Jakarta yang saat itu dijabat oleh Raden Soediro Hardjodisastro (1953-1960).Â
Dan pada 1959, kotapraja yang hanya dipimpin oleh wali kota ini naik status menjadi Daerah Tingkat Satu di bawah pimpinan Gubernur. Pejabat Gubernur pertama Jakarta adalah Soemarno Sosroatmodjo.
Kemudian pada tahun 1961, status Jakarta berubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) berdasarkan Penetapan Presiden no 2 Tahun 1961. Selanjutnya kedudukan Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota ditetapkan berdasarkan Undang-undang, mulai dari UU no 10 tahun 1964, yang kemudian diganti dengan UU no 11 Tahun 1990 lalu UU no 34 Tahun 1999 serta terakhir UU no 29 Tahun 2007.
Dan pada akhirnya Jakarta terus berkembang sebagai kota metropolitan, dalam kedudukannya sebagai Ibukota Negara boleh dikatakan bahwa Jakarta memiliki segalanya, dengan 70% perputaran uang secara nasional yang berputar di Jakarta.
Ini menjadikan Jakarta sebagai magnet tidak saja bagi orang-orang dari seluruh nusantara, tetapi bahkan juga orang-orang dari luar negeri, baik itu untuk bekerja maupun untuk berinvestasi.
Menyusul kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi yang menetapkan pemindahan Ibukota Negara (IKN) ke Kota Nusantara, di Kalimantan Timur, tentu saja kekhususan Jakarta sebagai daerah khusus Ibukota juga akan berakhir.Â
Ini yang menjadi pertanyaannya, Bagaimanakah nasib Jakarta jika tidak lagi menyandang status sebagai Ibukota Negara? Apakah Jakarta akan kehilangan geliatnya dan perlahan ditinggalkan? Ataukah justru Jakarta akan semakin maju dan berkembang?
Yang jelas Jakarta telah memiliki tempat tersendiri di hati dan pikiran rakyat Indonesia, toh nanti yang akan berpindah hanyalah fungsi Jakarta sebagai Ibukota Negara, seperti pusat pemerintahan negara, perwakilan negara asing dan hal-hal lain yang berkaitan dengan urusan pemerintahan pusat.
Dengan berpindahnya Ibukota Negara yang tidak lagi berada di Jakarta, memang sedikit tidaknya akan membawa pengaruh bagi geliat pembangunan di Jakarta, seperti misalnya jika sebelumnya urusan daerah yang banyak berhubungan dan berurusan ke Jakarta akan berkurang banyak.
Namun, ini bisa juga justru memberi pengaruh positif bagi kota Jakarta misalnya terhadap persoalan lalulintas dan kepadatan penduduk.
Meski Ibukota Negara bukan lagi di Jakarta, itu hanyalah masalah perpindahan fungsi bagi Jakarta, namun segala infrastruktur pendukung seperti misalnya Bandara Internasional, Pelabuhan Internasional, Kawasan Industri yang ada di seputar Jakarta, serta pusat-pusat perkantoran koorporasi, baik internasional maupun nasional semua tetap dan pastinya tidak akan ikut pindah meninggalkan Jakarta.
Jakarta sudah merupakan kota mandiri, selain dapat menghidupi dirinya sendiri, Jakarta juga bisa menghidupi daerah lain di sekitarnya. Jakarta sudah menjadi wajah Indonesia, kemanapun Ibukota Negara pergi tak mungkinlah ia melupakan wajahnya sendiri yaitu Jakarta.
Jakarta sudah menjadi patron bagi wilayah Indonesia lainnya. Orang-orang pasti akan tetap menuju ke Jakarta.Â
Selain untuk mencoba peruntungan, mencari kerja, membina dan mengembangkan karir di bidang seni, olahraga dan sebagainya, orang-orang ke Jakarta juga untuk kunjungan ekonomi, wisata, budaya dan banyak lagi hal-hal yang bisa menarik orang-orang untuk berkunjung ke Jakarta, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara.
Begitu banyak yang bisa 'dijual' oleh Jakarta. Bahkan peringatan ulang tahun Jakarta saja sudah merupakan daya tarik tersendiri bukan hanya bagi warga Jakarta, tetapi juga bagi warga dari seluruh nusantara bahkan mungkin juga dari luar negeri.
Dalam momen ulang tahun Jakarta ke 495 ini saja, pemerintah daerah DKI Jakarta menggratiskan tarif dari 3 moda transportasi umum mulai MRT, LRT dan Bus Transjakarta, juga tiket masuk ke 11 Museum yang dikelola oleh pemprop DKI Jakarta. Ini semua menunjukkan kepada seluruh stakeholder bahwa Jakarta itu 'layak jual'.
Saya sebagai warga luar Jakarta (Sulawesi), memiliki kesan mendalam terhadap Jakarta pertama kali, itu saat Jakarta memperingati hari jadi yang ke-450, tahun 1977 dengan logo 450 yang tertulis berususun, walaupun saya tidak di dan ke Jakarta.
Tapi hanya dengan melihat logo hari jadinya saja saya begitu penasaran dengan Jakarta. Belum lagi pada peringatan hari jadi yang ke 450 tersebut ada peluncuran edisi khusus 450 tahun Jakarta motor Vespa super 150.
Sejak itu apa-apa yang terjadi di Jakarta selalu saja membuat saya penasaran untuk berkunjung ke sana, dan hal yang sama juga menjadi keinginan dari kawan-kawan saya dan saya yakin juga bagi banyak orang lainnya.Â
Jakarta sudah menjadi milik semua, bukan hanya pemerintah dan masyarakat, tetapi juga dunia usaha, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Perpindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Kota Nusantara sudah menjadi keputusan yang mau tidak mau harus dijalankan.Â
Namun, yang menjadi kewajiban pemerintah sekarang adalah bagaimana proses perpindahan itu tidak melahirkan kebijakan yang tumpang tindih dan yang kontraproduktif terhadap pembangunan di Jakarta.
Meskipun berbeda pulau, keberadaan Ibukota baru sudah selayaknya tetap memiliki hubungan konektif yang saling mendukung antara Kota Nusantara sebagai pusat pemerintahan negara dengan Jakarta sebagai pusat bisnis Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H