Secara umum tentu sosok Hadi Tjahjanto sebagai mantan Panglima TNI adalah jawaban tepat untuk menyelesaikan persoalan yang mengganjal di kementerian ATR/BPN ini.
Namun, perlu disadari bahwa kompleksitas persoalan agraria ini telah berakar dan carut marut tidak saja melibatkan kebijakan yang masih tumpang tindih, akan tetapi melibatkan kepentingan pemodal, rakyat kecil serta yang paling parah mafia tanah.
Persoalan yang dihadapi kementerian ATR/BPN ini harus dijawab oleh orang yang tepat selain profesional tentunya harus punya pemahaman atas kondisi dan situasi carut marutnya persoalan agraria. Apakah itu ada pada pada sosok menteri ATR/BPN yang baru? masih harus kita lihat.
Pekerjaan rumah pertama menteri ATR/BPN tentu saja adalah persoalan reformasi agraria yang memang menjadi fokus prioritas dari pemerintahan Presiden Jokowi. Yang salah satunya adalah masalah sertifikasi tanah yang tak kunjung-kunjung tuntas.Â
Menurut Presiden Jokowi sendiri dari target 126 juta orang yang memiliki sertifikat tanah pada 2015, yang terpenuhi hanya mencapai 46 juta orang (rakyat).
Nah, persoalan di atas berkelindan dengan permasalahan mafia tanah yang meski sudah banyak yang diproses hukum, namun belum juga usai membuat masalah serta belum mendapatkan solusi.Â
Mafia tanah ini masih banyak berkeliaran mencari mangsa di tengah masyarakat dan kapan saja siap merebut lahan milik masyarakat.
Hal lainnya yang juga menjadi pekerjaan rumah menteri Hadi Tjahjanto adalah persoalan sengketa lahan, baik antara masyarakat dengan masyarakat, maupun antara masyarakat dengan korporasi, utamanya di sektor pertambangan.Â
Persoalan ini bukan masalah sepele, ini bukan saja persoalan yang memperhadapkan kepentingan investasi dan kepentingan masyarakat kecil, akan tetapi ini akan membawa dampak politik yang tidak kecil jika solusinya hanya memenangkan kepentingan investasi.
Hampir senada dengan persoalan sengketa lahan di sektor pertambangan adalah persoalan HGU perusahaan sawit yang terindikasi banyak yang melanggar aturan.
Ini adalah pekerjaan rumah yang tidak ringan dan seharusnya tidak dijawab dalam bingkai kepentingan politik, namun harus dalam bingkai kepentingan pembangunan.