Mohon tunggu...
Chaerul Sabara
Chaerul Sabara Mohon Tunggu... Insinyur - Pegawai Negeri Sipil

Suka nulis suka-suka____

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kita Harus Jujur Timnas Garuda Masih Butuh Banyak Waktu

14 Juni 2022   01:56 Diperbarui: 14 Juni 2022   19:36 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain Timnas Indonesia, Pratama Arhan mencetak 2 gol ke gawang Timor Leste saat ujicoba dalam rangka FIFA Matchday yang berakhir dengan skor 4-1 di Stadion Kapten I Wayan Dipta Gianyar, Kamis (27/1/2022) malam.(KOMPAS.com/SUCI RAHAYU)

Menyaksikan perjalanan timnas Garuda kebanggaan pecinta sepak bola tanah air selalu membawa kita ke dalam nuansa gregetan, kadang ada momen senang dan penuh optimisme, namun tiba-tiba ada rasa kesal dan pesimis.

Sampai sejauh ini dalam segi prestasi Timnas Merah Putih belum mampu memuaskan dahaga gelar yang dirasakan oleh publik sepak bola tanah air.

Dari sederetan pelatih timnas, baik pelatih lokal, maupun pelatih asing, yang berasal dari Eropa, Amerika Latin sampai lokal Asia seperti Shin Tae Yong, semuanya belum mampu membawa timnas ke dalam bentuk permainan yang mampu mengangkat kualitas permainan ke level dunia.

Maaf, jika saya mengatakan bahwa sampai sejauh ini belum ada pelatih timnas yang betul-betul mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk membangun Timnas Merah Putih agar bisa sejajar dengan tim-tim lain, setidaknya di level Asia, termasuk Shin Tae Yong.

Namun, menurut saya ini bukan masalah kesalahan memilih pelatih, tapi ini masalah komprehensif yang dihadapi oleh iklim sepak bola Indonesia secara keseluruhan, mulai dari organisasi, kompetisi, dan pembinaan.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa otoritas sepak bola kita belum mengerti, belum mengenal wajah sepak bolanya sendiri. Kalau kita tak mengenal apa yang kita bawa bagaimana mungkin bisa mencapai tujuan?

Wajah sepak bola kita masih saja terlena dalam euforia oleh hasil instan, seperti kemenangan atas Kuwait di pra-Piala Asia 2023, betapa senangnya kita melihat hasil, tapi kita seperti lupa pada proses kemenangan itu yang masih banyak menciptakan lubang-lubang besar yang menganga dan itu tidak mungkin bisa ditutup dalam satu-dua kali laga.

Kekalahan melawan Yordania seharusnya bisa menyadarkan kita untuk melihat lubang-lubang besar yang masih menganga itu. Dan masalahnya ini bukan diselesaikan secara instan, melainkan membutuhkan penyelesaian yang komprehensif dari semua pihak yang terlibat dalam persepak bolaan nasional.

Otoritas dan insan sepak bola tanah air harus jujur melihat kondisi yang kita hadapi, mulai dari organisasi kepengurusan dari daerah hingga pusat, kualitas kompetisi mulai dari kepastian jadwal hingga intervensi mafia sepak bola termasuk di dalamnya persoalan pengadil di lapangan hijau yang kerap menjadi sasaran cemooh para penonton.

Namun, dari banyak PR yang kita hadapi. Saya coba mengulas dua hal saja yang menurut saya bikin penasaran, karena seharusnya itu bukanlah hal yang sulit untuk kita perbaiki atau kita lakukan, bahkan akan sangat berarti bagi timnas jika itu sudah bisa dilaksanakan.

Yang pertama, masalah fisik (postur). Tidak dapat kita pungkiri bahwa secara fisik, rata-rata pemain sepak bola kita tidak sebesar/setinggi dengan pemain-pemain Eropa atau pemain dari Timur Tengah, namun itu bukan berarti kita sudah kalah dari mereka, karena tentu ada pelatih yang bisa meramu strategi untuk menghadapi itu.

Nah, disini untuk menutupi kekurangan yang kita miliki, bukan hanya dengan mencari pemain timnas yang harus berpostur Eropa atau Timur Tengah. Yang kita perlukan adalah bagaimana pemain timnas bisa merasakan pengalaman bermain dengan kondisi menghadapi lawan yang berpostur lebih dari kita. Karena pengalaman bermain ini sangat menentukan karakter permainan kita.

Bisa kita lihat dalam dua laga terakhir timnas di pra-Piala Asia 2023 melawan Kuwait dan Yordania, pemain kita terlihat kesulitan melewati hadangan lawan, giringan bola yang gagal, operan yang salah dan kalah secara fisik.

Hal ini bukan karena pemain kita kalah secara teknis,  melainkan pemain kita terbiasa bermain dengan pemain yang berpostur yang lebih kecil, kebiasaan ini tentu terbawa, seperti misalnya dalam menggiring bola kalau melakukannya di kompetisi lokal kita, itu sudah pasti berhasil, akan tetapi ini menghadapi postur gajah yang jangkauan lebih panjang kekuatan lebih kuat akhirnya kita kebanyakan gagal karena salah perhitungan posisi.

Untuk pemain naturalisasi seperti Elkan Baggot yang bermain di Eropa, terlihat Elkan sering kali salah dalam memberikan bola kepada rekannya, ini bukan karena Elkan salah akan tetapi dalam kebiasaan kompetisi Elkan dengan operan seperti itu sudah pas untuk rekannya. Akan tetapi rekan Elkan di klub dan di timnas berbeda secara fisik, dan ini kadang belum dijiwai oleh pemain untuk mencari chemestry.

Masalah fisik yang rata-rata 'kecil' bisa ditutupi dengan latihan kekuatan body, tinggi lompatan, dan kecepatan. Memang, bermain melawan tim yang lebih unggul dalam hal fisik tidak bisa dilatih. Akan tetapi ini bisa diatasi dengan dibiasakan, demikian juga kekompakan antarpemain lokal dan yang bermain di liga Eropa atau Asia harus lebih dibiasakan setidaknya ada pemusatan latihan dan kesempatan bermain bersama yang lebih sering.

Hal yang kedua, yang merupakan satu kekurangan menonjol tim kita namun tidak pernah diperhatikan, ini dibuktikan dari penampilan timnas kita yang selalu saja tampil dengan pola yang sama. Apa itu?

Jawabannya adalah 'diving', atau juga bisa kita sebut 'akting' ini yang tidak dimiliki oleh rata-rata pemain kita.

Pemain kita adalah pemain paling jujur di lapangan, bukannya menganjurkan curang, sepak bola bukan sekedar permainan fisik tetapi permainan strategi dan juga mental.

Kita tentu ingat, bagaimana Laurent Blanc menerima kartu merah saat Prancis bertemu Kroasia di Semifinal Piala Dunia 1998. Saat bersiap menyambut tendangan bebas di kotak penalti, Blanc dan Slaven Bilic terlibat saling dorong. Blanc menarik kaos dan menyentuh leher Bilic. Anehnya Bilic langsung terkapar dan memegangi matanya.

Aksi diving Bilic ini berhasil menipu wasit. Sang pengadil memberikan kartu merah langsung kepada Laurent Blanc. Mantan pemain Machester United itu dianggap mencolok mata Slaven Bilic.

Dengan pula nasib David Beckham yang menerima kartu merah juga di Piala Dunia 1998, saat Inggris bertemu Argentina, dimana saat itu Beckham yang sedang terjatuh mengangkat kaki dan menyentuh Diego Simeone yang sebelumnya melakukan pelanggaran terhadap Beckham, dengan reaksi akting Simeone yang seakan-akan disentuh dengan keras oleh Beckham hingga wasit langsung mengeluarkan kartu merah yang mungkin dengan melihat kondisi yang sebenarnya seharusnya hanya berbuah kartu kuning saja.

Apakah 'diving' ini perbuatan curang atau bagaimana? Tetapi menurut saya jika memperhatikan permainan timnas Indonesia yang sangat-sangat sering dirugikan oleh keputusan wasit--semisal mendapat penalti seperti saat laga melawan Yordania saat Pratama Arhan dilanggar keras di dalam petak penalti Yordania  yang mana wasit justru bergeming dan tidak memberi sebuah penalti bahkan memberi penalti bagi Yordania akibat pelanggaran Asnawi pada pemain Yordania yang sepertinya melakukan diving--ini bisa dilakukan. 

Kita bisa melihat ketika pemain timnas dilanggar, reaksinya biasa-biasanya saja, berbeda dengan pemain lawan yang ketika mereka merasakan ada pelanggaran terhadap dirinya sekecil apapun tetapi reaksinya seakan itu pelanggaran keras, mulai dari cara jatuh, mimik muka hingga gaya kesakitan.

Menurut saya pemain timnas harus dilatih berakting seperti ini, bukan untuk curang akan tetapi yang paling utama untuk melindungi pemain itu sendiri dari permainan kasar lawan. Dan agar lawan mendapatkan hukuman atas pelanggaran yang dilakukannya.

Kalau pemain kita semua 'pandai' berakting, yang pertama kita tentu tidak dirugikan oleh pelanggaran lawan yang mungkin saja tidak terlihat oleh wasit jika kita beraksi biasa saja, yang kedua itu akan menjadi sebuah pesan bagi lawan untuk tidak berani bermain kasar pada pemain kita, dan yang terakhir kita bisa mendapatkan keuntungan dari diving, mulai dari pihak lawan akan mendapatkan kartu, tendangan bebas dan bahkan tendangan penalti.

Teringat kita dulu punya satu pemain yang terkenal jago dalam hal diving, yaitu Dede Sulaiman mantan pemain Persija dan klub Galatama Indonesia Muda yang pernah memperkuat timnas dari 1976-1979.

Ketika itu Dede Sulaiman--saat Indonesia berhadapan dengan Bangladesh di Pra Piala Dunia 1986 di Jakarta--melakukan sebuah 'diving' dari hadangan pemain Bangladesh, Sultan Jony, di petak penalti dan membuat wasit menunjuk titik putih yang akhirnya sukses dieksekusi Bambang Nurdiansyah. Pertandingan pun pada akhirnya dilengkapi oleh gol Dede Sulaiman yang membawa Indonesia menang 2-0 atas Bangladesh.

Terlepas dari diving apakah itu curang atau tidak, setidaknya pemain kita harus bisa melakukan itu terutama saat memang dilanggar oleh lawan, kita sudah sering merasakan bagaimana pelanggaran terhadap pemain kita tidak dianggap pelanggaran oleh wasit hanya karena pemain kita terlalu bermain alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun